Risalah Redaksi

Religiusitas dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Rab, 15 Agustus 2007 | 03:13 WIB

Sebelum ilmu pengetahuan dibebaskan oleh kaum reformis pada masa aufklarung atau zaman pencerahan, filsafat dan ilmu pengetahuan adalah sebagai accella theologia (ilmu bantu teologi). Ilmu pengatahuan digunakan untuk membuktikan adanya Tuhan. Tetapi masa pencerahan datang semua pemahaman yang berbasis agama dianggap non-sense (tidak masuk akal alias omong kosong). Hanya pemikiran yang bisa diuji secara material, fisik yang dianggap make-sense (bisa diterima akal). Dari situlah filsafat dan ilmu pengetahuan kemudian tidak menjadi alat bantu teologi (agama), tetapi menjadi alat bantu teknologi.

Agama diletakkan pada sudut kehidupan yang kurang penting. Sementara teknologi terus dikembangkan. Anehnya, dalam perkembangan tersebut semakin menunjukkan kebenaran agama, terutama mengenai misteri alam semesta dan keagungan Tuhan di dalamnya. Tetapi sayangnya bukti kebesaran Tuhan serta misteri alam yang hampir tanpa batas itu tidak membuat mereka mengakui kebenaran. Sebaliknya mereka malah semakin jauh dari nalar agama, bahkan semakin ingkar.

<>

Semuanya itu terjadi karena terjadi perubahan para ilmuwan dalam menempatkan diri. Pada dasarnya para ilmuwan besar itu sadar bahwa teori-teori yang dibangun bukanlah sebuah creation (ciptaan) melainkan invention (penemuan). Namun ketika keangkuhan telah menguasai jiwa manusia maka diubahlah status dirinya dari sekadar penemu diganti dengan pencipta. Salah kaprah itu bahkan dibakukan dengan penetapan adanya hak cipta, padahal statusnya hanya hak temu, karena yang dilakukan hanya menemukan, setelah mengais fenomena alam maupun sosial.

Padahal menurut ajaran agama manusia hanya bisa menemukan, karena penemuan itu sebuah proses penggabungan minal wujud ilal wujud (dari ada yang tidak sempurna menjadi ada yang sempurna), sementara penciptaan adalah sebuah proses mutlak minal ‘adam ilal wujud (dari tiada menjadi ada). Dalam hanya Tuhanlah Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq), manusia hanya mengais misteri dari apa yang sudah diciptakan Tuhan.

Dengan hadirnya teknologi dari teknologi aeronetika, termasuk teknologi informasi, misteri yang selama ini banyak dikisahkan dalam Isra’ Mi’raj seperti yang sedang kita peringati saat ini, semakin banyak terbukti, sehingga semakin kita yakini kebenarannya. Sesuatu yang dulu hanya kita percaya tanpa bukti, sekarang kita bisa memperoleh bukti, sehingga membuat orang beriman lebih percaya, setelah misteri Isra’ Mi’raj terkuak. 

Untungnya di tengah agnotisme (ketidakpercayaan) kepada Tuhan itu masih ada ilmuwan yang menguasasi ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi masih memiliki komitmen keimanan dan keagamaan yang tinggi. Kelompok Nahdliyin ahli berbagai macam ilmu dan teknologi itu yang diundang NU Online untuk melakukan lokakarya guna pengembangan teknologi yang tetap berbasis pada nilai agama dan etika. Agar teknologi bermanfaat bagi agama dan masyarakat.

Mengembalikan ilmu pengetahuan dan teknologi pada khittahnya terbukti sangat penting dan mendesak, sebab perkembangan teknologi saat ini, tidak hanya merusak alam, tetapi juga merusak etika kehidupan bahkan mengancam eksistensi kehidupan manusaia bahkan makhluk bumi semuanya. Padahal khittah ilmu pengetahuan adalah sebagai sebuah pengabdian baik untuk sesama manusia, terhadap Tuhan dan tidak ketinggalan terhadap alam semesta. Tidak hanya di Barat atau di Timur, banyak sekali ilmuwan yang kemudian menjadi suhu, atau begawan, karena justru dengan pengetahuannya itu mereka semakin dalam keimanannya, sehingga juga semakin tinggi pengabdiannya. (Mun’im DZ)