Syariah

Hukum Mengeraskan Bacaan pada Shalat Sendirian

Rab, 14 November 2018 | 05:30 WIB

Hukum Mengeraskan Bacaan pada Shalat Sendirian

Ilustrasi (Youtube)

Soal pelaksanaan shalat, umat Islam diperintahkan untuk meniru cara shalat yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Seperti yang dijelaskan dalam hadits:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari)

Berawal dari hadits tersebut, para ulama merumuskan dari beberapa hadits yang ada tentang pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, hingga akhirnya berhasil dirumuskan ketentuan-ketentuan yang ada dalam shalat, meliputi rukun-rukun shalat dan kesunnahan shalat. Salah satu dari beberapa hal yang diwajibkan dalam shalat yang sekaligus menjadi rukun shalat adalah membaca Surat al-Fatihah, dalam hal ini Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tiada Shalat bagi orang yang tidak membaca surat pembukanya Al-Qur’an (Al-Fatihah).” (HR. Bukhari Muslim)

Dilihat dari segi cara membaca bacaan Al-Qur’an dalam shalat, baik itu berupa Surat al-Fatihah ataupun surat-surat yang lain secara umum, shalat terbagi menjadi dua kategori, yaitu shalat sirriyah dan shalat jahriyyah. Shalat sirriyah adalah shalat yang bacaan Al-Qur’annya dianjurkan untuk dibaca pelan. Shalat zuhur dan asar masuk dalam kategori shalat sirriyah ini. Sedangkan shalat lainnya yaitu shalat subuh, maghrib dan isya’ tergolong sebagai shalat jahriyyah, yakni shalat yang dianjurkan mengeraskan bacaan Al-Qur’an yang ada dalam shalat tersebut. 

Anjuran mengeraskan atau melirihkan bacaan yang ada dalam shalat sirriyah dan jahriyyah ini bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan, namun hanya sebatas sunnah. Sehingga tetap diperbolehkan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan ketentuan ini, meski berarti ia dianggap melakukan kemakruhan dalam shalatnya sebab tidak melakukan kesunnahan ini. Hal ini sesuai yang ada dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:

لو جهر في موضع الإسرار أو عكس لم تبطل صلاته ولا سجود سهو فيه ولكنه ارتكب مكروها

“Jika seseorang mengeraskan bacaan di tempat yang mestinya dibaca pelan, atau sebaliknya, maka shalatnya tidak batal dan ia tidak perlu sujud sahwi akan tetapi ia telah melakukan kemakruhan.” (Syekh Abu Zakaria Yahya an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 3, hal. 390)


Baca juga:
Apa yang Dilakukan Makmum saat Imam Baca Surat Pendek?
Hukum Makmum Baca Iftitah saat Imam Baca Fatihah
Beda Pendapat Ulama soal Baca al-Fatihah dalam Shalat
Dalam konteks shalat berjamaah, membaca dengan suara keras hanya disunnahkan bagi imam saja. Sedangkan bagi makmum tidak dianjurkan untuk ikut membaca keras dalam bacaan shalat jahriyyah ketika ia bersama dengan imam, sebab yang disunnahkan bagi makmum adalah mendengarkan bacaan al-Fatihah imam dengan seksama dan membaca pelan bacaan al-Fatihah-nya ketika imam sudah beranjak pada bacaan surat lainnya.

Ketentuan membaca pelan dan keras ini tidak hanya berlaku pada imam saja, namun juga berlaku bagi orang yang melakukan shalat dalam keadaan sendirian (munfarid). Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab yang sama: 

فالسنة الجهر في ركعتي الصبح والمغرب والعشاء وفى صلاة الجمعة والاسرار في الظهر والعصر وثالثة المغرب والثالة والرابعة من العشاء وهذا كله باجماع المسلمين مع الاحاديث الصحيحة المتظاهرة علي ذلك هذا حكم الامام وأما المنفرد فيسن له الجهر عندنا وعند الجمهور

“Disunnahkan membaca dengan suara keras pada dua rakaatnya shalat subuh, maghrib, isya’ dan shalat Jumat. Dan disunnahkan membaca pelan pada shalat zuhur dan ashar serta rakaat ketiga dan keempat pada shalat maghrib dan isya’. Semua ketentuan ini sesuai dengan kesepakatan para ulama seiring adanya hadits-hadits sahih yang menjelaskan tentang hal ini. Keseluruhan hukum di atas berlaku bagi imam. Adapun bagi orang yang melaksanakan shalat sendirian, tetap disunnahkan baginya mengeraskan bacaan menurut mazhab kita (Syafi’i) dan mayoritas ulama dalam mazhab lain” (Syekh Abu Zakaria Yahya an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 3, hal. 389). 

Meski tetap disunnahkan membaca keras, namun bijaknya dalam melaksanakan hal ini (membaca keras saat shalat sendirian) tetap menyesuaikan tempat dan situasi, sekiranya ia tidak dianggap sebagai orang yang menyalahi kebiasaan yang terlaku di tempat tersebut. Misalnya, ketika ia shalat di ruangan yang sepi, atau di tempat yang masyarakat sekitar sudah terbiasa dan mengerti bahwa membaca keras saat shalat sendirian adalah hal yang sunnah. Dengan begitu ia selain melakukan kesunnahan dalam bacaannya, ia juga telah melakukan sebuah perilaku yang baik (husnul khuluq), yaitu muwâfaqatunnas mâ lam yukhâlif as-syar’a (beradaptasi dengan masyarakat selama tidak pada hal yang menyalahi syara’). Wallahu a’lam.

(M. Ali Zainal Abidin)


Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua