Shalawat/Wirid

Shalawat Masyisyiyyah: Bacaan, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya

Ahad, 23 Januari 2022 | 13:30 WIB

Shalawat Masyisyiyyah: Bacaan, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya

Shalawat Masyisyiyyah mengandung banyak manfaat. Redaksinya disusun oleh seorang wali yang tak diragukan kredibilitasnya.

Shalawat Masyisyiyyah merupakan shalawat yang disusun oleh Sayyid Abdussalam bin Masyisy (w. 626 H), seorang wali qutub dari Maghrib (Maroko). Banyak sekali faedah yang dimiliki shalawat ini, termasuk di antaranya agar terhindar dari segala macam bahaya dan penyakit bagi yang mengamalkannya.
 

Sekilas tentang Sayyid Abdussalam bin Masyisy

Sayyid Abdussalam bin Masyisy lahir pada tahun 599 H, bertepatan dengan 1198 M. Nama lengkapnya Sayyid Ibnu Masyisy Abdussalam bin Masyisy. Abu ‘Ali al-Hasan al-Maghribi (w. 1347 H) dalam Tabaqât asy-Syâdziliyyah al-Kubrâ menjelaskan, kredibilitas Sayyid Abdussalam dapat dilihat dari perannya sebagai maha guru dari tiga wali quthub, yaitu Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi, Sayyid Ahmad al-Badawi, dan Sayyid Abul Hasan asy-Syadzili.
 

Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki kedudukan sangat terhormat di Maroko. Jika Imam Syafi’i sangat tersohor kemuliaannya di Mesir, maka Sayyid Abdussalam bin Masyisy begitu terkenal di Maroko.
 

Ia merupakan sosok wali qutub yang memiliki banyak karamah, di antaranya adalah kejadian luar biasa saat ia lahir. Dikisahkan, saat ia lahir, Syekh Abdul Qadil al-Jilani mendengar suara tanpa rupa, “Wahai Abdul Qadir, pergilah ke wilayah Magrib (Maroko). Seorang wali Qutub dari Maghrib telah lahir hari ini.” Syekh Abdul Qadir pun berangkat menuju gunug Al-A’lam, tempat Sayyid Abdussalam dilahirkan.
 

Begitu sampai, Syekh Abdul Qadir bertemu dengan ayahnya, Sayyid Masyisy. Lalu minta ditunjukkan anak yang wali qutub itu. Kamudian Syekh Abdul Qadir mengusap dan mendoakannya. Termasuk karamahnya adalah ia berpuasa sejak masih bayi. Ketika masuk bulan Ramadhan, ia tidak mau menyusu kepada ibunya. Ketika terdengar adzan maghrib, ia akan mendekatinya dan tubuhnya gemetar.
 

Ia wafat delam keadaan syahid dibunuh oleh pemberontak bernama Ibnu Abi Thawajin. Dimakamkan di tempat dulu ia lahir, gunung Al-A’lam. Konon, orang yang berdoa di lokasi makamnya, pasti dikabulkan oleh Allah. Bahkan, ia pernah menjamin, “Siapa saja yang berziarah ke makamku, maka Allah haramkan jasadnya masuk neraka” (Abul Hasan ‘Ali al-Maghribi, Tabaqât asy-Syâdziliyyah al-Kubrâ, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005], h. 59-60).
 

Keutamaan Shalawat Masyisyiyyah

Syekh Yusuf bin Ismma’il an-Nabhani menjelaskan, orang yang mengamalkan shalawat ini akan diberikan kejujuran, hati yang ikhlas, lapang, dimudahkan segala urusan, terlindung dari segala macam bahaya, keburukan, dan penyakit lahir maupun batin; dan mampu mengalahkan musuh dengan kekuatan Allah. Tapi dengan catatan, faedah tersebut bisa diraih apabila mambacanya secara rutin, dengan hati yang jujur dan ikhlas. (An-Nabhani, Mufarrijul Kurûb wa Mufarriḫul Qulûb, [Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyyah, 2008], h. 57).
 

Bacaan shalawat, wirid, dan lain-lain (lengkap teks Arab, Latin, dan terjemah) bisa diakses secara mudah di NU Online Super App: nu.or.id/superapp (Android dan iOS). Instal sekarang!


Lafal Shalawat Masyisyiyyah

Berikut adalah teks lengkap shalawat Masyisyiyyah sebagaimana ditulis oleh Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani dalam kitabnya, Afdhalusshalât ‘Alâ Sayyidis Sâdât:
 

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مَنْ مِنْهُ انْشَقَّتِ الْأَسْرَارُ، وَانْفَلَقَتِ الْأَنْوَارُ، وَفِيْهِ ارْتَقَتِ الْحَقَائِقُ، وَتَنَزَّلَتْ عُلُومُ اٰدَمَ فَأَعْجَزَ الْخَلَائِقَ، وَلَهُ تَضَاءَلَتِ الْفُهُومُ فَلَمْ يُدْرِكْهُ مِنَّا سَابِقٌ وَلَا لَاحِقٌ، فَرِيَاضُ الْمَلَكُوْتِ بِزَهْرِ جَمَالِهِ مُوْنِقَةٌ، وَحِيَاضُ الْجَبَرُوتِ بِفَيْضِ أَنْوَارِهِ مُتَدَفِّقَةٌ، وَلَا شَيْءَ إِلَّا وَهُوَ بِهِ مَنُوْطٌ. إِذْ لَوْلَا الْوَاسِطَةُ لَذَهَبَ كَمَا قِيلَ الْمَوْسُوطُ، صَلَاةً تَلِيقُ بِكَ مِنْكَ إِلَيْهِ كَمَا هُوَ أَهْلُهُ 

اَللّٰهُمَّ إِنَّهُ سِرُّكَ الْجَامِعُ الدَّالُ عَلَيْكَ، وَحِجَابُكَ الْأَعْظَمُ الْقَائِمُ لَكَ بَيْنَ يَدَيْكَ. اَللّٰهُمَّ أَلْحِقْنِيْ بِنَسَبِهِ، وَحَقِّقْنِي بِحَسَبِهِ، وَعَرِّفْنِي إِيَّاهُ مَعْرِفَةً أَسْلَمُ بِهَا مِنْ مَوَارِدِ الْجَهْلِ، وَأكْرَعُ بِهَا مِنْ مَوَارِدِ الْفَضْلِ، وَاحْمِلْنِيْ عَلَى سَبِيْلِهِ إِلَى حَضْرَتِكَ، حَمْلًا مَحْفُوْفًا بِنُصْرَتِكَ. وَاقْذِفْ بِيْ عَلَى الْبَاطِلِ فَأَدْمَغَهُ. وَزُجَّ بِيْ فِيْ بِحَارِ الْأَحَدِيَّةِ. وَانْشُلْنِيْ مِنْ أوْحَالِ التَّوْحِيْدِ. وَأغْرِقْنِيْ فِيْ عَيْنِ بَحْرِ الْوَحْدَةِ حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَسْمَعَ وَلَا أَجِدَ وَلَا أُحِسَّ إِلَّا بِهَا 

وَاجْعَلِ اللّٰهُمَّ الْحِجَابَ الْأَعْظَمَ حَيَاةَ رُوْحِيْ، وَرُوْحَهُ سِرَّ حَقِيقَتِيْ، وَحَقِيْقَتَهُ جَامِعَ عَوَالِمِيْ بِتَحْقِيْقِ الْحَقِّ الْأَوَّلِ. يَا أَوَّلُ يَا اٰخِرُ يَا ظَاهِرُ يَا بَاطِنُ. اِسْمَعْ نِدَائِيْ بِمَا سَمِعْتَ نِدَاءَ عَبْدِكَ زَكَرِيَّا. وَانْصُرْنِيْ بِكَ لَكَ، وَأَيِّدْنِيْ بِكَ لَكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ، وَحُلْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ غَيْرِكَ. اللهُ، اللهُ، اللهُ. إِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادِ. رَبَّنَا اٰتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ هَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيمًا

 

Allâhumma shalli ‘alâ man minhun syaqqatil asrâr, wan falaqatil anwâr, wa fîhir taqatil haqâ’iq. Wa tanazzalat ‘ulûmu âdama alaihis salâm fa a’jazal khalâ’iq. Wa lahû tadhâ alatil fuhûmu falam yudrikhu minnâ saabiquw wa lâ lâhiq. Fariyâdhul malakûti bizahri jamâlihî mûniqatun wa ḫiyâdhul jabarûti bifaidhi anwârihî mutadaffiqatun wa lâ syi’a illa wa huwa bihî manûthun. Idz laulal wâsithatu ladzahaba kamâ qîlal mausûthu. Shalâtan talîqu bika minka ilaihi kamâ huwa ahluh. 

Allâhumma innahû sirrukal jâmi’ud dâllu ‘alaika. Wa ḫijâbukal a’dzamul qâ’imu laka baina yadaika. Allâhumma alḫiqnî binasabihi wa haqqiqnî bi hasabihi. Wa ‘arrifnî iyyâhu ma’rifatan aslamu bihâ min mawâridil jahli. Wa akra’u bihâ min mawâridil fadhli. Waḫmilnî ‘alâ sabîlihi ilâ ḫadhratika. Ḫamlan maḫfûdzan binushratika. Waqdzif bî ‘alal bhâthili fa admaghuhû wa zujja bî fî biḫâril aḫadiyyati. Wangsyulnî min awhḫâlit tawḫîdi. Wa aghriqnî fî ‘aini baḫril waḫati ḫattâ lâ arâ wa lâ asma’a wa lâ ajida wa lâ uḫissa illâ bihâ.

Waj’alillâhummal hijâba al-a’dzama ḫayâta rûhî wa ruḫihi sirra haqîqatî wa haqîqatihi jâmi’a ‘awâlimi bitaḫqîqil haqqil awwal yâ awwalu yâ âkhiru yâ dzâhiru yâ bâthinu isma’ nidâ’î bimâ sami’ta nidâ’a ‘abdika sayyidinâ Zakariyyâ wangshurnî bika laka, wa ayyidnî bika laka, wajma’ baynî wa bainaka wa ḫul baini wabaina ghairika. Allâh Allâh Allâh Innalladzî faradha ‘alaikal qur’âna larâdduka ilâ ma’âd. Rabbanâ âtinâ min ladunka rahmah, wa hayyi’ lanâ min amrinâ rasyadâ. Innallâha wa malâikatahû yushallûna ‘alannabiy, yâ ayyuhalladzîna âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslîmâ.
 

Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada orang yang darinya rahasia-rahasia memancar. Darinya cahaya-cahaya semburat. Di dalamnya hakikat-hakikat naik dan pengetahuan Adam mewujud. Sehingga makhluk-makhluk yang lain terpesona. Terhadapnya pikiran terasa kerdil; tidak ada yang sanggup menggapainya dari orang-orang terdahulu hingga orang-orang kemudian. Maka taman-taman malaikat bernyanyi ria dengan keindahannya. Tidak satupun makhluk yang tidak tergantung kepadanya. Karena kalau tidak ada perantara, niscaya mausuth akan lenyap. Bershalawatlah dengan shalawat yang patut bagi-Mu, dari-Mu kepadanya, sebagaimana ia memang berhak mendapatkannya.
 

Ya Allah, sesungguhnya dia adalah rahasia-Mu yang universal, yang menunjukkan keberadaan-Mu dan hijab terbesarMu yang berdiri di hadapanMu. Ya Allah, masukkan aku ke dalam kelompoknya. Tariklah aku ke dalam dekapannya. Perkenalkan aku kepadanya. Sehingga aku bisa selamat dari sumber-sumber kebodohan dan bisa mereguk dari mata air keutamaan. Bimbinglah aku di atas jalannya untuk menuju kepada-Mu dengan bimbingan yang dipayungi pertolongan. Kuatkanlah aku untuk menyikut kebathilan sehingga aku bisa mengalahkannya. Luruhkan aku dalam lautan ahadiyyah. Renggutlah keakuanku ke dalam samudera tauhid dan tenggelamkanlah aku ke dalam inti api keesaan, sehingga aku tidak melihat, mendengar, mendapatkan dan merasa kecuali dengannya.
 

Jadikanlah hijab terbesar pada kehidupan ruhku dan ruhnya, pada rahasia substansiku dan substansinya untuk sublimasi duniaku dengan keyakinan akan kebenaran yang Haq al-Awwal. Wahai Dzat Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Wahai Dzat Yang Dzahir dan Yang Bathin, dengarlah seruanku, sebagaimana Engkau mendengar seruan hambaMu Zakariya. Tolonglah aku dengan-Mu dan untukMu. Satukanlah diriku dengan-Mu dan pisahkanlah yang menghalangiku denganMu; Allah, Allah, Allah. Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-ukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
 

(Syekh Yusuf bin Isma'il an-Nabhani, Afdhalusshalât ‘Alâ Sayyidis Sâdât, [Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyyah, 2016], halaman 62-63).

 

Cara Mengamalka Shalawat Masyisyiyah

Cara pengamalannya bermacam-macam, sesuai dengan ijazah yang didapatkan. Syekh Yusuf an-Nabhani dalam kitabnya Afdhalusshalât ‘Alâ Sayyidis Sâdât menjelaskan,

 

قد أوردها الشهاب أحمد النخلي وتلميذه الشهاب المنيني في ثبتيهما وذكر النخلي أنه أخذها عن الشيخ أحمد البابلي والشيخ عيسى الثعالبي قال وأمراني أن أقرأها بعد صلاة الصبح مرة وبعد صلاة المغرب مرة قال ورأيت في بعض التعاليق تقرأ ثلاث مرات بعد الصبح وبعد المغرب وبعد العشاء

 

Artinya: “Syekh Ahmad an-Nakhili dan muridnya, Asy-Syihab al-Manini menyebutkan shalawat ini di dalam makalah mereka. An-Nakhili mengatakan bahwa ia menerima shalawat ini dari Syekh Ahmad al-Babili dan Syaikh Isa ats-Tsa'alibi. Ia berkata, ‘Beliau menyuruhku untuk membacanya setelah shalat Subuh satu kali dan setelah shalat Maghrib satu kali.’ Ia melanjutkan, ‘Dan aku lihat dalam beberapa tulisan, bahwa shalawat ini dibaca masing-masing 3 kali, setelah shalat Subuh, Maghrib, dan Isya'. (Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, h. 63). Wallâhu a’lam.
 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta