Sirah Nabawiyah

Islam yang Dibawa Nabi Muhammad Penuh Kasih Sayang

Kam, 29 Oktober 2020 | 13:45 WIB

Islam yang Dibawa Nabi Muhammad Penuh Kasih Sayang

Nabi Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Cerita Nabi Muhammad yang penuh dengan sifat kasih sayang (rahmah) di antaranya ketika terjadi peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah). Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan.


Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah. Revolusi besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.

 

Baca juga: Kembali Belajar dari Teladan Kasih Sayang Rasulullah


Dijelaskan KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).


Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama ibn Zaid ibn Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya.


Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.

 

Baca juga: Kasih Sayang Nabi Muhammad pada Seekor Anjing


Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.


Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.


Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).

 

Baca juga: Nabi Muhammad, Tidak Mendoakan yang Buruk Meski Dimusuhi


Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our Time (2006) mencatat, pada 10 Ramadhan 8 Hijriah (630 M), Nabi Muhammad kembali lagi bergerak menuju Makkah. Kali ini dengan 10 ribu orang di belakangnya, hanya untuk menemukan penduduk kota menyambutnya dengan tangan terbuka.


Setelah menerima penyerahan Makkah, Muhammad menyatakan amnesti massal bagi sebagian besar musuh-musuhnya, termasuk orang-orang yang telah melawannya dalam pertempuran.


Dengan hukum kesukuan yang berlaku, alih-alih kaum Quraisy menjadi budaknya, Nabi malah menyatakan bahwa semua penduduk Makkah (termasuk semua budak) dibebaskan. Kemudian, tidak seorang pun dipaksa masuk agama Islam.

 

Baca juga: Mereka yang Diampuni Rasulullah Usai Fathu Makkah


Kala itu, semua orang Makkah juga harus mengambil sumpah setia tidak akan berperang lagi melawan Nabi. Di antara orang Quraisy terakhir yang mengambil sumpah itu ada Abu Sufyan dan istrinya, Hindun.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon