Syariah

Shalat Menggunakan Pakaian Tembus Pandang atau Ketat, Sahkah?

Jum, 3 November 2017 | 04:30 WIB

Shalat Menggunakan Pakaian Tembus Pandang atau Ketat, Sahkah?

Ilustrasi (© Reuters)

Pembaca yang budiman, sebagaimana kita ketahui, menutup aurat merupakan syarat wajib shalat yang harus kita penuhi. Persoalan terkadang muncul ketika sebagian saudara kita, baik lelaki maupun perempuan yang menggunakan pakaian tembus pandang atau ketat ketika shalat. Apakah sah menggunakan pakaian semacam itu ketika shalat?

Untuk menjawab persoalan tersebut, kita bisa menyimak penjelasan Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 134:

يجب ستر العورة بما - أي بجرم - يمنع إدراك لونها لمعتدل البصر عادة، فلا يكفي ما لا يمنع ذلك… (قوله: ويكفي ما يحكي لحجم الأعضاء لكنه خلاف الأولى أي للرجل، وأما المرأة والخنثى فيكره لهما.

“Wajib menutup aurat dengan sesuatu yang mencegah mata melihat warna kulit, maka tidak cukup menggunakan bahan yang tidak mencegahnya…(Pernyataan: Dan cukup menggunakan sesuatu yang memperlihatkan lekuk tubuh… namun hal semacam ini dihukumi khilaful aula bagi lelaki dan makruh bagi wanita dan khuntsa.”

Dari penjelasan di atas bisa kita pahami bahwa hukum shalat dengan pakaian yang tembus pandang, yang membuat orang lain masih bisa melihat warna kulit kita, adalah tidak sah, baik bagi lelaki maupun perempuan.

Sedangkan menggunakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh, hukumnya tetap sah, namun khilaful aula (dianjurkan meninggalkannya) bagi lelaki dan makruh bagi perempuan dan khuntsa (berkelamin ganda/tidak berkelamin). Karena itu, sebaiknya tetap dihindari.

Jika kita berbicara soal keutamaan, maka beberapa pertimbangan yang bisa kita jadikan panduan dalam memilih pakaian ketika akan shalat ialah pakaian yang polos tanpa banyak motif dan garis-garis, tidak tembus pandang, dan tidak ketat. Pertimbangan yang lain juga ialah menggunakan pakaian yang sopan secara syariat maupun secara adat.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

(Muhammad Ibnu Sahroji)