Shalawat/Wirid

Beginilah Cara Kita Mengenalkan Diri kepada Rasulullah

Ahad, 21 Oktober 2018 | 09:30 WIB

Dalam beberapa hari ini viral di media sosial sebuah video cuplikan film tentang Sultan Abdul Hamid II yang mendapat teguran dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam lewat seorang rakyatnya. Dalam video berdurasi kurang dari lima menit itu diceritakan seorang pedagang bangkrut dan selalu berdoa kepada Allah. Hingga pada satu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah. Kepadanya beliau berpesan agar menyampaikan pesan kepada Sultan Hamid bahwa satu malam ia telah melupakan shalawat yang biasa ia baca setiap malam. Rasul juga memerintahkan pedagang yang bangkrut itu untuk meminta kebutuhannya kepada sang sultan.

Ketika pedagang itu menghadap dan menceritakan ihwal mimpinya kepada Sultan Hamid sang sultan tertegun, ia merasa bersalah telah lalai tidak bershalawat kepada Rasulullah pada satu malam karena kesibukan pekerjaan yang ia lakukan pada malam itu. Maka ia sedekahkan banyak harta kepada si pedagang dengan harapan Allah berkenan mengampuni kelalaiannya itu.

Kisah ini cukup menarik dan mengetuk hati setiap mukmin. Satu pertanyaan yang lahir dari kisah itu adalah bagaimana Rasulullah mengenal nama Sultan Abdul Hamid? Apakah ia hidup semasa dan termasuk salah satu sahabat Rasul? Tentu tidak. Sultan Hamid hidup jauh beratus tahun lama setelah Rasulullah wafat. Lalu bagaimana bisa beliau mengenalinya dan bahkan tahu kelalaiannya tidak bershalawat satu malam, yang juga itu berarti Rasul mengetahui bahwa sang sultan selalu bershalawat kepadanya setiap malam?

Kiranya ini bukanlah sesuatu yang musykil. Bahwa Rasulullah mengetahui siapa yang bershalawat kepadanya adalah bukan sesuatu yang mustahil. Ada banyak riwayat hadits yang darinya bisa digambarkan bagaimana Rasulullah mengenali orang yang bershalawat kepadanya. 

Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud menuturkan:

وعن أوس بن أوس - رضي الله عنه -، قَالَ: قَالَ رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم -: إنَّ مِنْ أفْضَلِ أيَّامِكُمْ يَومَ الجُمُعَةِ، فَأكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاةِ فِيهِ، فَإنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. قَالَ: قالوا: يَا رسول الله، وَكَيفَ تُعْرَضُ صَلاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟ (قَالَ: يقولُ بَلِيتَ) قَالَ: إنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الأرْضِ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ

Artinya: “Dari Aus bin Aus radliyallâhu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya termasuk hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian dilaporkan kepadaku. Aus berkata, para sahabat berkata, “Rasul, bagaimana shalawat kami dilaporkan kepadamu sedang engkau telah hancur?” Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi (menghancurkan) jasad para nabi.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyâdlus Shâlihîn, Semarang: Toha Putra, tt., hal. 533 – 534)

Dari hadits inilah—dan juga beberapa hadits semisal lainnya—diketahui bagaimana Rasulullah mengenali orang yang membaca shalawat kepadanya. Beliau mengenalinya karena setiap shalawat yang dibaca oleh umatnya selalu dilaporkan kepadanya. Lalu siapakah yang melaporkan? Bagaimana pula shalawat itu dilaporkan sementara Rasulullah telah meninggal dunia dan berada di kuburnya?

Muhammad bin Alan As-Shidiqi dalam kitab Dalîlul Fâlihîn menjelaskan bahwa yang menyampaikan kepada Rasul perihal shalawat yang dibaca oleh umatnya adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk melaksanakan itu.  Apa yang dijelaskan oleh Ibnu Alan ini didasarkan pada sebuah hadits:

أن لله ملائكة سياحين في الأرض يبلغوني من أمتي السلام

Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang mengelilingi bumi, mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi)

Penyampaian laporan perihal shalawat ini apabila orang yang membacanya berada jauh dari kubur Rasulullah. Sedangkan bila ia berada di dekat kubur beliau maka beliau sendiri mendengar shalawat dan salam yang dibaca umat kepadanya. Berdasarkan sebuah hadits riwayat Imam Baihaqi:

من صلى علي عند قبري سمعته ومن صلى علي نائياً بلغته

Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku di dekat kuburku maka aku mendengarnya. Dan barangsiapa yang bershalawat kepadaku di tempat yang jauh maka disampaikan kepadaku shalawatnya.”

Demikian penjelasan Muhammad bin Alan As-Shidiqi dalam Dalîlul Fâlihîn (Kairo: Darul Hadits, 1998, Juz IV, hal. 156).

Lebih lanjut, bagaimana Rasulullah bisa menerima laporan shalawat dari umatnya sementara beliau telah wafat dan berada di dalam kuburnya? Hadits di atas telah menjelaskan bahwa Allah mengharamkan bumi menghancurkan jasad para nabi. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa ketika ada orang yang bersalam kepada Rasulullah maka Allah akan mengembalikan ruh beliau ke jasadnya untuk membalas salam tersebut. Namun kiranya tidak di sini tempatnya untuk membahas perihal pengembalian ruh ini.

Dari penjelasan di atas maka kiranya bisa dimengerti bahwa Rasulullah akan mengenali setiap umatnya yang bershalawat kepadanya melalui laporan malaikat yang ditugaskan untuk itu. Maka bila seseorang banyak membaca shalawat dan istiqamah melakukannya ia akan secara terus-menerus sering dilaporkan oleh malaikat kepada beliau. Dari inilah seorang umat mengenalkan diri kepada Rasulullah, dari inilah Rasulullah mengenali umatnya.

Dapat dibayangkan, betapa senangnya seseorang ketika dirinya ditanyakan oleh seorang tokoh yang disegani dan dihormati oleh banyak orang. Itu pertanda sang tokoh mengenali dan memberikan perhatian lebih kepadanya.

Lalu bagaimana bila tokoh yang mengenali dan memperhatikan kita adalah Baginda Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, makhluk terbaik yang diutus sebagai rahmat bagi semesta?

Cukuplah hadits-hadits di atas sebagai motivasi untuk memperbanyak membaca shalawat dan melanggengkannya. Hingga diri kita dikenal beliau dan beliau mengenal diri kita. Hingga ketika kita lupa sehari saja tak membacanya Rasulullah berkenan menegur kita, menanyakan kita, sebagai tanda cinta dan perhatian beliau kepada kita.

Tentu sebuah kesedihan dan kerugian, bila seorang umat di dunia dan di akherat kelak tak dikenal oleh nabinya, tak diperhatikan oleh junjungannya, karena tak banyak bershalawat memuliakannya. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ sayyidinâ wa maulânâ Muhammad.

Wallâhu a’lam. (Yazid Muttaqin)