Syariah

Hukum Menahan Tawa ketika Shalat

Sel, 13 November 2018 | 06:00 WIB

Hukum Menahan Tawa ketika Shalat

Ilustrasi (Reuters)

Dalam shalat terdapat batasan-batasan yang menjadi penentu sah tidaknya shalat seseorang. Jika batasan ini dilanggar maka shalat yang dilakukan olehnya menjadi batal dan wajib untuk mengulanginya kembali. Seorang Muslim hendaknya mengetahui berbagai batasan ini agar shalat yang dilakukannya bisa sah secara fiqih dan dapat menggugurkan kewajiban shalat yang dibebankan oleh syara’ kepadanya.

Salah satu hal yang membatalkan shalat adalah berbicara saat tengah melakukan shalat. Dengan mengucapkan kalimat yang terdiri dari dua huruf hijaiyah yang tidak ada kaitannya dengan shalat maka shalat seseorang dinyatakan batal. Atau ketika seseorang melafalkan satu huruf hijaiyah yang mengandung arti tertentu, seperti huruf “Qi” yang memiliki arti “jagalah” maka shalatnya juga menjadi batal.

Dalam hadits riwayat imam muslim dijelaskan:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas di dalamnya terdapat percakapan manusia. Karena dalam shalat hanya terdapat bacaan tasbih, takbir dan ayat Al-Qur’an” (HR. Muslim)

Baca juga: Hukum Membaca Hamdalah saat Bersin dalam Shalat
Lalu bagaimana dengan tertawa saat shalat? Apakah dikategorikan sebagai percakapan manusia yang menyebabkan batalnya shalat?

Penjelasan tentang tertawa ini telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam ad-Daruqutni:

الضحك ينقض الصلاة ولاينقض الوضوء

“Tertawa dapat membatalkan shalat dan tidak membatalkan wudhu.” (HR. ad-Daruqutni)

Para ulama fiqih, khususnya mazhab syafi’I mengarahkan pembahasan tertawa dalam pembahasan berbicara ketika shalat. Hukum tertawa saat shalat ini sama persis dengan perincian berbicara ketika shalat yakni jika tampak dari tertawanya orang yang shalat dua huruf hijaiyah maka shalatnya dianggap batal. Namun jika tertawanya tidak terkandung dua huruf hijaiyah maka shalatnya tetap sah dan wajib meneruskan shalatnya. 

Contoh tertawa yang mengandung dua huruf misalnya, dari suara tertawanya orang yang shalat berbunyi “haha” sedangkan huruf “ha” memiliki padanan yang sama dalam huruf hijaiyah, dengan begitu shalatnya dihukumi batal. 

Hal yang sama juga terlaku pada orang yang menahan tawa saat shalat. Menahan tawa berarti mempertahankan mulutnya agar tidak tertawa, terkadang hanya terwujud dalam ekspresi senyuman sehingga tidak wujud dua huruf hijaiyah sama sekali yang keluar dari mulutnya dan shalatnya tetap sah. Namun jika ternyata komitmennya untuk menahan tawa ini gagal hingga akhirnya ia tertawa dan terkandung dua huruf hijaiyah pada tawanya maka shalatnya menjadi batal dan wajib untuk diulangi kembali.

Penjelasan di atas sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ ala Syarh Al-Manhaj:

قال: (فرع) في مذاهبهم في الضحك والتبسم في الصلاة: مذهبنا أن التبسم لا يضر وكذا الضحك إن لم يبن منه حرفان فإن بان بطلت صلاته

“Cabang permasalahan dalam menjelaskan pendapat-pendapat para ulama dalam menjelaskan status tertawa dan tersenyum dalam shalat. Mazhab kita (Syafi’iyah) berpandangan bahwa sesungguhya tersenyum saat shalat tidak membahayakan (tidak membatalkan) pada shalat, begitu juga tertawa jika tidak tampak dua huruf dari tawanya. Jika tampak dua huruf dari tawanya maka shalatnya menjadi batal.” (Syekh Abu Zakaria Yahya an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhazzab, Juz 4, Hal. 89)

Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa menahan tawa ketika shalat adalah hal yang tidak sampai membatalkan shalat, namun baiknya seseorang menjauhi hal ini sebab menahan tawa saat shalat sangat menunjukkan bahwa shalat yang ia lakukan tidak khusyuk sebab pikirannya pasti tertuju pada hal di luar shalat. Wallahu a’lam.

(M. Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua