Syariah

Apakah Setiap Shalat Jamak Boleh Diqashar?

Sel, 14 Januari 2020 | 18:39 WIB

Apakah Setiap Shalat Jamak Boleh Diqashar?

Tidak setiap shalat yang dapat dijamak secara langsung dapat dilaksanakan dengan cara diqashar.

Jamak dan qashar sama-sama merupakan bentuk keringanan (rukhshah) dalam menjalankan ibadah shalat. Keringanan ini berlaku kepada setiap orang yang mengalami sebab-sebab tertentu (illat) sehingga dapat melaksanakan shalat dengan cara jamak atau qashar.
 
Namun pertanyaannya, apakah setiap shalat yang dapat dijamak secara langsung boleh juga untuk diqashar?
 
Dalam menjawab pertanyaan tersebut dapat kita telisik berdasarkan sebab-sebab yang memperbolehkan melaksanakan shalat dengan cara jamak dan qashar apakah sama atau berbeda.
 
Qashar dapat dilaksanakan hanya pada saat perjalanan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
 
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرض فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصلاة إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا
 
Artinya, “Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut di serang orang kafir,” (Surat An-Nisa’ ayat 101).
 
Diksi “takut diserang orang kafir” dalam ayat di atas bukan suatu syarat dalam bolehnya melaksanakan qashar sehingga melaksanakan qashar tetap boleh meski tidak ada kekhawatiran atas serangan oleh pihak tertentu.
 
Namun perjalanan yang dimaksud dalam ayat di atas hanya terkhusus pada perjalanan jauh saja (safar thawil) sehingga shalat qashar tidak dapat dilaksanakan dalam perjalanan dalam jarak pendek. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab Raudhatut Thalibin:
 
وأما كون السفر طويلا، فلا بد منه
 
Artinya, “Adapun jarak perjalanan yang jauh (dalam shalat qashar) merupakan suatu keharusan,” (Lihat An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz I, halaman 471).
 
Dalam membatasi jarak suatu perjalanan disebut sebagai perjalanan yang jauh, para ulama mengalami perbedaan pendapat. Syekh Wahbah Az-Zuhaili, ulama kenamaan asal Syiria misalnya, memberikan batasan suatu perjalanan disebut perjalanan jauh ketika berjarak tempuh 89 Km seperti yang dijelaskan dalam kitab tafsirnya:
 
وبينت السنة أن المراد بالسفر : الطويل وهو أربعة برد وهي مرحلتان تقدر ب
 
Artinya, “Dalam hadits dijelaskan bahwa maksud bepergian (dalam ayat tersebut) adalah bepergian jarak jauh, yaitu perjalanan dengan jarak tempuh empat barad yaitu dua marhalah yang dikira-kirakan sekitar 89 km,” (Lihat Syekh Wahbab Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, juz V, halaman 235).
 
Perjalanan jauh yang dijelaskan di atas, selain memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalat, perjalanan jauh tersebut juga dapat memperbolehkan untuk menjamak shalat sehingga “perjalanan jauh” sama-sama merupakan sebab diperbolehkannya menjamak dan mengqashar shalat.
 
Namun apakah sebab diperbolehkannya menjamak shalat apakah hanya “perjalanan jauh”?
 
Menurut sebagian ulama syafi’iyyah, menjamak shalat tidak hanya berlaku dalam perjalanan jauh, tapi juga boleh dilakukan dalam perjalanan jarak dekat (safar qashir), pendapat ini dapat dijadikan pijakan dan boleh untuk diamalkan. Misalnya yang dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:
 
فائدة : لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي
 
Artinya, “Dalam Madzhab Syafi’i ada ulama’ yang membolehkan menjamak shalat dalam perjalanan pendek, pendapat ini dipilih oleh Imam Al-Bandaniji,” (Lihat Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawy, Bughyatul Mustarsyidin, halaman 160).
 
Sedangkan dalam mengqashar shalat, memang terdapat ulama yang memperbolehkan qashar ketika perjalanan dekat, namun pendapat tersebut dianggap syadz dan tidak dapat diamalkan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Raudhatut Thalibin:
 
وحكي قول شاذ: أن القصر يجوز في السفر القصير، بشرط الخوف
 
Artinya, “Menurut qaul yang syadz (tidak dapat dijadikan pijakan) bahwa qashar dapat dilakukan pada perjalanan pendek dengan syarat adanya rasa takut,” (Lihat Syekh Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz I, halaman 471).
 
Selain dapat dilakukakn ketika perjalanan dekat, menjamak shalat juga dapat dilakukan ketika hujan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Abbas RA:
 
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ مَالِكٌ أُرَى ذَلِكَ كَانَ فِى مَطَرٍ
 
Artinya, “Rasulullah SAW melaksanakan shalat zuhur dan asar dengan cara jamak. Shalat maghrib dan isya dengan cara jamak tanpa adanya rasa takut dan tidak dalam keadaan perjalanan.” Imam Malik berkata, “Saya berpendapat bahwa Rasulullah melaksanakan shalat tersebut dalam keadaan hujan,” (HR Baihaqi).
 
Namun para ulama membatasi bolehnya menjamak shalat ketika hujan dengan berbagai ketentuan-ketentuan tertentu (untuk lebih jelasnya simak penjelasan pada link berikut ini: Batasan Boleh Menjamak Shalat karena Hujan).
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak setiap shalat yang dapat dijamak secara langsung dapat dilaksanakan dengan cara diqashar. Sebab bolehnya mengqashar shalat hanya dengan sebab bepergian jarak jauh, sedangkan menjamak shalat sebabnya tidak hanya itu saja, tapi juga dapat dilaksanakan ketika perjalanan jarak dekat dan ketika hujan.
 
Namun hal yang perlu diperhatikan terkhusus menjamak shalat ketika perjalanan pendek, hendaknya hal tersebut tidak dilakukan kecuali memang dalam keadaan mendesak atau merasa kesulitan (masyaqqah), agar kita tidak tergolong sebagai orang yang mengambil pendapat ulama yang ringan-ringan dengan motif menggampangkan urusan agama (tasahhul fid din). Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abdin