Risalah Redaksi

Mengurai Sengkarut Program POP Kemdikbud

Ahad, 26 Juli 2020 | 10:00 WIB

Mengurai Sengkarut Program POP Kemdikbud

Kisruh kali ini seharusnya membuka kesadaran publik untuk lebih kritis kepada kebijakan dan program yang digulirkan oleh Kemendikbud

Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menimbulkan kisruh setelah tiga organisasi besar yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengundurkan diri karena kriteria penerima dana hibah tidak jelas seperti lembaga, paguyuban, organisasi alumni, lembaga zakat, budaya, dan lainnya. Diduga, sebagian organisasi tersebut tidak bergerak dalam bidang pendidikan.


Yang paling disorot adalah keterlibatan Yayasan Putra Sampoerna dan Yayasan Bakti Tanoto. Dua yayasan tersebut memiliki keterkaitan dengan konglomerasi bisnis besar di Indonesia sebagai lembaga yang digunakan untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan. Banyak pihak yang menilai jika kedua yayasan seharusnya memberikan bantuan kepada masyarakat bukan meminta hibah dari pemerintah.


Pihak-pihak yang terkait dengan masalah tersebut pun saling memberikan klarifikasi. Tanoto Foundation menyampaikan bahwa mereka ikut mendaftar dalam program tersebut tetapi atas pembiayaan mandiri sementara Sampoerna Foundation menyampaikan mereka melaksanakan program tersebut dengan skema pendampingan. Artinya, terdapat gabungan antara dana pemerintah dan dana internal. Pihak Kemendikbud menyampaikan bahwa terdapat tiga skema bagi lembaga yang ingin terlibat dalam program tersebut, yaitu mandiri, pendampingan, dan pembiayaan dari pemerintah. Namun, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menjelaskan, skema yang disampaikan oleh Kemendikbud hanya berupa program yang didanai pemeintah yang totalnya mencapai 595 miliar per tahunnya. Tanoto Foundation mendapatkan satu hibah kategori Gajah sedangkan Sampoerna Foundation mendapatkan dua hibah kategori Gajah.


Terdapat tiga kategori penerima hibah, yaitu kategori gajah dengan dana 20 miliar (minimal pengalaman tiga tahun), kategori Macan dengan dana 5 miliar (minimal pengalaman 1 tahun), dan kategori Kijang dengan dana 1 miliar (pengalaman pelatihan).


Dalam keterangannya, Kemendikbud menggunakan pihak ketiga yang bersifat independen untuk menilai proposal  yang masuk, yaitu SMERU Research Institute yang kemudian melakukan evaluasi double blind untuk menentukan siapa yang lolos mengikuti program tersebut. Namun, Ketua LP Ma’arif NU Arifin Junaidi mengaku diminta ikut program tersebut dua hari sebelum ditutup. Dan mendapatkan informasi lolosnya LP Ma’arif NU bukan dari Kemendikbud, tetapi dari pihak lain. Ma’arif NU merasa bahwa ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah hanya dijadikan sebagai legitimasi agar program ini tampak berkualitas. Arifin Junaidi menegaskan, lembaganya berprinsip untuk menjadi mitra yang sejajar, bukan sekadar meminta bantuan.


Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno menuding, selain yayasan yang terafiliasi dengan konglomerat, terdapat organisasi kecil yang tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam bidang pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kantor, apalagi staf. Dengan demikian, diragukan kemampuannya dalam mengelola program tersebut yang diniatkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. 


Jika kantor dan staf saja tidak punya, bagaimana nantinya organisasi penggerak tersebut mempertanggungjawabkan anggaran yang telah diberikan. Jangan sampai terjadi sebagaimana sebelumnya, ketika pemerintah memberikan bantuan hibah, maka masyarakat ramai-ramai mendirikan organisasi baru atau mendaftarkan organisasi yang sebetulnya tidak bergerak dalam bidang tersebut, sekadar untuk menampung dana hibah. Soal pelaksanaan program sendiri tidak jelas atau asal-asalan karena motifnya sendiri untuk menggaruk uang negara. Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang tidak memahami dunia pendidikan diminta memperbaiki dunia pendidikan? tentu menjadi absurd.


Seperti dikutip dari Kumparan, salah satu kejanggalan yang ditemukan adalah Yayasan Nur Hidayah yang mendapatkan kategori Gajah dengan sasaran utama program di Jember dan alternatif di Banyuwangi. Namun, jika merujuk ke situs resminya, http://ynhsolo.or.id/, Yayasan Nur Hidayah saat ini berdomisili di Surakarta/Solo. Saat dikonfiramsi,  Yayasan Nur Hidayah Solo membantah memiliki cabang di Banyuwangi. Kumparan tidak menemukan situs resmi ataupun media sosial yayasan Nur Hidayah Banyuwangi, hanya alamat yang tertera di Google maps sama dengan yang dicantumkan di Kemendikbud. 


Lembaga Pemerhati Budaya Butuni (LPBB) yang mendapatkan kategori Kijang berlokasi di Sulawesi Tenggara juga tak ditemukan rekam jejaknya. Hanya terdapat informasi pembagian santunan kepada 23 anak yatim dari berbagai sekolah di Kelurahan Lamangga dan Kelurahan Wajo, Kota Baubau. Jika diteliti satu per satu dari 156 organisasi yang terlibat, akan semakin banyak kejanggalan yang ditemukan.


PGRI yang ikut mundur menyampaikan alasan tambahan, di saat terjadi pandemi seperti sekarang ini, dana untuk POP sebaiknya diprioritaskan untuk membantu pembelajaran jarak jauh, khususnya pemberian bantuan kepada siswa, guru honorer, dan penyediaan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). 

 
Atas mundurnya NU dan Muhammadiyah yang telah berkiprah panjang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dan PGRI yang merupakan wadah terbesar para guru di Indonesia, Mendikbud Nadiem Makarim telah merespons berupa evaluasi lanjutan dengan melibatkan pakar pendidikan dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga negara. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa ada yang lebih layak untuk mendapatkan prioritas mengingat kondisi pandemi, maka tak perlu memaksakan diri menggelar program ini. Jika dilanjutkan, maka organisasi yang dilibatkan harus memiliki rekam jejak dalam bidang pendidikan serta berbagai persyaratan lain yang menunjukkan kredibilitas organisasi dalam mengelola program. Semuanya harus dikelola dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan publik.


Kisruh kali ini seharusnya membuka kesadaran publik untuk lebih kritis kepada kebijakan dan program yang digulirkan oleh Kemendikbud yang digawangi anak muda yang lebih paham soal teknologi dibandingkan dengan soal pendidikan. Dunia pendidikan melibatkan jutaan pemangku kepentingan dengan latar belakang yang sangat beragam. Kesalahan dalam pengambilan kebijakan bisa berakibat fatal bagi masa depan Indonesia. Jangan sampai kita dininabobokkan dengan slogan Merdeka Belajar yang heroik dan bagus seperti kemudian lemah dalam implementasi dan menimbulkan berbagai persoalan akibat ketidakpahaman bagaimana mengelola pendidikan dengan baik. (Achmad Mukafi Niam)