Syariah

Bolehkah Orang Junub Mengumandangkan Adzan?

Sab, 27 Oktober 2018 | 13:50 WIB

Bolehkah Orang Junub Mengumandangkan Adzan?

Iustrasi (aboutislam.net)

Musthafa adalah seorang marbot di masjid al-Ikhlas. Salah satu tugasnya adalah bertanggung jawab atas pelaksanaan shalat fardhu lima waktu, khususnya dalam hal adzan dan iqamah.
 
Namun, suatu saat sebelum adzan Musthafa tertidur, ketika bangun, ia mendapati dirinya telah mengeluarkan mani. Secara otomatis, ia bangun dalam keadaan junub atau berhadats besar. 
 
Karena waktu shalat telah masuk dan ia bertanggung jawab dalam hal adzan, maka mau tidak mau, ia harus adzan. Nah, sahkah adzan yang dilakukan oleh orang yang junub atau berhadats besar seperti musthafa di atas?
 
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa adzan yang dilakukan oleh orang yang junub tersebut tetap sah, namun makruh. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafii dan dianut oleh beberapa ulama besar, seperti Imam Hasan al-Bashri, Imam Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Imam Abu Hanifah, Imam al-Tsauri dan beberapa ulama yang lain.
 
في مذاهب العلماء في الاذان بغير طهارة: قذ ذكرنا أن مذهبنا أن اذان الجنب والمحدث واقامتهما صحيحان مع الكراهة وبه قال الحسن البصري وقتادة وحماد بن ابى سليمان وابو حنيفة والثوري واحمد وابو ثور وداود وابن المنذر
 
Artinya: “Mazhab Ulama terkait adzan dalam keadaan tidak suci (berhadats, termasuk junub): Kami telah menyebutkan bahwa sesungguhnya mazhab kami (syafiiyah) berpendapat bahwa adzan dan iqamahnya orang yang junub dan orang yang berhadats sah, namun makruh. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Hanifah, al-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibn al-Mundzir.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)
 
Tidak hanya pendapat yang memperbolehkan, Imam an-Nawawi juga menyebutkan beberapa pendapat lain yang berbeda, di antaranya pendapat yang mengatakan bahwa adzan atau iqamahnya orang yang junub tidak sah. Selain itu, ada juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa azannya sah, namun iqamahnya harus suci. Sehingga yang sah hanya azannya saja.
 
وقالت طائفة لا يصح أذانه ولا إقامته منهم عطاء ومجاهد والأوزاعي وإسحاق وقال مالك يصح الأذان ولا يقيم إلا متوضئا
 
Artinya, “Segolongan Ulama berpendapat bahwa tidak sah azannya orang yang junub beserta iqamahnya, di antaranya adalah Atha’, Mujahid, al-Auzai, dan Ishaq. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa azannya sah tapi ketika iqamah ia harus sudah dalam keadaan berwudhu (suci dari hadats).” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105)
 
Kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa azannya orang junub tetap sah namun makruh berpegang pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasai dan beberapa mukharrij yang lain dari sahabat Muhajir bin Qanfadz.
 
عن المهاجر بن قنفذ رضي الله قال " أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو ييول فسلمت عليه فلم يرد علي حتى توضأ ثم اعتذر إلي فقال إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر أو قال على طهارة " حديث صحيح
 
Artinya: “Dari Muhajir bin Qanfadz RA berkata: “Aku mendatangi Rasulullah SAW dan ia sedang menunaikan hajat kecil di toilet, kemudian aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawabnya hingga ia selesai berwudhu. Rasul kemudian memohon maaf dan mengemukakan alasan mengapa tidak menjawab salam al-Muhajir. Kemudian Rasul berkata, “Aku tidak suka menyebut asma Allah SWT kecuali dalam keadaan suci (ala tuhrin),” atau ia berkata “ala thaharatin”. Hadits tersebut sahih.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105)
 
Kata karahtu dalam hadits terkait salam di atas dijadikan landasan dan diqiyaskan bahwa azannya orang junub makruh.
 
Imam an-Nawawi mengkritisi pendapat-pendapat lain yang melarang wudhu dalam keadaan junub, yang menggunakan hadits "lâ yuadzzinu illâ mutawaddhi’” (tidak boleh adzan kecuali orang yang berwudhu). Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini dalam susunan perawinya ada yang terputus (munqathi’). An-Nawawi meyebutkan bahwa perawi hadits tersebut, yakni az-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abu Hurairah. Sehingga menurut Imam an-Nawawi, yang paling sahih adalah pendapat yang menyebutkan kemakruhan adzan orang yang junub, bukan keharamannya. Wallahu a’lam. (Muhammad Alvin Nur Choironi) 
 
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua