Syariah

Aturan Mufaraqah Makmum dari Imam dalam Shalat Berjamaah

Sel, 16 Juni 2020 | 09:00 WIB

Aturan Mufaraqah Makmum dari Imam dalam Shalat Berjamaah

Status hukum mufaraqah (berpisah diri) makmum dari imam dalam shalat berjamaah bisa mubah, sunnah, makruh, wajib, dan haram. (Ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Shalat berjamaah merupakan salah satu ibadah yang hukumnya adalah sunnah muakkad atau sunnah yang sangat dianjurkan. Bahkan, sebagian ulama menyebut hukumnya fardhu kifayah (wajib kolektif), sehingga jika suatu daerah sama sekali tidak ada yang mendirikan shalat berjamaah, maka seluruh penduduk di daerah tersebut terkena dosa.


Dalam melaksanakan shalat berjamaah, kadang muncul problem yang perlu disikapi dalam tinjauan syara’. Misalnya tentang perincian dan aturan hukum memisahkan diri dari imam di pertengahan melaksanakan shalat berjamaah, atau biasa disebut dengan istilah mufaraqah


Mufaraqah sendiri dapat terjadi ketika makmum melakukan niat memisahkan diri dari imam dengan melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri. Misalnya dalam hati makmum melafalkan niat “Nawaitu mufaraqatal imam” atau “Nawaitu al-mufaraqah minal imam”, atau “Saya berniat memisahkan diri dari imam”, maka pada saat itu pula makmum tidak diperbolehkan untuk mengikuti atau mengiringi gerakan-gerakan rukun imam seperti makmum-makmum lain yang tidak mufaraqah. Sebab ia sudah dianggap shalat sendirian, sehingga gerakan rukun-rukunnya ditentukan berdasarkan runtutan shalat dirinya sendiri, bukan berdasarkan pada shalat imam.


Hukum asal dari memisahkan diri dari imam (mufaraqah) dengan tanpa adanya uzur adalah makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah. Misalnya, tanpa adanya sebab apa pun, makmum tiba-tiba mufaraqah. Berbeda halnya ketika mufaraqah dilakukan makmum karena motif yang baik, misalnya ketika makmum melihat imam tidak melakukan kesunnahan, seperti tahiyyat awal, maka dalam keadaan demikian, sunnah bagi makmum untuk mufaraqah guna melaksanakan kesunnahan yang ditinggalkan oleh imam. Perincian hukum tentang mufaraqah ini selaras dengan penjelasan dalam kitab Nihayah az-Zain:


ونية المفارقة بلا عذر مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فلا يحرم عليه قطع القدوة بنية المفارقة وإن قلنا إن الجماعة فرض كفاية لأن فرض الكفاية لا يلزم بالشروع فيه إلا في الجهاد وصلاة الجنازة والحج والعمرة ومحل جواز ذلك ما لم يترتب على ذلك تعطيل الجماعة كأن لم يكن هناك إلا إمام ومأموم وإلا حرم لأن فرض الكفاية إذا انحصر تعين فإن كانت المفارقة لعذر كمرض وتطويل إمام وتركه سنة مقصودة وهي ما جبر بسجود السهو أو قوي الخلاف في وجوبها أو وردت الأدلة بعظيم فضلها فلا كراهة ولا تفويت


“Niat memisahkan diri dari imam (mufaraqah) tanpa adanya uzur adalah hal yang makruh dan dapat menghilangkan fadilah jama’ah. Maka tidak haram bagi makmum memutus hubungan dengan imam dengan niat mufaraqah. Meskipun kita berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah fardhu kifayah. Sebab fardhu kifayah tidak menjadi tetap (wajib) dengan melaksanakannya kecuali dalam bab Jihad, shalat janazah, haji, dan umrah. 


Ketentuan bolehnya mufaraqah ini selama tidak berakibat pada sepinya jamaah dalam suatu daerah, misalnya seperti tidak ada seorang pun yang shalat berjamaah kecuali imam dan makmum tersebut. Jika kasus terakhir ini terjadi maka haram bagi makmum untuk mufaraqah, sebab fardhu kifayah ketika teringkas pada seseorang, maka berubah menjadi fardhu ‘ain. Jika mufaraqah karena adanya uzur, maka tidak makruh dan tidak menghilangkan fadilah jamaah, seperti makmum merasa sakit, imam memanjangkan shalatnya, atau imam meninggalkan sunnah maqsudah, yakni sunnah-sunnah yang diganti dengan sujud sahwi atau sunnah yang begitu kuat perkhilafan ulama tentang wajibnya melaksanakan sunnah tersebut, atau sunnah yang terdapat dalil yang menunjukkan besarnya fadilah melakukannya” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain, hal. 129).


Di samping itu, terdapat pula keadaan di mana wajib bagi makmum untuk mufaraqah dari imamnya, yakni saat makmum mengetahui imam melakukan hal-hal yang membatalkan shalat, misalkan makmum mengetahui pakaian imam terkena najis yang tidak ditoleransi (ma'fu) atau makmum mendengar kentutnya imam saat sedang shalat. Dalam keadaan demikian wajib baginya mufaraqah dari imam agar shalat makmum tersebut bisa tetap dihukumi sah.


Sehingga jika dirangkum secara menyeluruh, dalam hukum mufaraqah terdapat lima perincian hukum yang berlaku bagi makmum, sesuai keadaan dan kondisi yang terjadi pada saat shalat berjamaah. Lima perincian ini secara jelas disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin dengan mengutip kitab Kasyf an-Niqab:


والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجبا ، كأن رأى إمامه متلبسا بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة ، ومباحا كأن طول الإمام، ومكروها مفوتا لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر ، وحراما إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ.


“Kesimpulannya, memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib, seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua, sunnah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunnahan yang dianjurkan (dalam shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat, makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah, yakni ketika mufaraqah tanpa adanya uzur. Kelima, haram, Yakni ketika syiar shalat berjamaah hanya terwujud pada dirinya atau ketika jamaah merupakan suatu kewajiban, seperti pada shalat Jumat” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 153)


Hendaknya bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah—khususnya para makmum—agar betul-betul memahami ketentuan serta perincian hukum tentang mufaraqah ini, hal ini dimaksudkan agar makmum betul-betul dapat menyikapi berbagai problem dalam shalat berjamaah, khususnya yang berkaitan dengan perbuatan imam shalatnya. Dengan begitu shalat berjamaah yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan benar. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember