Risalah Redaksi

Mempermainkan Konstitusi

Sab, 12 Mei 2007 | 05:02 WIB

Undang Undang Dasar memang tidaklah sakral seperti kata kaum reformis, tetapi harap maklum bahwa konstitusi itu bukanlah barang mainan karena menyangkut nasib orang banyak, nasib bangsa dan negara ini. Yang terjadi ketika Undang Undang Dasar diangap tidak sakral maka diperlakukan semaunya, tidak dalam kepentingan rakyat, bukan pula untuk memperkuat bangsa dan negara. Melainkan untuk memenuhi ambisi  pribadi yang diabdikan untuk kepentingan kolonial.

Kolonialisme menjelma dalam bentuk kapitalisme yang mengkampanyekan pasar bebas dan privatisasi aset bangsa dan negara. Hampir seluruh elite politik baik yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif kompak dalam melayani kepentingan kapital itu ketika mereka melakukan amandemen undang-undang dasar, tidak untuk kepentingan rakyat atau negara tetapi mengabdi pada kepentingan kapital, sehingga pasal-pasal kerakyatan dan kebangsaan disamarkan bahkan hapus.<>

Setelah itu munculnya pasal privatisasi, liberalisasi dan federalisasi yang mengarah pada sparatisme tidak terbendung lagi. Hasil dari kesemuanya itu adalah anarkhi politik, anarkhi ekonomi dan anarkhi sosial. Akibatnya secara bertambah masyarakat, bangsa dan negara mengalami Kemerosotan. Semua mengabdi pada kepentingan sendiri, saling menelikung, saling menipu. Tetapi dalam satau hal mereka kompak, bersama-sama mengeroyok kekayaan negara dan fasilitas rakyat.

Melihat kenyataan itu muncul sekelompok orang yang ingin mengembalikan Indonesai pada posisi awal, kembali ke UUD 1945 yang asli, setelah itu diamandemen lagi secara benar dan prosedural. Dalam arti perubahan konstitusi untuk kepentingan rakyat dan negara dan dilaksanakan berdasar kehendak rakyat (referendum). Tuntutan itu ada yang murni untuk perbaikan, tetapi ada juga yang ingin mengembalikan kekuasaan rezim korup Orde Baru.

Di tengah kritik terhadap amandemen yang kebablasan itu tiba-tiba muncul desakan untuk melakukan amandemen lanjutan atau amandemen ke-5. Ironisnya ini bukan untuk menjawab aspirasi masyarakat untuk menjamin kehidupan lebih tertib, lebih sejahtera dan lebih berdaulat. Sebaliknya, amandemen dilakukan hanya untuk kepentingan sekelompok anggta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar bisa mengimbangi DPR yang menjadi super body dalam politik nasional. Kalau hanya itu pasalnya, maka ketika posisi DPD sudah kuat berarti bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat daerah yang mereka wakili, melainkan untuk bertanding dan bersaing dengan DPR dalam merebut aset negara.

Kalau terhadap pasal yang membela rakyat kalanagan DPR malas mendukung, bahkan cenderung mereteli sebelum berjalan. Sebaliknya, mereka secara demonstratif mendukung upaya penguatan DPD. Padahal selama ini dengan alasan tidak punya wewenang DPD tidak membela rakyat daerah yang diwakili. Terbukti sejak lembaga itu dibuat, kesejahteraan rakyat tidak pernah meningkat. Membela secara terbuka pun tidak pernah dilakukan.

Dengan kenyataan ini harapan terhadap kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial sebagaiman dirumuskan dalam Pancasila dan menjadi cita-cita rakyat, masih jauh api dari panggang. Konstitusi sebagai pedoman berbangsa dan berbangsa perlu dirumuskan secara serius dan mendalam. Dan diabdikan untuk kepentingan reakyat dan bangsa. Konstitusi kolonial yang di pasang sebagai jerat penjajahan mestilah dirombak, menuju konsitusi yang mengabdi pada rakyat dan berbakti pada bangsa sendiri. (Mun’im DZ)