Sirah Nabawiyah

Imam Abu Hasan asy-Syadzili, Pembesar Tasawuf dari Maroko

Sen, 27 Juli 2020 | 14:30 WIB

Imam Abu Hasan asy-Syadzili, Pembesar Tasawuf dari Maroko

Makam Imam Abu Hasan asy-Syadzili yang terletak di Humaitsarah, Mesir. (Foto: Egyptian Streets/Ahmed Fouad Bakr)

Imam Abu Hasan asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyyah adalah seorang wali agung yang namanya selalu dikaitkan dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki derajat kewalian yang sama, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qarasyi:

 

قال القرشي إذا ذكرت سيدي أبا الحسن الشاذلي ذكرت فقد ذكرت سيدي عبد القادر الجيلاني وإذا ذكرت سيدي عبد القادر الجيلاني فقد ذكرت سيدي أبا الحسن الشاذلي لتوحد المقام فيهما ولأن سرهما واحد وهما لا يفترقان

 

Al-Qarasyi mengatakan, “Ketika aku menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dan ketika aku menyebut tuanku Syekh Abdu Qadir al-Jailani, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, karena keduanya memiliki dejarat yang sama, dan sirr (rahasia Allah) di dalam keduanya juga sama, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.”

 

Pada tahun 593 H, lahirlah seorang keturunan Rasulullah di desa Ghumarah, sebuah perkampungan dekat dengan kota Ceuta di negara Maroko. Orang tuanya memberikan ia nama Ali, kelak ia akan lebih dikenal dengan julukan Abu Hasan asy-Syadzili. Ali tumbuh dalam lingkungan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Abdulah bin Abdul Jabbar. Para ahli sejarah sepakat bahwa beliau adalah keturunan dari Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah .

 

Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Lathaif al-Minan, leluhur Imam Abu Hasan asy-Syadzili adalah Isa bin Muhammad bin Sayyidina Hasan. Sedangkan menurut Ibnu ‘Iyadh dalam kitab al-Mafakhir al-‘Ulya fi al-Ma’atsir asy-Syadziliyyah, leluhur Imam Abu Hasan asy-Syadzili adalah Isa bin Idris bin Umar bin Idris bin Abdullah bin al-Hasan al-Mutsanna bin Sayyidina Hasan.

 

Imam Abu Hasan asy-Syadzili memiliki postur tubuh yang kurus, jari-jemari yang panjang, warna kulit yang bagus.Ia sangat fasih berbicara, ucapannya sangat lembut. Selain itu, ia selalu memakai pakaian yang indah dan menunggangi hewan tunggangan yang gagah. Terkadang Ia juga tak segan untuk memakai pakaian sederhana, akan tetapi beliau tidak memakai pakaian yang ditambal sebagaimana beberapa kaum sufi lainnya.

 

Perjalanan Keilmuan

Awalnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili mengambil sanad ilmu tasawuf kepada Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Harazim (w. 633 H) di negara Maroko. Dari guru pertamanya inilah, Imam Abu Hasan asy-Syadzili mendapatkan pengesahan sebagai pengikut ajaran tasawuf. Kemudian, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berkelana ke negara Tunisia. Di negara Tunisia inilah, ia melanjutkan berguru kepada Syekh Abu Sa’id Khalaf bin Yahya at-Tamimi al-Baji (w. 628 H). Kedua guru agung Imam Abu Hasan asy-Syadzili ini adalah dua murid kesayangan Syekh Abu Madyan al-Maghrabi.

 

Selanjutnya, pada tahun 618 H Imam Abu Hasan asy-Syadzili berguru kepada Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi (w. 632 H), seorang murid dari Syekh Ahmad ar-Rifa’i. Diakhir pertemuan guru dan murid inilah, Syekh Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi berpesan “Engkau mencari seorang wali quthb di negara Iraq, padahal wali quthb tersebut menetap di negaramu di Maroko, kembalilah ke negara asalmu niscaya engkau akan bertemu dengan wali quthb di sana”.

 

Atas pesan gurunya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili pun bertandang ke negara asalnya untuk mencari sang wali quthb.

 

Imam Abu Hasan asy-Syadzili menceritakan pengalaman spiritualnya berguru kepada sang wali quthb yang bernama Syekh Abdus Salam bin Masyisy sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu ‘Iyadh dalam kitab al-Mafakir al-‘Aliyyah fi al-Ma’atsir asy-Syadziliyyah,

 

“Aku bertemu dengannya ketika ia menetap di pucuk gunung. Ketika aku melihatnya aku pun bergegas untuk mandi seraya berniat dalam hati bahwa aku adalah seorang yang tak memiiki ilmu sedikit pun agar ia mau mengajarkan ilmu tasawuf kepadaku. Ketika aku mendatanginya ia berkata, ‘Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar’. Kemudian, ia menyebutkan silsilah nasabku hingga Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Ali, engkau datang kepadaku dengan hati yang butuh terhadap ilmu dan amal, maka engkau berhak untuk mendapatkan dariku ilmu dunia dan akhirat.’ Aku terkejut dengan apa yang aku alami, aku pun berguru kepadanya selama beberapa hari hingga aku sampai pada derajat futuh (terbuka mata hati). Selama aku berguru kepadanya, aku menemukan banyak keramat dan khariqul ‘adat yang keluar darinya”.

 

“Suatu ketika aku duduk bersamanya dan ketika itu ada seorang anak kecil yang duduk di sisi Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Terbesit dalam benakku untuk menanyakan kepadanya tentang Asma’ Allah al-Mu’adzam. Anak kecil itu pun berkata, ‘Wahai Abu Hasan, engkau ingin bertanya kepada Syekh tentang Asma’ Allah al-Mu’adzam, sungguh di dalam hatimu telah terdapat sirr (rahasia) dari Asma’ Allah al-Mu’adzam. Kemudian, Syekh Abdus Salam bin Masyisy tersenyum seraya mengatakan, ‘Itulah jawaban yang engkau dapatkan.’ Syekh Abdus Salam bin Masyisy berkata, ‘Wahai Ali, berjalanlah menyusuriluasnya benua Afrika, kemudian menetaplah di sebuah desa bernama Syadzilah, niscaya kelak Allah akan memberikanmu gelar asy-Syadzili’.”

 

Fitnah dari Abu Qasim bin Barra’

Dalam perjalanannya berdakwah, tak jarang Imam Abu Hasan asy-Syadzili menemukan banyak rintangan. Di antara rintangan terberatnya adalah fitnah dari Abu Qasim bin Barra’. Awalnya, ia memulai berdakwah di ibu kota negara Tunisia dengan menetap di sebuah rumah di dekat masjid al-Bilath. Ia banyak berkumpul dengan ulama besar Tunisia seperti Abu Hasan Ali bin Makhluf as-Shaqli, Abu Abdullah as-Shabuni, dan sesamanya. Dalam waktu yang singkat, berbondong-bondonglah para ulama untuk belajar kepada Imam Abu Hasan asy-Syadzili.

 

Hingga kabar ketenaran Imam Abu Hasan asy-Syadzili menimbulkan kedengkian di hati Abu Qasim bin Barra’ yang saat itu menjabat sebagai pakar ahli fiqih kenaman di negara Tunisia. Abu Qasim bin Barra’ pun mengadu kepada Sultan Abu Zakaria, “Sungguh di daerah kita ada seseorang dari desa Syadzilah yang mengaku keturunan Rasulullah dan ia diikuti oleh banyak orang, ia akan mengacaukan negaramu.”

 

Abu Qasim bin Barra’ lalu mengumpulkan seluruh ulama ahli fiqih untuk berdebat dengan Imam Abu Hasan asy-Syadzili sedangkan di waktu yang sama Sultan Abu Zakaria mengawasi dari balik tirai. Perdebatan pun dimulai, seluruh ulama ahli fiqih yang hadir terdiam membisu setelah mendengarkan seluruh pertanyaan mereka dijelaskan dengan mudah oleh Imam Abu Hasan asy-Syadzili. Maka kedengkian semakin membara, beberapa oknum yang dengki saat itu mengusulkan untuk mengusir Imam Abu Hasan asy-Syadzili dari negara Tunisia.

 

Hingga beberapa waktu kemudian tersiar kabar bahwa selir sang sultan wafat akibat sebuah penyakit. Maka, sang sultan beserta seluruh pelayannya bergegas untuk memakamkannya. Ketika mereka sedang sibuk dengan urusan pemakaman, tak disangka kebakaran terjadi di rumah sang sultan. Hingga, api berhasil melahap banyak harta dan barang berharga di rumah sang sultan. Melihat hal tersebut, sang sultan pun merasa bahwa ini semua terjadi akibat perbuatan buruknya kepada Imam Abu Hasan asy-Syadzili. Sultan Abu Zakaria pun bergegas meminta maaf dan mencium tangan Imam Abu Hasan asy-Syadzili. Setelah kejadian tersebut, Imam Abu Hasan asy-Syadzili memilih untuk berpindah ke negara Mesir. Sedangkan kelak Abu Qasim bin Barra’ pada akhir hayatnya ditimpa musibah berupa sia-sia seluruh ilmunya, durhaka anak-anaknya dan merasakan kezaliman di masa senjanya. Ini semua terjadi karena ia telah memusuhi Imam Abu Hasan asy-Syadzili yang juga seorang kekasih Allah semasa hidupnya.

 

Kedekatannya dengan Syekh Izzudin bin Abdissalam

Kedatangan Imam Abu Hasan asy-Syadzili di kota Alexandria telah menjadi lentera ilmu yang tak kunjung padam. Duduk bersimpuh di majelis ilmunya beberapa ulama besar di zamannya, di antaranya adalah Syekh Izzudin bin Abdissalam, Syekh Taqiyuddin bin Daqiq al-‘Aid dan sesamanya.

 

Di antara kisah menarik dari Imam Abu Hasan asy-Syadzili dengan Syekh Izzudin bin Abdissalam adalah suatu ketika Imam Abu Hasan asy-Syadzili menghendaki untuk berangkat haji bersama pengikutnya. Sedangkan waktu itu sedang terjadi penyerangan bangsa Tartar di Timur Tengah. Oleh karena itu, Syekh Izzudin bin Abdissalam memfatwakan untuk menunda keberangkatan haji. Imam Abu Hasan asy-Syadzili mendatangi Syekh Izzudin bin Abdissalam, “Wahai Syekh, seandainya dunia dijadikan hanya sejengkal tanah dan diberikan kepada seseorang, apakah boleh ia bepergian ke tempat yang dikhawatirkan?” Maka Syekh Izzudin bin Abdissalam menjawab, “Barang siapa yang diberikan anugerah demikian maka ia terbebas dari fatwa (larangan berhaji)”.

 

“Sungguh aku bersama Allah, dzat yang tiada tuhan selain Dia. Dan Dia telah menjadikan dunia sebagai sejengkal tanah, ketika aku melihat hal yang berbahaya bagi seseorang aku akan menolongnya dan memberinya rasa aman, dan wajib adanya maqam sederajat di antara kita dihadapan Allah agar engkau memahami apa yang aku maksudkan” ujar Imam Abu Hasan asy-Syadzili. Kemudian, para pengikutnya pun berbondong-bondong untuk berhaji bersama Imam Abu Hasan asy-Syadzili.

 

Akhir hayat Imam Abu Hasan asy-Syadzili

Sejak kedatangannya di negara Mesir, Imam Abu Hasan asy-Syadzili telah mendapatkan isyarat mengenai tempat wafatnya. Suatu ketika ia bermunajat, “Duhai tuhanku, engkau telah menempatkanku di negara bangsa Koptik, semoga engkau wafatkan aku di antara mereka, sehingga dagingku bercampur dengan daging mereka serta tulangku berkumpul dengan tulang mereka”. Kemudian terdengarlah sebuah suara, “Wahai Ali, sungguh kelak engkau akan diwafatkan di tempat yang tidak pernah dipakai untuk bermaksiat kepada Allah”.

 

Di akhir hayatnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berangkat untuk menunaikan haji. Akan tetapi di tengah perjalanan ia mengalami sakit parah. Sebelum wafatnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berwasiat untuk istiqamah membaca Hizb Bahr, “Jagalah Hizb Bahr untuk anak-anak kalian, sungguh di dalamnya terdapat Asma’ al-Mu’adzam”.

 

Sebelum wafatnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili menyuruh muridnya untuk mengambilkan air di sumur terdekat. Akan tetapi, muridnya mengatakan, “Wahai tuanku, air di daerah ini asin sedangkan air yang kita bawa terasa segar”.

 

“Bawakan air sumur kepadaku, sungguh apa yang aku inginkan berbeda dengan yang kalian persangkakan” jawab Imam Abu Hasan asy-Syadzili.

 

Maka, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berkumur dengan air sumur tersebut dan ia mendoakan air bekas berkumurnya. Kemudian, air bekas berkumur beliau dimasukkan kedalam sumur terdekat. Dengan izin Allah, air sumur tersebut berubah menjadi segar dan melimpah. Imam Abu Hasan asy-Syadili wafat pada tahun 656 H di sebuah gurun pasir bernama Humaitsarah yang berada di antara daerah Luxor dan Qina. Penerus tarekat Syadziliyyah setelah beliau adalah Abu ‘Abbas al-Mursi.

 

Dalam tarekat yang beliau dirikan, Imam Abu Hasan asy-Syadzili memberikan lima dasar yang harus diikuti oleh pengikut tarekat Syadziliyyah,yaitu :

 

  1. Bertakwa kepada Allah baik di dalam keadaan samar ataupun terang-terangan
  2. Mengikuti jejak baginda Nabi Muhammad baik dalam perkataan maupun perbuatan
  3. Tidak bertumpu kepada manusia baik di depan mereka maupun di hadapan mereka
  4. Ridho dengan pemberian Allah baik sedikit maupun banyak
  5. Kembali kepada Allah baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

 

Sumber Refrensi :

Kitab Lathaif al-Minan karya Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari

Kitab Durratul Asrar wa Tuhfah al-Abrar karya Syekh Muhammad al-Qasim ibnu Shabagh

Kitab al-Lathifah al-Mardhiyyah karya Syekh Dawud bin Bakhila

Kitab al-Mafakhir al-Aliyyah fi al-Ma’atsir asy-Syadziliyyah karya Syekh Ibnu ‘Iyadh asy-Syafi’i