Syariah

Iqamah tanpa Adzan Hanya Dianjurkan dalam Tiga Kondisi Ini

Rab, 28 November 2018 | 08:00 WIB

Iqamah tanpa Adzan Hanya Dianjurkan dalam Tiga Kondisi Ini

Ilustrasi (prayerinislam.com)

Ketika Rasul ﷺ melakukan haji dan mabit (menetap) di Muzdalifah, Rasulullah melakukan shalat jamak dengan satu adzan dan dua iqamah. Artinya, Rasul memerintahkan sahabat untuk melakukan adzan di awal shalat jama’ tersebut dan memerintahkan sahabat melakukan iqamah di setiap awal shalat.
 
Hal ini terekam dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dalam Sahih-nya.
 
جمع بين المغريب والعشاء بمزدلفة بأذان واحد وإقامتين
 
Artinya, “Rasulullah ﷺ menjamak shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan satu adzan dan dua iqamah.” (HR. Muslim)
 
Hadits tersebut jelas menunjukkan kebolehan melakukan iqamah tanpa diiringi adzan terlebih dahulu di shalat jamak, tepatnya di shalat jamak yang kedua. Tapi, jika shalat yang dilakukan bukan shalat jamak, yakni shalat hadir, apakah diperbolehkan melakukan iqamah tanpa adzan terlebih dahulu?
 
Menjawab hal ini, beberapa ulama mengajukan pendapat terkait dengan kebolehan melakukan iqamah saja tanpa didahului dengan adzan. Namun, hal ini tidak berlaku umum. Ada beberapa kondisi tertentu yang memperbolehkan seorang muqim (orang yang mengumandangkan iqamah) melakukan iqamah tanpa didahului dengan adzan.
 
Pertama, ketika menjamak shalat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Yakni, melakukan adzan di awal shalat jamak dan iqamah sebelum melakukan kedua shalat yang dijamak.
 
Kedua, ketika mengqadha beberapa shalat. Misalnya, kita terlewat dua shalat, yakni shalat subuh dan dhuhur karena tertidur, maka saat menqadha-nya kita melakukan adzan dan iqmah di shalat yang pertama, dan iqamah saja tanpa adzan di shalat yang kedua. 
 
Hal ini juga berlaku jika shalat yang diqadha lebih dari dua shalat. Dasar dari pendapat ini adalah diqiyaskan dengan hadits shalat jamak yang dilakukan oleh Rasul ﷺ di Muzdalifah, sebagaimana disebutkan dalam al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii:
 
من كان عليه فوائت وأراد أن يقضيها أذَّن للأولى فقط، وأقام لكل صلاة، ودليل ذلك أن الني ﷺ: "جمع بين المغرب والعشاء بمزدلفة بأذان واحد وإقامتين
 
Artinya, “Siapa yang memiliki kewajiban mengqadha shalat yang terlewat, maka ia melakukan adzan di shalat yang pertama saja, dan melakukan iqamah di setiap shalat. Dasar dari hal ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ menjamak shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan satu adzan dan dua iqamah.” (lihat: Musthafa Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, [Damaskus: Dar as-Syuruq, 1992 M], j.1, h. 119.)
 
Ketiga, jika semua orang sudah berkumpul dan tidak ada niatan lagi untuk memanggil para jamaah. Misalnya, sebelum masuk waktu shalat, sudah ada acara terlebih dahulu di masjid, ketika sudah masuk waktu shalat, semua orang yang hadir sudah siap melakukan shalat, maka cukup melakukan iqamah saja, tanpa adzan.
 
Hal ini didasarkan pada perilaku Rasul ﷺ dan para sahabat ketika perang Khandaq yang terekam dalam sebuah hadits riwayat Abu Said al-Khudri:
 
قال: حبسنا يوم الخندق عن الصلاة، حتى كان بعد المغرب ... . فدعا رسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بلالا، فأمره، فأقام صلاة الظهر فصلاها، ثم أقام العصر فصلاها، ثم أقام المغرب فصلاها، ثم أقام العشاء فصلاها
 
Artinya, “Abu Said al-Khudri berkata, “Ketika kita terhalang untuk melakukan shalat pada saat perang Khandaq, hingga tiba saatnya waktu Maghrib... kemudian Rasulullah ﷺ memanggil Bilal dan memerintahkanya, Bilal pun melakukan iqamah untuk shalat dhuhur dan Rasul melakukan shalat dhuhur, kemudian Bilal melakukan iqamah untuk shalat ashar dan Rasul melakukan shalat ashar, lalu Bilal melakukan iqamah untuk shalat maghrib dan Rasul pun melakukan shalat maghrib, setelah itu, Bilal melakukan iqamah untuk shalat Isya  dan Rasul pun melakukan shalat isya.” (lihat Yahya al-Imrani al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab Imam as-Syafii, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2000], j. 2, h. 60.)
 
Hadits ini bisa dilacak dalam beberapa kitab hadits muktabar, seperti Sahih Ibn Hibban, Sahih Ibn Huzaimah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab hadits lain.
 
Dari hadits tersebut Imam as-Syafii dalam kaul jadid-nya berpendapat bahwa tidak disunnahkan adzan, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam al-Auzai dan Abu Ishaq dengan berlandaskan (mengqiyaskan) hadits tersebut, walaupun konteks hadits tersebut adalah shalat qadha’ karena terlewat saat perang.
 
Namun Abu Ishaq berpendapat, walaupun konteks pelaksanaan iqamah tersebut terjadi pada saat shalat qadha dan shalat jamak (sebagaimana dijelaskan dalam hadits pertama) tapi berlaku juga untuk shalat hadir (shalat yang dilakukan sesuai waktunya, bukan jamak dan bukan qadha).
 
قال أبو إسحاق: ولا فرق على هذا القول بين الفائتة، والحاضرة في وقتها، إذا صلى في موضع يرجو اجتماع الناس لها. . أذن وأقام، وإن لم يرج اجتماعًا. . أقام ولم يؤذن
 
Artinya, “Abu Ishaq berpendapat, “Untuk pendapat ini, tidak ada perbedaan antara shalat yang terlewat ataupun shalat tepat waktu (shalat hadir). Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang diharapkan menusia bisa berkumpul untuk berjamaah, maka (disunnahkan) adzan dan iqamah. Namun jika tidak mengharapkan berkumpulnya manusia, maka cukup iqamah saja, tanpa adzan.” (lihat Yahya al-Imrani al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab Imam as-Syafii, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2000], j. 2, h. 60-61.)
 
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya hakikat pelaksanaan adzan adalah untuk memanggil dan mengumpulkan orang untuk melakukan shalat, jika orang atau jamaahnya sudah berkumpul dan siap melaksanakan shalat, maka cukup melakukan iqamah saja.
 
Wallahu a’lam.
 
(Muhammad Alvin Nur Choironi)
 
 
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua