Syariah

Adab Menjadi Imam dan Makmum Menurut Imam Ghazali

Kam, 22 Maret 2018 | 09:30 WIB

KH Muhammad Nur Hayid

Belakangan ini kita banyak menyaksikan pemandangan yang aneh dan menggelikan saat kita shalat di mall atau stasiun, terminal dan bandara. Kita melihat banyak sekali orang-orang yang sepertinya berebut menjadi imam shalat meskipun dari sisi tampilan terlihat tak begitu layak karena hanya memakai kaos dan celana ala kadarnya. Sementara makmumnya justru banyak yang terlihat lebih pantas dan layak.

Naifnya lagi, saat membaca surat Al Fatihah dan ayat Al Qur'an, mulailah nampak kebodohan dan tak layaknya sang imam yang suka berebut itu. Jangankan ilmu dan akhlaknya, bab makhorijul qur'an-nya pun kacau balau dan ngawur. Apalagi panjang pendek dan makna serta pemahamannya terhadap apa yang ia baca.

Tulisan ini akan mengulas pandangan Imam Ghazali tentang etika shalat berjamaah yang beliau tuangkan dalam kitab Bidayah al Hidayah.

Poin pertama yang beliau sampaikan adalah konsep payung (umbrella concept) tentang seorang imam yang harus menjaga, atau minimal mempertimbangkan kenyamanan makmumnya. Konsep ini bisa kita hubungkan dengan kemampuan imam untuk membaca Qiro'at al Fatihah dan bacaan ayat Al Qur-an dengan berbagai model lantunan yang indah, merdu dan tartil.

Perlu juga kita perhatikan bahwa kekhusyu’an bisa jadi sangat terbantu dengan cara bacaan imam yang fasih dan dengan suara yang merdu dan tartil.

Makna kenyamanan dalam shalat ini juga bisa kita hubungkan dengan lama tidaknya sang imam melakukan gerakan shalat. Poin ini menjadi semakin penting ketika makmum berisikan berbagai macam orang dengan berbagai macam kesibukan. Akan menjadi tidak bijak jika sang imam memperpanjang tempo bacaan (baik dengan menambah jumlah bacaan atau membacanya dengan cara yang lama) selama shalat.

Kita sudah sering mendengar bahwa kadar lamanya seorang imam bersujud adalah sepanjang tiga kali tasbih (subhana rabbiyal adhimi wabihamdih untuk ruku’, dan subhana rabbiyal a’la wabihamdih untuk sujud). Kasusnya menjadi berbeda dengan jama’ah di desa atau kampung, dimana imam dan jama’ah sudah memiliki kesepahaman tentang tempo shalat.

Di banyak desa, khususnya di bulan Ramadlan, para jama’ah diberi banyak pilihan. Mushala A tarawih ekspres (cepat) dengan bacaan biasa, mushala B tarawih sedang dengan bacaan biasa, masjid C tarawih lama dengan bacaan yang merdu.

Poin lain yang disampaikan oleh Imam Ghazali adalah tentang cara makmum bersuara, baik dalam membaca bacaan penanda gerakan shalat (Allahu akbar, sami’a Allahu liman hamidah, atau assalamu’alaikum warahmatullah) atau dalam bacaan-bacaan shalat. Beliau menyampaikan bahwa sebaiknya makmum cukup bersuara dengan volume yang bisa didengarnya sendiri.

Membaca ini kita diingatkan pada kejadian di banyak tempat akhir-akhir ini, dimana makmum membaca takbir ketika ruku’, sujud, atau gerakan lain dengan volume yang sama kerasnya dengan imam. Bukannya dilarang, namun akan lebih baik kiranya jika para makmum cukup bersuara lirih.

Kembali berkenaan dengan imam, poin selanjutnya mengatakan bahwa setelah imam membaca fatihah di shalat-shalat jahr (shalat dengan membaca keras bacaan fatihah dan surat), ia lebih baik berhenti untuk memberi kesempatan makmum membaca fatihah.

Etika ini ditujukan agar makmum bisa memberikan perhatian penuh ketika sang imam nantinya membaca surat, sehingga mereka bisa merenungi kandungan surat tersebut, atau membenarkan sang imam jika membaca dengan kurang tepat.

Bagaimana jika sang makmum berada di barisan paling belakang dan tidak mendengar dengan jelas ketika sang imam membaca surat?. Dalam kasus semacam ini, sang makmum bisa membaca sendiri surat-surat pilihan. Selain itu, sang imam juga bisa mengulang bacaan fatihahnya, untuk berhati-hati jangan-jangan ketika membaca dengan lantang dan merdu ia sudah terkena godaan setan untuk takabbur, bersombong diri atas kemerduan bacaannya dan riya. Dengan mengulang fatihah, sang imam bisa ‘menambal’ pahala yang ternodai oleh takabbur tersebut.

Lalu kapan sebaiknya makmum memulai gerakan shalat, berpindah posisi menjadi ruku’, sujud, dan seterusnya?. Imam Ghazali memberikan jawaban dengan menunggu sang imam menyempurnakan gerakannya. Sebagai contoh, ketika imam bergerak dari keadaan berdiri menuju posisi ruku’, sang makmum lebih baik menunggu sang imam menyempurnakan posisi ruku’nya. Begitu juga dengan I’tidal, sujud, dan seterusnya.

Bagaimana makmum tahu imam telah sempurna posisinya?. Dalam keadaan normal dan ideal, sang imam akan berhenti membaca bacaan penanda gerakan shalat ketika posisinya sudah sempurna. Inilah yang mendasari kenapa di pesantren para santri tidak bergerak dari posisi asalnya sebelum imam selesai membaca Allahu akbar, sami’allahu liman hamidah, dan seterusnya.

Penting juga untuk disampaikan bahwa Imam Ghazali menulis di bab ini bahwa makmum tidak perlu mengangkat tangan ketika qunut, dengan alasan tidak adanya khabar yang menjadi dasarnya.

Ini memang pendapat Imam al-Ghazali. Namun, para ulama sepakat untuk melakukan qiyas pada dalil lain yang menyatakan bahwa etika berdoa kepada Allah adalah dengan mengangkat tangan dengan tinggi yang sewajarnya. Beberapa memaknai ini sebagai tanda tawadlu’ (merendahkan diri) pada Allah dan beberapa ulama memaknai ini dengan pemahaman yang lain. Penjelasan lebih jelas tentang hal ini bisa didapatkan di Hujjatu Ahlissunnah wal Jama’ah karangan KH Ali Maksum, Krapyak.

Penulis adalah pengasuh pesantren Skill, Jakarta, dan Pengurus Lembaga Dakwah NU PBNU.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua