Syariah

Mimisan di Pertengahan Shalat, Batal atau Harus Lanjut?

Jum, 9 November 2018 | 13:15 WIB

Mimisan di Pertengahan Shalat, Batal atau Harus Lanjut?

Ilustrasi (via Pinterest)

Dalam menjalankan shalat disyaratkan suci dari najis pada badan, pakaian, tempat dan sesuatu yang dibawa oleh orang yang shalat. Syarat ini adalah syarat yang wajib dipenuhi oleh orang yang akan melakukan shalat sebelum ia melaksanakan ibadahnya. Yang termasuk dalam kategori najis di antaranya adalah darah, nanah, kencing, dan berbagai macam kotoran yang keluar dari alat kelamin hewan. Kewajiban terhindar dari najis sebelum melaksanakan shalat salah satunya berdasarkan hadits:

إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ

“Apabila pakaian salah satu dari kalian terkena darah haid, hendaknya ia menggosoknya kemudian membasuhnya dengan air, lalu ia boleh mengenakannya untuk shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Disamakan dengan darah haid dalam teks hadits di atas segala perkara yang dihukumi najis. Sehingga sebelum melakukan shalat, wajib bagi seseorang untuk menghilangkan dan menyucikan dirinya dari najis.

Permasalahan terjadi ketika orang yang hendak melakukan shalat telah berada dalam keadaan suci, namun saat pertengahan ia melakukan shalat ia terkena najis. Permasalahan demikian, seringkali terjadi dalam kasus orang yang mimisan (pendarahan yang keluar dari salah satu atau dua lubang hidung, red). Saat di pertengahan shalat tiba-tiba seseorang mengalami mimisan, bagaimana status shalat yang ia laksanakan? Apakah tetap dihukumi sah, atau justru menjadi batal?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas kiranya patut dipahami bahwa tidak semua najis dihukumi hal yang menyebabkan shalat tidak sah. Namun ada beberapa kategori najis yang dihukumi ma’fu (ditoleransi) dalam shalat dengan berbagai ketentuan dan perincian yang dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab fiqih. 

Darah mimisan yang keluar saat sedang melakukan shalat adalah salah satu dari contoh najis yang ma’fu ini. Namun dengan ketentuan: darah mimisan tersebut tidak sampai mengenai anggota tubuh atau pakaian orang yang shalat dalam kapasitas yang banyak. Jika demikian maka ia wajib untuk memutus shalat yang ia lakukan, sebab darah mimisan dalam keadaan demikian sudah tidak dihukumi ma’fu lagi. 

Jika darah mimisan mengenai anggota tubuh atau pakaian orang yang shalat dalam kapasitas yang sedikit, meskipun darah mimisan yang keluar jumlahnya banyak hanya saja tidak mengenai anggota tubuh atau pakaian orang yang shalat, maka ia tidak diperkenankan untuk memutus shalatnya, sebab darah tersebut dihukumi ma’fu.

Penjelasan tentang ini ditegaskan secara gamblang dalam kita Tuhfah al-Muhtaj:

ولو رعف في الصلاة ولم يصبه منه إلا القليل لم يقطعها وإن كثر نزوله على منفصل عنه فإن كثر ما أصابه لزمه قطعها ولو جمعة خلافا لمن وهم فيه أو قبلها ودام فإن رجا انقطاعه والوقت متسع انتظره وإلا تحفظ كالسلس

“Jika seseorang mimisan saat shalat, dan darah yang mengenainya hanya sedikit, maka ia tidak diperbolehkan untuk memutus shalatnya, meskipun darah mimisan yang keluar dalam jumlah yang banyak dan mengenai perkara yang terpisah dari dirinya. Namun jika darah mimisan yang mengenai dirinya dalam jumlah yang banyak maka ia wajib untuk memutus shalatnya. Meskipun shalat tersebut adalah shalat jum’at. Meski ulama’ terjadi perbedaan pendapat dalam hal shalat Jumat ini. Dan jika darah mimisan itu keluar sebelum ia melakukan shalat dan darah itu keluar terus menerus, maka hal ini diperinci, jika darah tersebut dimungkinkan berhenti pada waktu yang sekiranya cukup untuk dibuat shalat maka ia harus menunggu berhentinya darah itu. Namun jika tidak dimungkinkan berhenti sebelum waktu yang cukup untuk melakukan shalat maka hidung itu disumpal sebagaimana orang yang beser.” (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 6, hal.350)

Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa orang yang mimisan saat shalat wajib untuk melanjutkan shalatnya selama darah yang mengenai tubuhnya tidak dalam jumlah yang banyak. Sedangkan perhitungan banyak sedikitnya darah didasarkan pada pertimbangan umumnya manusia (urf) jika masyarakat setempat menganggap darah yang mengenai dirinya banyak maka darah tersebut dihukumi banyak dan jika masyarakat setempat menganggap darah itu sedikit maka dihukumi sedikit. Wallahu a’lam.

(M. Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua