Shalawat/Wirid

Anjuran Mengqadha Wirid yang Terlewat

Jum, 13 April 2018 | 13:45 WIB

Sudah lazim sebagian Muslim memiliki wiridan yang ia amalkan secara rutin (dawam). Amalan yang dikerjakan secara istiqamah, meski sedikit sangat dicintai oleh Allah ketimbang amalan yang banyak, namun hanya dikerjakan sekali saja. Tentunya kita sering mendengar sebuah perkataan hikmah “istiqamah lebih baik daripada seribu karamah.”

Wirid pun tak hanya dzikiran. Ia bisa berbentuk shalat Sunnah, puasa, dan lain-lain. Lantas bagaimana jika wirid yang telah kita kerjakan secara istiqamah terpotong oleh suatu aktivitas yang menyebabkan kita tidak dapat melaksanakannya ketika itu? 

Misal saja, wirid yang kita rutinkan adalah Wirdul Lathîf, dzikir pagi dan petang, namun pada sewaktu-waktu ada jadwal rapat yang perlu kita hadiri sehingga tak sempat membacanya ketika pagi hari. Nah, solusinya adalah dengan menggantinya (qadla) pada kesempatan lain.

Sebagaimana termaktub dalam kita Fathul Mu’în bi Syarh Qurratul ‘Ain karya Syekh Zainuddin al-Malibari:

وَيُنْدَبُ قَضَاءُ نَفْلٍ مُؤَقَّتٍ إِذَا فَاتَ كَالْعِيْدِ وَالرَوَاتِبِ وَالضُّحَى لَا ذِي سَبَبٍ كَكُسُوْفٍ وَتَحِيَّةٍ وَسُنَّةِ وُضُوْءٍ.وَمَنْ فَاتَهُ وِرْدُهُ أَيْ مِنَ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ نُدِبَ لَهُ قَضَاؤهُ وَكَذَا غَيْرُ الصَّلَاةِ

“Disunnahkan meng-qadla shalat sunnah yang dibatasi waktunya apabila ia luput mengerjakannya, seperti shalat id, rawatib, dan dhuha, bukan shalat yang memiliki sebab seperti shalat gerhana, tahiyyatul masjid dan shalat sunnah wudhu. Bagi siapa yang luput dari wiridnya yang berupa shalat sunnah mutlak, maka disunnahkan baginya untuk meng-qadla-nya, begitupun (amalan mutlak) selain shalat. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’în bi Syarh Qurrotul ‘Ain, Daar Ibn Hazm, cetakan pertama, halaman 169)

Yang dimaksud sunnah mutlak adalah sunnah yang tidak terikat dengan sebab dan waktu. Kita dapat mengambil beberapa kesimpulan dari penjelasan Syeikh Zainuddin. Pertama, shalat sunnah yang memiliki waktu khusus dalam pengerjaannya jika ditinggalkan maka boleh di-qadha, seperti shalat Idul Fitri yang hanya dilaksanakan ketika hari id. Kedua, shalat sunnah yang memiliki sebab tidak dapat di-qadla. Ketiga, wirid yang dikerjakan secara sering jika ditinggalkan dapat di-qadla, entah wiridnya berbentuk shalat maupun bukan.

Lantas, apa hikmah di balik disunnahkannya meng-qadla wirid?

Disebutkan dalam kita ‘Ianatu at-Thâlibin ‘ala Halli Alfadz al-Fathil Mu’în karya Sayyid Muhammad Syatho’Dimyathi:

لِئَلَّا تَمِيْلَ نَفْسُهُ إِلَى الدَّعَةِ وَالرِّفَاهِيَّةِ

“Supaya dirinya tidak condong kepada kesantaian dan kelapanga.”  (Sayyid Muhammad Syatho’Dimyathi, ‘Ianatu at-Thâlibin ‘ala Halli Alfadz al-Fathil Mu’în, Beirut, Daar Fikr, halaman 310)

Maksudnya, supaya dirinya tidak santai dan tenang ketika meninggalkan amalan itu yang terkadang malas mengerjakannya di waktu selanjutnya, karena terlena. Maka dari itu ia disunnahkan meng-qadla, sebab dengan melaksanakan qadla dapat mencegah dirinya dari keterlenaan meninggalkan amalan itu di waktu selanjutnya.

Demikian penjelasan tentang meng-qadla wirid, semoga kita selalu istiqamah dalam mengamalkan wiridan yang telah kita rutinkan. Wallahu a’lam. (Amien Nurhakim)