Risalah Redaksi

Maulid Nabi Plus Plus

Sel, 11 Februari 2014 | 07:30 WIB

Salah satu kekayaan tradisi Islam adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Maulid Nabi artinya hari kelahiran Nabi. Namun ternyata perayaan Maulid Nabi tidak selalu diselenggarakan tepat di hari kelahiran nabi. Menariknya lagi, mungkin berbeda dengan apa yang dibayangkan kelompok yang “takut bid’ah”, kegiatan yang diselenggarakan juga tidak formal dan monoton. Tiap tempat dan tiap penyelenggara merayakan Maulid Nabi dengan cara berbeda.<>

Ada yang merayakan Maulid Nabi dengan bershalawat dan pengajian saja. Ada yang menyelenggarakan berbagai perlombaan Islami untuk anak-anak sekolah dalam rangka memperingati Maulid Nabi. Bahkan ada yang merayakan Maulid Nabi dalam bentuk kegiatan kerja bakti atau bakti sosial. Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) juga seringkali merangkai peringatan Maulid Nabi dengan rapat organisasi atau pelantikan pengurus.

Para ahli sejarah Islam bersepakat bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan di bulan Rabiul Awal, bulan ketiga dalam penanggalan bulan (hijriyah). Makanya bulan ini disebut bulan maulid, atau bulan mulud, dan kebanyakan kaum Muslimin menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi di bulan ini. Terkait tanggal, ada beberapa versi mengenai tanggal kelahiran Nabi. Ada yang mengatakan tanggal 2, 8, 9, 20, dan 22. Yang paling populer menyebutkan Nabi dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Namun berbeda dengan peringatan Hari Natal, misalnya, yang diselenggarakan tepat di hari yang disepakati. Peringatan Maulid Nabi bahkan tidak mesti diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal itu. Kalangan Habaib (keturunan Nabi) atau para pecinta shalawat bahkan menyelenggarakan Maulid Nabi sepanjang tahun. Kalangan pesantren dan pengamal tarekat juga seringkali merangkai kegiatan haul dan manakib para ulama dengan Maulid Nabi, entah dilaksanakan pada tanggal dan bulan berapa.

Apa yang bisa disimpulkan dari tradisi Maulid Nabi? Jika menyimak berbagai kegiatan yang diselenggarakan di banyak tempat, perayaan maulid nabi tidak lain adalah memberikan warna keislaman dalam berbagai tradisi dan kegiatan positif yang sedang dilakukan. Satu sisi, pembacaan doa dan shalawat pada saat diselenggarakan Maulid Nabi memberikan efek koneksi (tawassul) dengan Sang Nabi. Semua aktivitas positif itu dapat diniatkan sebagai ibadah dalam rangka mencontoh perilaku Nabi. Dan di sisi lain, ceramah-ceramah atau taushiyah yang disampaikan oleh para ulama tentang keteladanan Nabi memperkaya data dan menambah energi positif dalam rangka menjalankan kehidupan sehari-hari yang lebih Islami.

Dahulu, salah satu cara yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara adalah dengan menggelar pementasan wayang kulit. Para penonton diharuskan mengucapkan dua kalimat syahadat (sekaten): “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah.” Lakon-lakon dalam wayang kulit itu juga banyak memperkenalkan Nabi Muhammad dan saripati ajaran Islam. Nah, Maulid Nabi yang saat ini diselenggarakan adalah kelanjutan dari itu. Lebih dari sekedar memperkenalkan Islam, perayaan Maulid Nabi berarti menyambungkan berbagai aktivitas sosial, berbagai kebaikan dan berbagai tradisi masyarakat setempat itu agar “klik” dengan apa-apa dicontohkan dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. (A. Khoirul Anam)