Risalah Redaksi

Mengevaluasi Kembali Pelaksanaan Demokrasi Kita

Sab, 30 November 2019 | 13:15 WIB

Mengevaluasi Kembali Pelaksanaan Demokrasi Kita

Ragam model demokrasi negara-negara di dunia bisa menjadi inspirasi, tapi Indonesia akan selalu memiliki keunikan tersendiri.

Pemilu 2019 yang berlangsung dengan suasana panas telah usai. Kabinet telah terbentuk yang kemudian menyatukan Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya berkompetisi sengit duduk bersama dalam pemerintahan. Tetapi rakyat  yang dimobilisasi sebagai pendukung masing-masing kandidat, termasuk dalam bentuk sentimen agama, belum sepenuhnya mampu melupakan suasana perebutan kekuasaan tersebut. Hubungan pertemanan atau kekeluargaan masih ada yang renggang. Bahkan ada di antaranya yang masuk penjara karena membela idolanya.

Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Nahdlatul Ulama, yang dengan demikian perlu adanya evaluasi atas pelaksanaan pemilu yang menimbulkan dampak negatif besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Jangan sampai hal tersebut akan berulang kembali di masa mendatang di mana setiap lima tahun rakyat dimobilisasi untuk membela kandidat tertentu sampai-sampai harus bermusuhan satu sama lain. 

Ada beragam model pelaksanaan demokrasi di dunia. Dalam sejarah perjalanannya, berbagai model telah diterapkan. Model yang ada saat ini juga jauh dari sempurna sehingga perlu perbaikan terus-menerus. Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer setelah baru saja merdeka. Namun, kondisi pemerintahan ternyata tidak stabil karena kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri tersebut tidak mampu bertahan lama karena seringnya mosi tidak percaya. Akibatnya, pembangunan negara tidak sempat berjalan karena belum melakukan apa-apa, kabinet sudah bubar. 

Presiden Soekarno kemudian menerapkan sistem presidensial dengan apa yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan berpusat pada dirinya. Namun, kondisi Indonesia tak berubah banyak karena pertentangan politik yang tidak ada habis-habisnya sehingga ekonomi tidak terurus.

Era Soeharto merupakan antitesis dari pemerintahan sebelumnya. Presiden berlatar belakang tentara ini menekankan stabilitas sebagai prioritas utama. Pembangunan berjalan dengan baik, apalagi didukung dengan rezeki minyak yang menjadi sumber devisa guna melaksanakan pembangunan. Namun, kehidupan masyarakat terkekang karena kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dibatasi.

Kekuasaan tanpa kontrol ini menyebabkan terjadinya pembusukan pengelolaan negera dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Krisis ekonomi 1998 menjadi momentum memunculkan reformasi yang mengubah tatanan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk pemilihan langsung, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan berserikat, desentralisasi, dan sejumlah agenda lainnya. UUD 1945 telah diamandemen untuk mengakomodasi aspirasi ini. 

Cita-cita ideal bahwa pemimpin yang dipimpin secara langsung oleh rakyat akan sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat ternyata jauh panggang dari api. Biaya kampanye yang sangat mahal menyebabkan hanya orang-orang tertentu yang mampu meraih kursi dalam pilkada. Logika yang berjalan: karena ongkos yang dikeluarkan mahal, maka begitu menjabat, yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal ditambah keuntungannya.

Demokrasi memang berjalan secara prosedural, tetapi secara substansial konsep demokrasi belum terpenuhi. Pengetahuan yang terbatas menyebabkan rakyat tidak mampu mengevaluasi calon pemimpin mana yang layak. Ditambah dengan kemiskinan, maka yang terpilih adalah orang-orang yang mampu membeli suara. 

Pada Pemilu 2019, modal finansial saja ternyata tidak cukup. Kemunculan media sosial yang mampu menyebarkan informasi secara masif dalam waktu singkat menjadi sarana baru untuk kampanye. Sayangnya, isu yang diangkat cukup sensitif, yaitu soal agama. Apalagi dalam masyarakat yang belum memiliki literasi digital yang cukup baik sehingga rentan termakan hoaks. Bagi sejumlah orang, apa pun siap dilakukan untuk membela agama karena agama bukan sekadar soal dunia. Narasi bela Islam, penista agama, dan sejenisnya beredar luas di masyarakat. 

Sementara itu banyaknya partai yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif tak mencerminkan adanya perbedaan ideologi yang signifikan, khususnya bagi partai-partai sekuler. Produk yang dijual sama, hanya positioning yang disampaikan ke masyarakat yang berbeda. Akibatnya, caleg dengan gampang pindah dari satu partai ke partai lainnya. Bahkan konon ada partai yang “membeli” kandidat dari partai lain sebagai peraih suara yang dinilainya prospektif meningkatkan perolehan kursi di DPR. Hasilnya, kursi parlemen dikuasai oleh para pengusaha yang mampu membiayai modal kampanye, bukan para aktivis pergerakan yang sudah biasa berurusan dengan rakyat. 

Ada sejumlah upaya perbaikan penyelenggaraan pemilu seperti pemilu serentak untuk mengurangi biaya pemilu dan menghindari kebosanan rakyat akibat terlalu sering diminta nyoblos. Tapi pilpres yang digabung dengan pemilu legislatif  pada 2019 ini ternyata juga menimbulkan masalah baru yang tidak diantisipasi sebelumnya berupa meninggalnya ratusan nyawa petugas TPS akibat kelelahan saat penghitungan suara. 

Perbaikan yang dilakukan masih bersikap teknis penyelenggaraan, tetapi pertanyaan apakah model pemilu langsung untuk semua tingkatan ini memang benar-benar yang terbaik. Toh, ternyata ratusan kepala daerah ditangkap oleh KPK. Dari pemilihan RT sampai pemilihan presiden, semuanya diselenggarakan secara langsung. Hanya camat dan walikota di DKI Jakarta yang merupakan daerah khusus yang tidak dipilih langsung karena dianggap sebagai pejabat administatif. Namun, dalam kepemimpinan di tingkat kecamatan atau di kotamadya di DKI Jakarta, semua berjalan baik-baik saja. Bahkan, mungkin ada kagaduhan luar biasa jika camat juga dipilih secara langsung. 

Namun demikian, pemilihan tidak langsung juga bukan tanpa potensi masalah. Masyarakat kurang percaya integritas para politisi yang duduk di DPRD. Ratusan orang telah masuk penjara. Calon-calon dengan modal besar yang ingin menjabat sebagai kepala daerah dengan gampang membeli suara. Apalagi untuk menjadi anggota legislatif juga dibutuhkan modal besar sehingga mereka perlu cari cara untuk bisa balik modal. Keberadaan calon tunggal dalam pilkada 2018 lalu sebagian diindikasikan adanya pembelian suara seluruh partai oleh calon tertentu yang berharap peluang menang dalam pilkada meningkat dengan malawan kotak kosong.

Tak mudah menyelesaikan karut-marut proses berdemokrasi di negeri kita ini. Tetapi yang pasti, kita harus menyadari bahwa kelemahan-kelemahan yang ada saat ini membuktikan perlunya perbaikan. Proses berdemokrasi tak bisa sepenuhnya mengopi model Amerika, Eropa, atau negara-negara lain yang telah memiliki demokrasi mapan. Ada pelajaran penting yang bisa kita ambil, tetapi sebuah masyarakat selalu memiliki keunikannya sendiri yang memerlukan pendekatan tersendiri dalam mengatur segala sesuatunya. Termasuk di dalamnya proses rekrutmen kepemimpinan. Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing model perlu dibahas secara mendalam dalam banyak sudut pandang, dan dalam perspetif jangka panjang dengan mengedepankan kepentingan rakyat, tentunya. (Achmad Mukafi Niam)