Risalah Redaksi

Maulid, Meninjau Kembali Kontribusi dan Pencapaian Umat Islam

Ahad, 10 November 2019 | 13:00 WIB

Maulid, Meninjau Kembali Kontribusi dan Pencapaian Umat Islam

Maulid Nabi menjadi momen tepat untuk berefleksi terkait dengan pesan dan teladan Rasulullah.

Hari kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awwal selalu diperingati dengan penuh kegembiraan oleh umat Islam di seluruh dunia karena kelahirannya membawa perubahan dari zaman jahiliyah kepada zaman pencerahan. Dalam empat belas abad setelah kelahiran Rasulullah, kini jumlah umat Islam telah mencapai 1.8 miliar jiwa atau setara dengan 24 persen populasi dunia. Dalam sejarah panjang perjalanan umat Islam tersebut, telah banyak kontribusi yang diberikan kepada peradaban dunia. Tapi kini, banyak tantangan yang meski dihadapinya. 

Peradaban Islam berawal dari jazirah Arab dan kemudian menyebar di seluruh dunia. Pernah menjadi peradaban paling cemerlang di dunia, dunia Muslim kini menghadapi banyak persoalan yang perlu diselesaikan, mulai dari konflik, kemiskinan, kebodohan, kesehatan, dan persoalan mendasar lain yang sudah selesai pada peradaban lain. 

Jika dilihat dari sisi kesejahteraannya, maka wilayah Timur Tengah yang memiliki sumber minyak dan gas menjadi negara-negara yang paling sejahtera, tapi wilayah ini relatif rentan konflik. Muslim di Asia selatan masih bergelut dengan masalah kemiskinan, di Afrika, banyak wilayah Muslim masih menghadapi masalah lebih mendasar lagi seperti keamanan. Di Eropa dan Amerika, Muslim menghadapi masalah islamofobia. Asia tenggara yang relatif damai dan sejahtera, tetapi juga belum mampu menjadi negara maju.  

Jumlah yang besar sesungguhnya bisa menjadi kekuatan jika hal tersebut dikelola dengan baik, tetapi di sisi lain, masih menjadi bencana jika tidak mampu mengelolanya. Persaudaraan sesama Muslim yang diajarkan oleh Rasulullah, bahwa umat Islam bagaikan satu tubuh, jika satu bagian sakit, maka sakit semuanya kini hanya menjadi slogan saja. Negara-negara Muslim kaya di Timur Tengah, menghambur-hamburkan uangnya untuk memenuhi hasratnya menikmati barang mewah sementara di sisi lain, masih banyak sekali rakyat di negara lainnya yang menderita kelaparan. Seolah, itu bukan bagian dari urusan yang perlu dibantu penyelesaiannya. 

Bukan hanya itu, uang hasil penjualan minyak pun lebih banyak disimpan di negara Eropa atau Amerika, sementara negara Muslim lain yang masih banyak membutuhkan investasi untuk membangun negaranya kebingungan mencari dana. Akhirnya, nilai tambah uang tersebut hanya berputar-putar di kalangan negara yang kaya saja karena mereka mampu memberikan jaminan hasil investasi, padahal investasi di negara yang lebih membutuhkan, akan mampu meningkatkan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia di kawasan Muslim. Pendekatan investasi yang dilakukan sekedar di mana dapat meraih untuk yang lebih tinggi, belum pada bagaimana turun berkontribusi dalam membangun dunia Muslim. 

Bahkan, yang sangat disayangkan, dana yang dikeruk dari mengambil kekayaan alam yang suatu saat akan habis tersebut digunakan untuk membeli senjata. Yang kemudian digunakan untuk memerangi sesama Muslim untuk memperebutkan pengaruh. Berkah dari alam, jika tidak mampu mengelola dapat menjadi sebuah kutukan.  

Akibatnya, kekuatan besar Muslim di dunia kini hanya seperti buih di lautan yang tidak mampu menggerakkan perubahan. Semuanya tercerai berai dalam kekuatan kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri. Peradaban-peradaban besar dunia memiliki kekuatan besar yang mampu melindungi dirinya. Peradaban Kristen memiliki kekuatan yang melindunginya di Eropa dan Amerika, peradaban Hindu berdiri kokoh di India, sedangkan peradaban Konfusius tetap tangguh di daratan China. Ketika ada isu terkait dengan Muslim di dunia, tak ada yang memiliki pengaruh kuat untuk membela atau menyelesaikannya dalam perspektif kepentingan umat Islam sebagaimana yang dihadapi umat lain.   

Tentu situasi seperti ini tidak datang dengan tiba-tiba. Kolonialisme yang membagi-bagi wilayah Muslim menjadi negara-negara kecil tak berdaya atau egois menjadikan kekuatan yang sesungguhnya besar tersebut menjadi lemah karena tidak terhubung satu sama lain. Bahkan, konflik yang terjadi di Timur Tengah, termasuk di antaranya di Palestina, merupakan warisan dari kolonialisme yang hingga kini belum selesai. Kenapa akhirnya umat Islam yang pernah berjaya kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya wilayah-wilayahnya mengalami kolonisasi menjadi perdebatan para cendekia.  

Praktis dunia Muslim baru tertatih-tatih membangun dirinya setelah berakhirnya perang dunia kedua yang menghasilkan kemerdekaan. Tidak mudah untuk membangun kembali sebuah peradaban yang ditaklukkan dan kemudian dieksploitasi habis-habisan. Membangun kembali sebuah peradaban tidak sekedar membangun sebuah gedung pencakar langit atau infrastruktur megah yang bisa dibikin dalam satu atau dua tahun, asal memiliki uang. Membangun peradaban adalah membangun seperangkat nilai yang koheren satu sama lain yang dapat menjadi pedoman hidup masyarakatnya.   

Peradaban yang maju adalah peradaban yang mampu menyelesaikan persoalannya dengan cara-cara damai tanpa kekerasan, yang memberikan kontribusi kepada seluruh umat manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, yang menjaga keseimbangan alam atau hal-hal lain yang meningkatkan harkat dan martabat manusia. Tampaknya masih banyak pekerjaan rumah untuk menyelesaikan hal-hal tersebut.  

Upaya-upaya kerjasama telah dibagun seperti melalui Organisasi Kerjasama Islam (OKI), tetapi capaiannya masih jauh dari harapan dan potensi besar yang ada di dalamnya. Titik temu yang menjadi kepentingan bersama masih kalah jauh dibandingkan dengan ego masing-masing negara untuk menjadikan isu-isu kepentingan bersama umat Islam. 

Momen Maulid ini kembali menjadi sarana untuk berefleksi terkait dengan pesan-pesan Rasulullah bahwa kita umat Islam adalah saudara yang harus saling membantu mengatasi berbagai kesulitan, untuk bersama-sama memberi kontribusi terhadap peradaban dunia karena sesungguhnya dunia yang kita tinggali ini adalah milik bersama. Masa lalu dapat menjadi pelajaran bahwa potensi yang terserak itu menjadi sia-sia tanpa adanya kesadaran untuk menggunakannya untuk kebaikan dan kepentingan bersama yang lebih besar. Untuk mencari titik temu bahwa ada banyak persamaan yang bisa mendekatkan kita dan menghargai perbedaan yang ada di masing-masing aliran atau mazhab. Semua itu tidak  mudah, tetapi kita harus terus melangkah. (Achmad Mukafi Niam)