Syariah

Saat Terlanjur Shalat tanpa Menghadap Kiblat

Rab, 19 Desember 2018 | 04:00 WIB

Saat Terlanjur Shalat tanpa Menghadap Kiblat

Seseorang diwajibkan berusaha dalam menentukan arah kiblat, misalnya dengan cara mengamati posisi matahari atau menggunakan alat tertentu.

Saat Allah menyerukan perintah shalat dalam firman-Nya, “Dan dirikanlah shalat”, maka Allah juga memerintahkan syarat-syaratnya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
 
الأمر بالشيء أمر به وبما لا يتم الفعل إلا به
 
Artinya, “Memerintahkan perkara juga memerintahkan perkara yang menjadi penyempurnanya.”
 
Dalam konteks perintah shalat, yang dimaksud penyempurnanya adalah syarat-syarat shalat. Salah satu yang menjadi syarat sah shalat adalah menghadap kiblat. Menghadap kiblat disyaratkan bagi orang yang mampu menghadapnya. Kewajiban ini berdasarkan firman Allah:
 
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
 
Artinya, “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram,” (Surat Al-Baqarah ayat 144).
 
Demikian pula sabda Nabi kepada Khallad bin Rafi’ al-Anshari yang memperburuk shalatnya:
 
إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة
 
Artinya, “Bila engkau hendak menjalankan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 
Dalil lainnya adalah Ijma’ (konsensus) ulama bahwa shalat tidak sah tanpa menghadap kiblat.
 
Menghadap kiblat bisa dihasilkan dengan yaqin atau zhann (dugaan). Menghadap secara yakin berlaku untuk orang yang dekat dengan ka’bah, misalkan orang yang berada di sekitar Masjidil Haram. Sedangkan untuk orang yang jauh dari ka’bah standarnya adalah zhann (dugaan) bahwa ia telah menghadap kiblat. 
 
Ada beberapa hal yang dapat menjadi pijakan dalam menentukan arah kiblat, misalkan berlandaskan kepada mihrab masjid yang teruji tanpa ada yang mencelanya, berita dari orang terpercaya yang melihat kiblat secara langsung, berita dari banyak orang yang mencapai taraf khabar mutawatir (diyakini kebenarannya), bait al-ibrah (kompas) dan lain sebagainya. Dalam konteks kekinian, bait al-ibrah yang dijelaskan di beberapa kitab turats saat ini bisa digantikan dengan aplikasi sejenis Google Maps.
 
Saat kondisi tidak memungkinkan, misalkan di tengah jalan tanpa menemukan petunjuk apa pun, maka seseorang diwajibkan untuk berijitihad (berusaha) dalam menentukan arah kiblat. Misalkan dengan cara meneliti arah mata angin atau arah matahari. Bila tidak memungkinkan untuk berijtihad, maka bertanya kepada orang lain.
 
Dalam menentukan arah kiblat, seseorang tidak boleh ngawur, tidak boleh melakukan shalat dengan asal menghadap tanpa dasar. Meski pada kenyataannya arahnya tepat, shalatnya tetap tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan dengan menghadap kiblat tanpa ada dasar, maka ulama sepakat wajib diulangi.
 
Ketika sudah menghadap berdasarkan petunjuk yang didapat dari hasil ijtihadnya, namun setelahnya diyakini keliru, maka menurut pendapat al-azhhar (pendapat kuat), shalatnya tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan tanpa menghadap kiblat, wajib diulangi. Saat kekeliruan terjadi di tengah-tengah shalat, maka shalat wajib diulang dari awal dan menghadap arah yang benar.
 
Pendapat pertama ini berargumen bahwa permasalahan kekeliruan menghadap kiblat bagi orang telah berusaha menemukan arah kiblat dianalogikan dengan kasus seorang hakim yang memutuskan persoalan berdasarkan ijtihadnya, kemudia ia menemukan dalil nash yang menyelesihi hasil ijtihadnya. Dalam kondisi tersebut, hakim wajib mencabut pendapatnya dan kembali kepada dalil nash.
 
Sementara menurut pendapat kedua, shalatnya tetap sah. Sebab ia meninggalkan kiblat disebabkan udzur, sehingga sama dengan persoalan meninggalkan kiblat saat kondisi perang.
 
Penjelasan di atas sebagaimana keterangan yang disampaikan dalam referensi berikut ini:
 
قوله (ومن صلى بالاجتهاد) منه أو من مقلده (فتيقن الخطأ) في جهة أو تيامن أو تياسر معينا قبل الوقت أو فيه أعاد أو بعده (قضى) وجوبا (في الأظهر) وإن لم يظهر له الصواب لتيقنه الخطأ فيما يؤمن مثله في العادة كالحاكم يحكم باجتهاده ثم يجد النص بخلافه  
 
Artinya, “Orang yang shalat dengan ijtihad dari dirinya sendiri atau orang yang dia ikuti, kemudian yakin keliru di dalam arah kiblat, arah kanan atau kiri kiblat secara tertentu, sebelum masuk waktu atau di dalamnya, maka ia wajib mengulangi shalat. Atau apabila terjadi setelah shalat, maka wajib mengqadla’ menurut pendapat al-Azhhar, meski tidak jelas baginya kebenaran. Sebab kayakinannya akan sebuah kekeliruan dalam persoalan yang secara adat terjamin dari kekeliruan, sebagaimana seorang hakim yang menghukumi berdasarkan ijtihad kemudian ia menemukan dalil nash yang menyelisihinya”.
 
والثاني لا يقضي لأنه ترك القبلة بعذر فأشبه تركها في حال القتال ونقله الترمذي عن أكثر أهل العلم واختاره المزني  وخرج بتيقن الخطأ ظنه
 
Artinya, “Menurut pendapat kedua, tidak wajib mengqadha’. Sebab ia meninggalkan kiblat disebabkan uzur, maka serupa dengan kasus meninggalkan kiblat dalam kondisi perang. Pendapat ini dikutip oleh At-Tirmidzi dari mayoritas ahli ilmu dan dipilih oleh Imam Al-Muzni. Dikecualikan dengan ungkapan yakin keliru, dugaan akan kekeliruan.”
 
قوله (فلو تيقنه فيها) أي الصلاة (وجب استئنافها) بناء على وجوب القضاء بعد الفراغ لعدم الاعتداد بما مضى
 
Artinya,“Bila yakin keliru di dalam shalat, maka wajib memulai shalat dari awal, berpijak dari pendapat yang mewajibkan mengqadla’ setelah selesai shalat, sebab tidak dianggapnya shalat yang telah dikerjakan,” (Lihat Syekh Al-Khathib Al-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I halaman 147).
 
Demikian penjelasan mengenai hukum seseorang yang terlanjur keliru dalam menghadap kiblat. Ikhtilaf ulama di atas hendaknya tidak menjadi bahan untuk saling menghujat, namun sebagai bahan untuk menghormati perbedaan. Bila mempertimbangkan kehati-hatian, maka hendaknya mengikuti pendapat yang tidak mengesahkan, terlebih pendapat itu adalah pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. (Ustadz M Mubasysyarum Bih)