Syariah

Yakin Punya Utang Shalat tapi Lupa Shalat Apa, Bagaimana?

Sel, 25 Desember 2018 | 08:00 WIB

Shalat merupakan salah satu ibadah yang sangat ditekankan agama. Berulang kali kata shalat disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Kewajiban shalat lima waktu diterima langsung Rasulullah dari Allah saat peristiwa Isra’ Mi’raj, tanpa perantara malaikat Jibril, tidak seperti kewajiban lainnya. Yang demikian menunjukan begitu besarnya urusan shalat. 

Seseorang yang meninggalkan shalat, baik lupa, tertidur, disengaja atau faktor lainnya, wajib mengqadhanya (menggantinya). Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi:

من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها

“Barangsiapa lupa shalat atau tertidur, maka gantinya adalah melakukan shalat tersebut ketika ia ingat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kewajiban mengqadha shalat yang ditinggalkan karena sengaja dianalogikan dengan meninggalkan shalat karena lupa atau tertidur dengan pola qiyas aulawi (analogi “apalagi”). Jika meninggalkan shalat secara tidak sengaja saja wajib mengqadha, apalagi meninggalkan shalat secara sengaja.

Persoalan muncul ketika seseorang yakin memiliki tanggungan shalat, namun ia tidak ingat secara persis jenis shalatnya, apakah Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, atau Subuh. Bagaimana cara mengqadhanya?

Seseorang yang yakin meninggalkan shalat fardhu, namun ia tidak mengetahui persis jenis shalatnya, maka ia wajib melaksanakan lima shalat fardhu. Hal ini dilakukan agar tanggungan qadha shalatnya bisa gugur secara yakin. Sebab tidak mungkin tanggungan shalatnya terbayarkan secara yakin tanpa melaksanakan semuanya. Misal hanya mengqadla Zhuhur dan Ashar, ternyata yang ditinggalkan adalah Maghrib.
Persoalan ini oleh al-Imam al-Asnawi masuk dalam kaidah fiqih “suatu aktivitas yang menjadi jalan sempurnanya suatu kewajiban, maka hukum aktivitas itu juga wajib dilakukan.” Beliau dalam karya monumentalnya tentang kaidah fiqih, “al-Tamhid” berkata:

 الأمر بالشيء هل يكون أمرا بما لا يتم ذلك لشيء إلا به وهو المسمى بالمقدمة أم لا يكون أمرا به فيه مذاهب أصحها عند الإمام فخر الدين وأتباعه وكذا الآمدي أنه يجب مطلقا ويعبر عنه الفقهاء بقولهم مالا يتأتى الواجب إلا به فهو واجب

“Memerintahkan perkara apakah juga memerintahkan perkara yang menjadi penyempurnanya? Hal tersebut disebut dengan muqaddimah. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat. Pendapat yang paling benar hukumnya wajib secara mutlak. Pendapat ini sebagaimana didukung oleh al-Imam Fakhruddin al-Razi dan pengikutnya, demikian pula al-Imam al-Amudi. Para pakar fiqih meredaksikannya dengan ungkapan, ‘suatu aktivitas yang menjadi jalan sempurnanya suatu kewajiban, maka hukum aktivitas itu juga wajib dilakukan’.”

إذا علمت ذلك فيتخرج على هذه القاعدة مسائل الى أن قال الثالثة إذا نسي صلاة من الخمس ولم يعلم عينها فيلزمه الخمس

“Bila kamu mengetahui penjelasan tersebut, maka beberapa masalah terproduksi dari kaidah ini. Masalah yang ketiga, apabila seseorang lupa satu shalat dari lima waktu dan ia tidak mengetahui persisnya, maka wajib mengganti lima waktu shalat.” (Abu Muhammad Jamaluddin Abdurrahim bin al-Hasan al-Asnawi, al-Tamhid Fi Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul, hal. 83 dan 85)

Penuturan Syekh al-Asnawi di atas juga senada dengan beberapa kitab fiqih mazhab Syafi’i. Misalkan salah satu guru besar ulama mazhab Syafi’i, Syekh Abu Ishaq al-Syairazi mengatakan:

ومن نسي صلاة من الخمس ولم يعرف عينها لزمه أن يصلي الخمس

“Orang yang lupa meninggalkan satu shalat dari lima shalat fardhu dan ia tidak mengetahui persisnya, maka wajib baginya lima shalat fardhu.” (Syekh Abu Ishaq al-Syairazi, al-Tanbih fi al-Fiqh al-Syafi’i, hal. 31)

Bila saat mengqadhanya dalam kondisi mungkin berwudhu, maka cukup dilakukan dengan satu kali wudhu untuk kelima-limanya. Namun saat mengqadhanya dalam kondisi bertayamum, misal karena sakit, maka menurut pendapat al-Ashah (yang paling kuat), lima shalat tersebut cukup dilakukan dengan satu kali tayamum. Pendapat ini berargumen bahwa yang berstatus shalat fardhu hanya satu shalat saja, sedangkan yang lainnya hanya sebagai perantara menggugurkan kewajiban. 

Sementara menurut pendapat yang lemah, wajib dilaksanakan dengan lima kali tayamum untuk masing-masing shalatnya, sebab pendapat ini tidak membedakan antara kewajiban atas jalan hukum asal dan wasilah, “al-wajib ashalatan wa al-wajib wasilatan”.

Keterangan tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhmmad bin Ahmad al-Ramli sebagai berikut:

و الأصح أن من نسي إحدى الخمس ولم يعلم عينها وجب عليه أن يصلي الخمس لتبرأ ذمته بيقين ، وإذا أراد ذلك كفاه تيمم لهن لأن الفرض واحد وما عداه وسيلة، والثاني يجب خمس تيممات لوجوب الخمس

“Menurut al-Ashah, orang yang lupa salah satu dari lima shalat dan tidak mengetahui persisnya, wajib baginya lima shalat untuk membebaskan tanggungannya secara yakin. Bila ia hendak melakukannya, maka cukup baginya satu kali tayamum untuk lima shalat tersebut, sebab shalat fardhunya hanya satu, yang lain hanya sebagai wasilah (perantara). Dan menurut pendapat kedua, wajib lima kali tayamum, karena wajibnya lima shalat tersebut”. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 1, hal. 314).

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Kami terbuka untuk menerima kritik dan saran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

(Ustadz M. Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua