Syariah

Tak Mendengar Fatihah Imam, Bagaimana Makmum Membaca Amin?

Jum, 30 November 2018 | 02:00 WIB

Tak Mendengar Fatihah Imam, Bagaimana Makmum Membaca Amin?

Ilustrasi (via pinterest)

Shalat jamaah memiliki keutamaan melebihi shalat sendirian. Shalat Jamaah memiliki ketentuan yang tidak sama dengan shalat sendirian. Banyak beberapa persoalan yang dibahas dalam bab shalat jamaah. Sehingga ada beberapa kitab yang secara khusus membahasnya, seperti kitab Ahkam al-Imam wa al-Ma’mum karya al-Imam Ibnu al-‘Imad.

Di antara permasalahan yang ada dalam shalat jamaah adalah anjuran membaca “âmîn” bagi makmum. Membaca âmîn disunahkan setelah selesai membaca fatihah. Dalam konteks shalat berjamaah, selain anjuran membaca âmîn setelah selesai membaca fatihah, makmum dianjurkan untuk membaca âmîn bersamaan dengan âmîn-nya imam. Anjuran ini berlaku di dalam shalat yang bacaannya keras (maghrib, isya’ dan subuh). Keutamaan menyertainya bacaan âmîn-nya imam dan makmum adalah diampuninya dosa-dosa yang telah lampau, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi:

إذا أمن الإمام فأمنوا فإن من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Apabila imam mebaca âmîn, maka ikutlah membaca âmîn. Sesungguhnya orang yang bacaan âmîn-nya menyertai âmîn-nya malaikat, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Problematika muncul saat bacaan imam terlalu pelan atau jumlah makmum yang membludak, sebagian makmum tidak dapat mendengarkan bacaannya imam, mereka hanya mendengar bacaan âmîn makmum di depannya. Bacaan âmîn di barisan depan merupakan indikasi bahwa imam membaca âmîn dan telah menyelesaikan bacaan fatihahnya.

Pertanyaannya adalah, bagi makmum yang hanya bisa mendengar bacaan âmîn dari makmum lain, bagaimana hukumnya membaca âmîn bagi makmum tersebut? Padahal ia tidak dapat mendengar bacaannya imam?.

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, hal tersebut tidak disunahkan. Menurut pendapat ini, anjuran membaca âmîn bagi makmum hanya berlaku bagi makmum yang mendengarkan bacaan fatihahnya imam secara jelas. Sehingga bila ia tidak mendengar bacaan imam atau tidak dapat membedakan huruf-huruf yang dibaca imam, maka tidak disunahkan lagi membaca âmîn, meski makmum mendengar bacaan âmîn dari makmum lain.

Sedangkan menurut pendapat yang lemah, hukumnya sunah. Menurut pendapat ini, meski makmum tidak dapat mendengar bacaan fatihahnya imam, namun sudah terwakili dengan bacaan âmîn dari makmum lain yang mendengarnya. Pendapat kedua ini sebagaimana diterangkan al-Imam al-Muzajjad dalam kitab al-Ubab. Menurut informasi dari Syekh al-Barmawi, pendapat kedua ini dilemahkan oleh beberapa guru al-Barmawi.

Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal berikut ini:

ولا يؤمن المأموم إذا لم يسمع قراءة الإمام أو لم يميز ألفاظه وفي العباب أنه يؤمن إذا سمع تأمين المأمومين وضعفه مشايخنا إهـ برماوي

“Dan makmum tidak dianjurkan membaca âmîn apabila ia tidak mendengar bacaan imam atau tidak dapat membedakan huruf-hurufnya. Dalam kitab al-Ubab disampaikan, dianjurkan bagi makmum tersebut membaca âmîn apabila ia mendengar bacaan âmîn makmum yang lain. Dan pendapat ini dilemahkan oleh guru-guru kami. Keterangan dari Syekh al-Barmawi.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 1, hal. 355).

Pendapat pertama senada dengan sebagian pendapat dalam mazhab Maliki. Sedangkan pendapat kedua sama dengan pendapat kalangan Hanafiyyah dan satu pendapat kalangan Malikiyyah, sebagaimana ditegaskan dalam referensi berikut ini:

اتفقت المذاهب الأربعة على أنه يسن التأمين عند سماع قراءة الإمام أما إن سمع المأموم التأمين من مقتد آخر فللفقهاء في ذلك رأيان الأول ندب التأمين وإليه ذهب الحنفية وهو قول للمالكية وقول مضعف للشافعية الثاني لا يطلب التأمين وهو المعتمد عند الشافعية والقول الآخر للمالكية، ولم نقف على نص للحنابلة في هذا إهـ

“Mazhab empat sepakat bahwa sunah membaca âmîn bagi makmum ketika ia mendengar bacaan imam. Adapun bila makmum mendengar âmîn dari makmum lain, para pakar fiqih terdapat dua pendapat. Pendapat pertama sunah membaca âmîn, ini adalah pendapat Hanafiyyah, sebagian qaul dalam mazhab Maliki dan qaul lemah mazhab Syafi’i. Pendapat kedua mengatakan tidak disunahkan membaca âmîn, ini adalah pendapat yang dibuat pegangan menurut ulama Syafi’iyyah dan pendapat lain dari kalangan Malikiyyah. Kami tidak mengetahui penegasan ulama Hanabilah dalam masalah ini.” (Hai’ah kibar al-Ulama bil Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 1, hal. 112).

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Dua pendapat di atas sama-sama dapat dipakai dan dipertanggungjawabkan, yang paling prisip adalah bagaimana kita bisa saling menghormati atas perbedaan-perbedaan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

(M. Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua