Syariah

Hukum Ludah dan Riak Tertelan Saat Shalat

Rab, 24 September 2014 | 10:07 WIB

Shalat merupakan ibadah istimewa. Keistimewaan itu ada pada posisinya sebagai ruang komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Sebagaimana layaknya proses komunikasi, dalam shalat juga diandaikan adanya saling kirim dan terima pesan. Baik pesan itu berbentuk laporan maupun sekedar informasi kehadiran.

Yang jelas diantara dua pihak harus ada kesaling pengertian dan saling memahami. Hal ini akan terjadi jika keduanya berada dalam satu tingkat yang sama, dan akan semakin jelas jika keduanya berada dalam frekwensi yang sama pula.

Oleh karenya shalat menjadi satu kegiata yang cukup berat bagi seorang hamba karena dia harus bolak-balik dari alam bawah ke alam atas, dari dunia kasar ke alam halus, dari ruang kemanusiaan ke ruang ilahiyyaah, meskipun proses ini tidak melibatkan unsur jasmani. Sebagaimana seseorang menaiki tangga atau memanjat gunung. Inilah yang dalam bahasa para sufi diterangkan bahwa shalat merupakan mi'raj kecil.

Karenanya tidak berlebihan jika seorang hamba mensakralkan shalat. Karena menghadap Tuhan tentunya jauh lebih berharga nilainya dari pada beraudiensi dengan presiden. Demikianlah berbagai peratura dan protab syariah ditentukan semata untuk mempermudah proses komunikasi ini.

Meskipun seorang hamba telah asyik berkomunimasi dengan Allah swt dalam shalatnya misalnya, dan telah meninggalkan dunia ke manusiaan. Namun tetap saja dia adalah manusia yang memiliki keterbatasan secara fisik dan materi.

Maka masalah yang muncul kemudian adalah bagaimanakah jika urusan tehnis mengganggu komunikasi itu, apakah dapat dianggap menggugurkan shalat? misalnya menelan ludah atu riak. Bisa jadi keduanya baik ludah dan riak tidak mengganggu komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya, akan tetapi tinjauan secara syariah bisa lain.  

Menelan ludah yang bersih dari percampuran sesuatu, seperti bekas-bekas makanan ataupun lainnya tidaklah membatalkan shalat sebagaimana juga tidak membatalkan puasa. Berbeda jika sengaja menelan ludah yang telah tercampur dengan sisa-sisa makan. Maka jelas membatalkan shalat, sebagaimana membatalkan puasa juga. Akan tetapi jika seseorang tidak bisa lagi membedakan apakah ludah yang ada itu bercampur sisa-sisa makanan ataukah tidak, dan kemudian tertelan, maka hal itu tidak membatalkan shalat. Sebagaimana juga riak yang tiba-tiba ada di dalam mulut dan tidak terhindarkan lagi sehingga tertelan, itupun tidak membatalkan shalat. sebagaiman diterangkan dalam syarah sittina maslah

 

فائدة قال ولوجرى ريقة بباقى طعام بين اسنانه وعجز عن تمييزه ومجه لم يضر كما فى الصوم ومثل ذالك مالونزلت نخامة ولم يمكنه امساكها.

Inilah suatu faedah, telah berkata Syekh Muhammad Arramli: Jika mengalir ludahnya bersama sisa makanan yang ada diantara gigi-giginya, dan (ia) tidak bisa membedakannya dan mengeluarknnya dari mulutnya (menelannya), tidaklah mengapa, sebagaimana juga pada puasa. Dan seperti demikian juga, jika turun riak, dan tidak memungkinkan dia menahannya. (Ulil Hadrawi) 

 

  

 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua