Shalawat/Wirid

Alasan Lafal Allah Bukan Termasuk 99 Asmaul Husna

Jum, 13 Januari 2023 | 13:00 WIB

Alasan Lafal Allah Bukan Termasuk 99 Asmaul Husna

Allah memiliki 99 Asmaul Husna. Sedangkan lafal Allah tidak termasuk di dalamnya. (Ilustrasi: g.1.com).

Jika lafal “Allah” termasuk dari asma’ul husna yang kaprah dikenal, maka asma’ul husna tersebut tidak lagi berjumlah 99. Melainkan 100. Sehingga, terjawablah sudah teka-teki para guru pesantren (asatidz)-tak terkecuali ponpes Sukorejo, tempat saya menimba ilmu sejak lepas Sekolah Dasar (SD) hingga lulus S2-bahwa, jika seseorang telah berhasil menemukan satu nama lagi sebagai pelengkap dari 99 itu, penemunya pasti istimewa. Bukan orang sembarangan.


Kendati penulis sendiri belum mampu menjangkau kebenaran informasi tersebut. Jika pun benar, teka-teki tersebut harus mendapat tafsir yang layak dan relevan. Sehingga, bisa terbaca lebih terang oleh lebih banyak umat.


Namun, karena kita tidak sedang bicara apakah lafal “Allah” termasuk yang ke-100 atau tidak, maka penulis akan lebih fokus pada alasan mengapa lafal tersebut tidak termasuk dalam asma’ul husna yang 99? Padahal, ia juga termasuk nama zat yang wajib disembah (al-ma’bud bi haqq(in)). Tetapi sebelumnya, lebih sistematis jika terlebih dahulu mengkaji lafal Allah itu sendiri sebelum menyatakan alasan mengapa tidak termasuk asma’ul husna yang 99.


Lafal “Allah”

Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menulis dalam al-Maqshidul Atsna fi Syarhi Ma’ani Asma’il Husna (halaman 61). Ia mengatakan:


فأما قوله الله، فهو إسم للموجود الحقّ الجامع لصفات الإلهيّة المنعوت بنعوت الربوبية المتفرد بوجود الحقيقي


Artinya, “Lafal ‘Allah’ merupakan nama bagi Sang Maujud Sejati yang di dalamnya terhimpun seluruh sifat-sifat ilahiah dan berhias dengan sifat-sifat rububiyah (ketuhanan) yang memonopoli wujud hakiki.”


Dari keterangan ini, dapat dipahami bahwa setiap makhluk-Nya yang maujud di alam raya ini tidak berhak menyandang wujud yang otonom, alias tidak butuh pada wujud yang lain. Sebab, kewujudan makhluk-makhluk tersebut hanya meminjam kewujudan Allah yang hakiki itu. Maka, sejatinya, jika melihat terhadap zat Allah dengan kewujudan hakiki-Nya, seluruh makhluk di jagat semesta ini binasa. Asal yang tiada, tidak akan pernah menjadi ada secara hakiki. Persis seperti barang pinjaman. Keberadaan barang pinjaman di tangan peminjam, sejatinya dia tidak memiliki apa-apa. Walaupun secara zahir barang tersebut tampak di tangannya.


Alasan Lafal Allah Bukan Termasuk 99 Asma’ul Husna

Lafal “Allah”, sebagaimana banyak disebutkan para ulama, termasuk nama yang paling agung daripada nama-nama-Nya yang terangkum dalam asma’ul husna yang berjumlah 99. Lantaran, nama tersebut-seperti telah tertera di atas-mengarah pada substansi zat yang menghimpun seluruh sifat ilahiah lainnya. Imam al-Ghazali termasuk di antara ulama yang menulis statemen khusus ihwal kajian ini dalam al-Maqshidul Atsna. Katanya:


إعلم أن هذا الإسم أعظم أسماء الله عزّ وجلّ التسعة والتسعين


Artinya, “Ketahuilah bahwa lafal ‘Allah’ adalah nama yang paling agung daripada nama-nama-Nya yang berjumlah 99 itu.”


Dari stateman ini saja, kita bisa sedikit menjangkau mengapa lafal “Allah” tidak termasuk di antara asma’ul husna yang 99. Lantaran ia jauh lebih mulia daripada yang lain. Karena itu, lafal atau nama tersebut harus dieksklusifkan. Sekurangnya, ada tiga alasan al-Ghazali yang bisa kita rangkum. 


Pertama, karena lafal “Allah” mengarah pada zat yang menghimpun seluruh sifat ilahiah. Dalam al-Maqshidul Atsna al-Ghazali menulis:


لأنه دالّ على الذات الجامعة لصفات الإلهية كلها حتى لا يشذّ منها شيء


Artinya, “Karena lafal ‘Allah’ mengarah pada substansi zat yang menghimpun seluruh sifat ilahiah yang lain, tanpa ada satu sifat pun yang tercecer.”


Adapun nama-nama-Nya yang lain, masing-masing hanya mengarah pada makna tertentu. Seperti al-‘alim dan al-qadir, misalnya. Keduanya hanya tertentu pada cakupan al-‘ilmu dan al-qudrah semata. Hanya mengarah pada esensi-Nya yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.


Kedua, terkait eksklusivitas lafal “Allah” yang hanya untuk zat-Nya. Tidak ada selain diri-Nya yang berhak menyandang nama itu. Karenanya, para ulama merumuskan hukum ketidakbolehan menamai seorang anak dengan nama “Allah”. Berbeda jika ingin menamai seseorang dengan nama-nama-Nya yang lain, seperti ‘Alim, Halim, Rahim, dan seterusnya. Kata al-Ghazali:


ولأنه أخص الأسماء إذ لا يطلقه أحد على غيره لا حقيقة ولا مجازا


Artinya, “Karena lafal ‘Allah’ adalah lafal paling eksklusif daripada yang lain. Karena itu, seseorang tidak boleh memanggil orang lain dengan panggilan ‘Allah’, baik secara hakikat maupun majazi.”


Ketiga, tentang ketidakbolehan seseorang disifati atau digelari dengan kata “Allah”. Berbeda dengan nama-nama-Nya yang lain yang boleh menjadi gelar atau sifat sekalian manusia. Seperti memanggil seseorang yang penuh pengasih dengan gelar Rahim. Demikian juga seseorang yang gemar melukis, menggambar atau pakar dalam karya seni lainnya. Di mana, karena kepakarannya itu, kemudian ia lekat dengan panggilan Mushawwir, misalnya. Ihwal yang seperti ini boleh-boleh saja dilakukan. Al-Ghazali bilang:


معاني سائر الأسماء يتصور أن يتصف العبد بشيء منها حتى ينطلق عليه الإسم


Artinya, “Makna-makna substansial dari semua nama-nama Allah bisa saja melekat sebagai sifat seorang hamba, sehingga ia pun disapa dengan nama yang mewakili substansi tersebut.”


Setelah itu, al-Ghazali menulis, Wa amma ma’na hadza al-ismi fa khasshun khushushan, la yutashawwaru fihi musyarakatun, la bilmajazi wala bilhaqiqati (Sedangkan substansi nama ini (lafal “Allah”) sungguh sangat eksklusif, sehingga tidak dapat tergambarkan akan disandang oleh selain diri-Nya, baik secara majasi maupun hakikat). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.