Sirah Nabawiyah SEJARAH IBADAH HAJI (3)

Haji dari Masa Jahiliyah ke Masa Islam

Rab, 28 Juli 2021 | 14:30 WIB

Haji dari Masa Jahiliyah ke Masa Islam

Ilustrasi: Pelaksanaan ibadah haji di era modern

Al-Qaththan menceritakan tradisi ibadah haji bangsa Arab Jahiliyah. Bangsa Arab dalam melakukan ibadah tawaf di Ka'bah tidak mengenakan pakaian kecuali suku pemberani, yaitu Quraisy dan keturunannya. Masyarakat Arab Jahiliyah melakukan tawaf di Ka’bah tanpa sehelai pakaian. Mereka berkeyakinan bahwa pakaian mereka kotor. Sedangkan pakaian bangsa Quraisy suci. 


Jika suku Quraisy tidak memberikan pakaian sucinya, mereka akan melakukan tawaf dengan telanjang. Hal itu menjadi tradisi dalam ibadah haji mereka sampai Allah menurunkan Surat Al-A’raf ayat 31. (Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut Tasyri Al-Islami At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433 H], halaman 149).


"Kenakanlah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid." (Surat Al-A’raf ayat 31).


Muazin Rasulullah saw pun memaklumatkan larangan terhadap masyarakat untuk melakukan ibadah tawaf bertelanjang sebagaimana larangan bagi kaum musyrik untuk memasuki Kota Makkah dengan sebab turunnya Surat At-Taubah ayat 28. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 152).


"Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini." (Surat At-Taubah ayat 28).


Larangan menutup aurat saat ibadah haji disyariatkan pada tahun 9 H. Sebelumnya masyarakat Arab terbiasa tawaf dengan telanjang.


Imam Muslim meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas ra yang menceritakan sebelum tahun 9 H perempuan yang bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. "Siapakah yang meminjamkanku pakaian tawaf?" kata seorang perempuan Arab. Yaitu, pakaian yang dikenakannya untuk menutupi kemaluannya saat tawaf. Perempuan itu kemudian bersyair, "Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya//apa yang tampak darinya aku takkan tahalul." Sampai gilirannya Allah menurunkan Surat Al-A’raf ayat 31. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 152).


Imam Nawawi mengatakan, masyarakat Arab Jahiliyah bertawaf dengan telanjang. Mereka menanggalkan pakaian, melemparkannya, serta membiarkan pakaiannya terinjak-ijak di tanah hingga warnanya pudar. Mereka takkan mengambilnya kembali selamanya.


Tradisi ini terus berlangsung hingga Islam datang dan Allah memerintahkan untuk menutup aurat melalui Surat Al-A’raf ayat 31 dan sabda Rasulullah saw, "Jangan ada lagi orang telanjang melakukan tawaf di Ka’bah." (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], IX/387).


Sya’ban Muhammad Ismail tertarik pada sejarah gradasi pemberlakuan syariat haji di tengah bangsa Arab. Ia mengatakan, haji tanpa disangsikan lagi sudah terkenal di kalangan Bangsa Arab sejak sebelum Islam datang. Mereka juga memiliki tradisi manasik haji yang sudah berlaku umum.


Mereka bertawaf di Ka’bah dengan telanjang. Mereka dapat memajukan dan mengundurkan pelaksanaan haji sesuai dengan kepentingan elit Bangsa Arab. Semua itu menjadi bonus atas aktivitas tawaf mereka terhadap berhala yang mereka sembah. Mereka juga menyembelih hewan kurban. (Sya’ban Muhammad Ismail, Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Marahiluhu wa Mashadiruh, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 61).


Kota Makkah yang menjadi pusat pelaksanaan ibadah haji berada di bawah otoritas kaum musyrikin. Kota Makkah berada di bawah kuasa kaum musyrikin sampai terjadi penaklukan (Fathu Makkah) pada tahun 8 H. Setelah itu, Rasulullah saw membersihkan berhala-berhala dari sekitar Ka’bah. Setelah peristiwa itu, ibadah haji diwajibkan bagi umat Islam. (Ismail, 2015 M/1436 H: 61).


Pada tahun 9 H, Nabi Muhammad saw menunjuk sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj. Misi haji tahun itu dilaksanakan pada bulan Dzulqa’dah. Pada saat yang sama, Rasulullah saw tidak menghalangi bangsa Arab untuk melaksanakan haji sebagaimana tradisi haji mereka selama ini karena memang masih dekat dengan masa kemusyrikan. Rasulullah saw tidak menentang cara haji mereka.


Misi haji dari Madinah yang dipimpin sahabat Abu Bakar ra membaur dengan masyarakat musyrik Arab dalam menyelenggarakan ibadah haji. Sebagian jamaah musyrikin bertawaf dengan telanjang. Sebagian lagi dari mereka mengenakan kain. Sebagian lainya tetap berada dalam kemusyrikannya saat melaksanakan ibadah haji.


Rasulullah saw kemudian mengutus Sayyidina Ali bin Abu Thalib ra untuk memaklumatkan awal-awal Surat At-Taubah yang isinya melarang orang musyrik Arab untuk melaksanakan ibadah haji dan melarang bangsa Arab tawaf bertelanjang setelah tahun itu sebagaimana Surat At-Taubah ayat 28.


Pada tahun 10 H, zaman berganti. Penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah. Rasulullah saw berhaji tahun tersebut sebagai haji wada. Itu menjadi haji sekali-kalinya yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Pada kesempatan itu beliau mengajarkan tata cara manasik haji seperti yang kita kenal hari ini dan membatalkan tata cara haji Arab Jahiliyah yang sudah mengakar di dalam jiwa mereka.


Pada haji wada itu Rasulullah saw menyampaikan khutbah perpisahan dan mengajarkan hukum-hukum agama. Allah menyempurnakan nikmat-Nya pada haji tersebut. Allah menurunkan Surat Al-Maidah ayat 3 pada hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat setelah masuk waktu ashar.


"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian." (Surat Al-Maidah ayat 3).


Coba kita perhatikan, Allah tidak mengubah sekaligus tradisi ratusan tahun haji bangsa Arab Jahiliyah secara drastis ketika Allah menyempurnakannya dengan Fathu Makkah dan memungkinkan Rasulullah bersama sahabatnya untuk memerangi musuh-musuh yang melanggar kontrak politik.


Tetapi apa yang dilakukan Allah? Allah maha kasih terhadap mereka dan mengubah tradisi haji Arab Jahiliyah tersebut secara bertahap. Sungguh, tradisi merupakan tabiat yang mengakar sehingga dibutuhkan kebijaksanaan dalam menghilangkan dan mengubahnya. Maha benar Allah dengan kalam-Nya yang tertuang dalam Surat Al-Maidah ayat 50. (Ismail, 2015 M/1436 H: 61).


"(Hukum dan cara pemberlakuan) siapakah yang lebih baik daripada (hukum dan cara) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (Surat Al-Maidah ayat 50). (selesai…). (Alhafiz Kurniawan)