Syariah

Apakah Posisi Anak-anak di Shaf Pertama Hilangkan Keutamaan Shalat Jamaah?

Jum, 21 Desember 2018 | 01:00 WIB

Dalam ritual shalat jamaah, tak jarang kita temukan orang tua mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk berangkat ke masjid agar mengikuti shalat jamaah. Orang tua mengajak anaknya ini tak lain bertujuan agar anaknya dapat terbiasa menjalankan shalat jamaah kelak ketika sudah dewasa.

Banyak juga anak-anak kecil yang berangkat ke masjid sendirian tanpa bersama dengan orang tuanya. Mereka bersemangat berangkat ke masjid biasanya karena teman-temannya yang seumuran juga ikut berangkat shalat berjamaah di masjid.

Realitas demikian adalah hal yang perlu ditradisikan, sebab sangat menunjang terhadap perilaku positif kepada anak-anak. Namun jangan sampai hal ini tidak disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ kepada anak kecil ketika shalat jamaah.

Sering kita lihat, anak kecil ketika shalat jamaah mereka menempati shaf yang paling awal. Padahal di belakangnya masih terdapat orang lain yang sudah baligh yang juga mengikuti shalat jamaah. Melihat realitas demikian terbesit sebuah pertanyaan, sudah benarkah ketentuan shalat jamaah ketika shaf awal terdapat anak kecil yang menempatinya?

Anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum dalam shalat jamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa pada barisan paling depan (shaf awal), lalu barisan selanjutnya ditempati oleh anak-anak laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita.

Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat jamaah menjadi sempurna. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan. Pasalnya, mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh.

Penjelasan di atas tercantum dalam Kitab Mauhibatu Dzil Fadhal:

قوله (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

Artinya, “Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.”

Lalu yang menempati shaf di belakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, meskipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadits shahih “Hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian,” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah).

Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar, maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai  keterangan yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Syekh Mahfudz At-Turmusi, Mauhibatu Dzil Fadhal Hasyiyah At-Turmusi, juz III, halaman 59-62).

Dalam memaknai hilangnya fadhilah jama’ah dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Menurut Imam Ibnu Hajar, ketika ketentuan penempatan shaf di atas dilanggar oleh makmum, maka hal yang hilang adalah fadilah jama’ah bagi makmum.

Menurut Imam Ramli, perkara yang tidak di dapatkan makmum hanyalah fadhilah shaf sehingga fadilah shalat jamaah yang berupa keutamaan 27 derajat masih didapatkan oleh makmum. (Syekh Husein Abdullah, Itsmidul ‘Ainain, halaman 33).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baiknya bagi anak kecil agar tidak ditempatkan pada shaf awal dalam shalat jama’ah, sebab hal demikian bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan syara’ dan akan menghiangkan fadilah jama’ah menurut Imam Ibnu Hajar dan menhilangkan fadilah shaf menurut Imam Ramli.

Berbeda halnya ketika anak kecil hadir di masjid terlebih dahulu dan menempati shaf yang awal, maka dalam keadaan demikian mereka menempati shaf awal menjadi tidak dipermasalahkan. Wallahu a’lam. (Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua