Syariah

Dzikir sesudah Shalat bagi Mereka yang Terburu-buru

Sel, 18 Desember 2018 | 09:00 WIB

Sudah maklum sekali bahwa setelah melaksanakan shalat disunnahkan bagi seseorang untuk membaca dzikir-dzikir serta doa-doa. Jenis dzikir dan doa ini masing orang bisa berbeda sesuai dengan riwayat yang didapatkan oleh seseorang dari guru atau orang lain yang mengajarkan kepadanya. 

Mengistiqamahkan suatu dzikir adalah sebuah perintah yang sangat dianjurkan oleh syara’, hal ini misalnya seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقاً

“Dan bahwasannya jika mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas jalan itu, maka sungguh kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. Al-Jin: 16)

Namun keinginan seseorang untuk mengistiqamahkan bacaan dzikir dan doa tertentu untuk dilafalkan dalam shalatnya terkedang berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Seringkali seseorang saat hendak melantunkan dzikir setelah shalat, waktunya berbenturan dengan kesibukan yang meliputinya, seperti tugas kantor, perintah orang tua, kejar deadline, dan lain sebagainya yang membuat dirinya menjadi tidak bisa membaca dzikir yang biasa ia baca secara sempurna. 

Dalam keadaan demikian, manakah yang mesti ia pilih, apakah melanjutkan dzikir yang biasa dibacanya sampai selesai, atau beralih dan bergegas menuju kesibukan yang harus segera ia lakukan?

Konsep yang berlaku dalam dzikir adalah bahwa melaksanakan dzikir memang dianjurkan untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu sekiranya seseorang bisa istiqamah untuk membacanya—setelah shalat, misalnya. Namun dzikir ini menjadi boleh untuk di-qadha ketika waktu yang biasa digunakan untuk membaca dzikir ternyata berbenturan dengan aktivitas lain yang dipandang lebih penting untuk dilakukan.

Baca juga:
Anjuran Meng-qadha Wirid yang Terlewat
Susunan Bacaan Wirid Sesudah Shalat Lima Waktu
Hal ini dikarenakan pada aktivitas-aktivitas tertentu terkadang hanya bisa dilaksanakan pada saat itu saja dan ketika ditunda hasilnya menjadi tidak sempurna.  Berbeda halnya dengan dzikir yang masih terdapat opsi untuk dilaksanakan di waktu yang lain dengan cara qadha’, yaitu membaca dzikir di waktu yang lain ketika dipandang aktivitasnya sudah lengang.  

Aktivitas yang dapat membuat dzikir menjadi dianjurkan untuk di qadha’ misalnya seperti menerima tamu, bertemu dengan orang shalih, bertemu dengan keluarga serta aktivitas-aktivitas lain yang dipandang maslahatnya lebih besar untuk dilakukan seketika itu juga (setelah shalat) dibandingkan melanjutkan dzikir yang biasa ia baca setelah shalat. 

Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab al-Futuhat ar-Rabbaniyyat ala al-Adzkar an-Nawawiyyat:

ـ (فصل في أحوال تعرض للذاكر يستحب له قطع الذكر بسببها ثم يعود إليه بعد زوالها) منها إذا سلَّم عليه ردّ السلام ثمّ عاد إلى الذكر. 

“Pasal menjelaskan tentang keadaan yang baru datang  bagi orang yang berdzikir. Disunnahkan bagi orang yang berdzikir untuk memutus dzikirnya dengan sebab datangnya keadaan-keadaan tertentu lalu kembali melanjutkan dzikirnya setelah selesainya. Keadaan-keadaan itu seperti ketika ada orang salam maka ia dianjurkan mendahulukan menjawab salam lalu kembali melanjutkan dzikir.

وكذا إذا عطش عنده عاطس شمّته ثمّ عاد إلى الذكر وكذا إذا سمع الخطيب وكذا إذا سمع المؤذن أجابه في كلمات الأذان والإقامة ثمّ عاد إلى الذكر وكذا إذا رأى منكرا أزاله أومعروفا أرشد إليه أو مسترشدا أجابه ثمّ عاد إلى الذكر كذا إذا غلبه النعاس أو نحوه وما أشبه هذا كلّه.

“Begitu juga ketika mendengar orang yang bersin maka ia mesti membaca Yarhamukallah terlebih dahulu lalu melanjutkan dzikirnya, ketika mendengar orang yang khutbah, ketika mendengar orang yang azan maka ia menjawab azan dan iqamah terlebih dahulu lalu melanjutkan dzikirnya, ketika melihat perkara munkar maka ia hilangkan terlebih dahulu kemungkaran tersebut atau melihat terdapat perkara yang bagus (Amar Makruf) maka ia tunjukkan jalan menuju perkara yang bagus ini, atau ada orang yang minta petunjuk maka jawablah pertanyaannya lalu kembalilah melanjutkan dzikir. Begitu juga ketika dalam keadaan ngantuk berat atau hal yang sama dan dalam keadaan-keadaan yang menyerupai semua kondisi-kondisi di atas.”

ـ (قوله وما أشبه هذا كلّه) أي من كلّ أمر مهمّ عرض والإشتغال به يمنع من الذكر الأهمية فيه إمّا لكونه يفوت أو لعظيم فائدته وكثرة مصلحته كالأمر بالمعروف ونحوه على أن القصد من الذكر إنما هو عمارة الجنان بذكر الرحمن والقائم بأوامره من أرباب هذا المقام 

“Maksud dari keadaan-keadaan yang menyerupai kondisi-kondisi di atas adalah setiap perbuatan penting yang baru datang sedangkan melaksanakan perbuatan ini akan mencegah untuk melanjutkan dzikir-dzikir yang penting. Adakalanya karena perbuatan ini akan hilang seiring berjalannya waktu atau karena besarnya dari faidah perbuatan ini dan banyaknya kemaslahatan yang terdapat di dalamnya seperti perbuatan amar ma'ruf nahi munkar  dan perbuatan-perbuatan yang sama. Hal ini (memutus dzikir) berdasarkan bahwa sesungguhnya tujuan dzikir adalah membangun hati dengan menyebut Allah yang maha pengasih. Sedangkan menjalankan perintah-perintah-Nya merupakan sebagian dari maqam ini.” 

–إلى أن قال- فإذا كان الفضل الشرعي في الصلاة مثلا صلّى وإذا كان في مجالسة العلماء والصالحين والضيفان والعيال وقضاء حاجة مسلم وجبر قلب مكسورونحو ذلك فعل ذلك الأفضل وترك عادته

“Maka ketika keutamaan syara’ lebih mendahulukan melaksanakan shalat, hendaknya ia melakukan shalat dan ketika keutamaan syara’ lebih mendahulukan berkumpul dengan para ulama’, orang-orang shalih, para tamu, keluarga dan memenuhi kebutuhan orang muslim dan mengobati hati orang yang putus asa atau hal yang sesamanya maka hendaknya ia melaksanakan hal yang lebih diutamakan di atas dan meninggalkan kebiasaan (wirid)-nya.” (Muhammad bin ‘Alan, al-Futuhat ar-Rabbaniyyat ala al-Adzkar an-Nawawiyyat, Hal. 154-155)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bagi orang yang terburu-buru untuk melaksanakan aktivitas lain yang dipandang lebih penting, maka setelah melaksanakan shalat, ia dianjurkan untuk langsung melanjutkan aktivitasnya dan meninggalkan dzikir yang biasa ia baca, dengan niatan nantinya ketika kesibukannya telah mulai lengang maka ia mengqadha bacaan dzikir yang biasa ia baca setelah shalat, sehingga ia tetap bisa istiqamah membaca dzikir setelah shalat, meskipun di waktu yang berbeda. Wallahu a’lam

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua