Syariah

Hukum Shalat dengan Memakai Masker

Sab, 19 Januari 2019 | 23:00 WIB

Shalat merupakan ibadah yang memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Sejak sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan dan setelahnya, ada saja problematika yang menarik dipelajari hukum fiqihnya. Termasuk di antaranya adalah persoalan memakai masker. Karena pertimbangan kesehatan dan lainnya, seseorang tidak melepas maskernya saat shalat. Bagaimana hukumnya shalat memakai masker?
 
Agama tidak melarang penggunaan berbagai atribut yang dikenakan ketika shalat, seperti sorban, selendang, peci, sajadah dan lain sebagainya. Termasuk dalam titik ini adalah masker. Asalkan benda-benda tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat shalat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram dan tidak sah shalatnya.
 
Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani mengatakan:
 
ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك 
 
Artinya, “Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, halaman 102).
 
Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat melakukan sujud. Para ahli fiqih bermazhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna. Lain halnya bila dalam kondisi darurat, misalnya untuk mencegah penularan penyakit yang mewabah. Dalam kondisi ini mengenakan masker disarankan karena kebutuhan.
 
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:
 
ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه  (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف
 
Artinya, “Disunahkan di dalam sujud, meletakkan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian pula makruh tidak meletakan hidung,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36).
 
Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjelaskan sebagai berikut:
 
قوله ويسن كونه اي الانف قوله مكشوفا قياسا على كشف اليدين لم يذكر هذا القياس في التحفة، وعبارة شيخ الاسلام ثم يضع جبهته وانفه مكشوفا للاتباع رواه ابو داود وغيره الخ ومقتضى هذا رجوع الاتباع للكشف ايضا فليتأمل وليراجع
 
Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar dan sunah terbukanya hidung karena dianalogikan dengan membuka tangan, Syekh Ibnu Hajar tidak menyebutkan analogi ini dalam kitab al-Tuhfah. Adapun redaksinya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari adalah, kemudian sunah meletakan dahi dan hidungnya dalam keadaan terbuka karena mengikuti Nabi. Hadits riwayat Imam Abu Daud dan lainnya. Tuntutan dari redaksi ini adalah kembalinya alasan mengikuti Nabi kepada persoalan membuka hidung juga. Berpikirlah dan periksalah kembali,” (Lihat Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, juz III, halaman 36).
 
Demikian penjelasan mengenai hukum memakai masker saat shalat. Simpulannya, dalam kondisi normal sebaiknya penggunaan masker atau penutup lainnya dihindari bila sampai menghalangi terbukanya hidung secara sempurna ketika sujud. Kecuali dalam kondisi-kondisi khusus, misalnya mencegah penularan penyakit atau kondisi darurat lainnya. Dalam konteks terakhir ini, mengenakan masker secara tepat justru dianjurkan, bahkan wajib jika tanpanya akan menimbulkan mudarat. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam.
 
 
(Ustadz M Mubasysyarum Bih)