Sirah Nabawiyah

Deskripsi Kebesaran Khalifah Umar dalam Ensiklopedia Britannica

Rab, 30 September 2020 | 13:15 WIB

Deskripsi Kebesaran Khalifah Umar dalam Ensiklopedia Britannica

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online/Fathoni)

Sayidina Umar bin Khattab merupakan pemimpin dengan kepribadian istimewa. Kebesarannya tidak hanya diakui oleh umat Islam itu sendiri, tetapi juga oleh dunia Barat. Bukan karena mereka takut maupun punya motif-motif tertentu, tetapi kebesaran Khalifah Umar didasarkan pada akhlaknya yang baik.


KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mengungkapkan kesaksian pribadi Sayidina Umar yang ditulis oleh Ensiklpoedia Britanica. Mereka mengatakan:


“His reign saw transformation of the Islamic state from an Arabian pricipality to a world power with the conquest of Syria, Palestine, Egypt, Mesopotamia, and Iran. Throughout this remakable expansion Omar closely controlled general policy and laid down the principles for administering the conquered lands.” Sistem pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab memperlihatkan suatu penampilan negara Islam model pemerintahan raja-raja Arab kepada penampilan suatu kekuasaan dunia, yaitu sejak kemenangannya atas Suriah, Palestina, Mesir, Irak, dan Iran. Seluruh kemenangan yang dicapainya itu, sungguh amat luar biasa. Dengan seksama kemenangan itu oleh Umar dikonsolidasi dengan kebijaksanaan umum dan kontrol atas pengelolaan semua urusan di seluruh daerah yang telah dikuasai. (Encyclopedia Britannica jilid 16, halaman 959, tahun 1965)

 

Baca juga: Umar bin Khattab Tak Menghukum Orang yang Terpaksa Mencuri

Baca juga: Awal Mula Sayyidina Umar bin Khattab Masuk Islam


Di balik kharisma kepemimpinannya yang masyhur itu, Umar bin Khattab merupakan sosok yang sangat sederhana. Maulana Jalaluddin Rumi dalam Al-Matsnawi, mengisahkan, bahwa pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Konstantinopel datang untuk menghadap Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.


Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendekiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya Istana Kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah.


“Di manakah istana Raja kalian?”tanya sang utusan. Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”

 

Baca juga: Kosmopolitanisme Kepemimpinan Umar bin Khattab


Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu di manakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan.


“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?” kata seorang penduduk Madinah.


“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran.


“Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khattab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.”


Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja.


“Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan Romawi.

 

Baca juga: Pidato Pertama Sayyidina Umar bin Khattab setelah Jadi Khalifah


“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya,”


Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?

 

Baca juga: Kisah Khalifah Umar Lindungi Kaum Nasrani saat Pembebasan Yerusalem


Umar berkata: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku ...”


Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya. Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon