Risalah Redaksi

Jelang Pilkada, Mari Belajar dari Polarisasi Pilpres 2019

Ahad, 4 Oktober 2020 | 13:30 WIB

Jelang Pilkada, Mari Belajar dari Polarisasi Pilpres 2019

Rakyat merindukan para politisi negarawan yang mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan bangsa ini, tidak sekadar memenuhi hasrat kekuasaan dan kekayaan pribadi.

Pemilihan presiden yang berlangsung pada 2019 telah lama usai, pihak-pihak yang bersaing memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2 sudah berdamai dan bahkan bekerja sama. Namun, di tataran masyarakat, masih terdapat nuansa ketidakpuasan yang banyak diekspresikan di media sosial. Mereka belum sepenuhnya legowo. Kritik yang disampaikan bukan upaya untuk membangun, tetapi lebih terkesan mencari-cari kesalahan. 


Hal ini menunjukkan bahwa polarisasi yang terjadi dalam pilpres 2019 belum sepenuhnya mencair. Luka emosional yang ditimbulkan akibat gencarnya propaganda yang dilakukan secara masif dan mendalam telah membelah masyarakat dalam dua kubu yang saling berseberangan. Pilpres 2019 sangat kental nuansa agamanya dengan upaya identifikasi diri sebagai pembela Islam oleh satu kelompok dan anti-Islam pada kelompok lawan. Pemilu tidak lagi sekedar kontestasi perebutan kekuasaan, melainkan telah berubah menjadi perjuangan membela agama. 


Para politisi menyadari, sebagian umat Islam merasa bahwa selama ini Islam sebagai agama mayoritas belum mendapatkan tempat semestinya di Indonesia. Ada harapan besar dari banyak orang agar Indonesia ini menjadi lebih islami, menafsirkan Islam menurut versi mereka sendiri, atau bahkan masih bercita-cita ingin mendirikan negara Islam. Karena itu, guna mendulang suara pemilih, isu tersebut dimainkan dengan harapan memperoleh dukungan. Lalu diciptakan kesan bahwa mereka akan mendukung aspirasi perjuangan umat Islam sementara kelompok lawannya dilabeli anti-Islam yang harus dilawan.


Dengan agama, orang dengan mudah disentuh aspek emosionalnya sehingga bersedia mendukungnya mati-matian. Melalui propaganda gencar yang dilakukan secara terus-menerus, banyak orang tidak mampu membedakan mana yang benar-benar membela Islam dan mana yang sekedar menggunakannya untuk tujuan politik.  


Propaganda dapat memberi dampak yang luar biasa. Kebenaran bisa dibolak balik sesuai dengan keinginan pembuatnya. Orang yang tidak memiliki pemahaman Islam memadai dan hidupnya tidak bersentuhan dengan gerakan dan aktivitas keislaman tiba-tiba bisa menjadi tokoh yang ditasbihkan mewakili Islam. Membela Islam tak berarti harus memiliki pemahaman keislaman yang baik, begitu argumentasi yang dibangun. Sementara ulama yang sangat mumpuni keilmuannya dan memiliki jejak panjang dalam gerakan dakwah Islam dituduh sebagai orang yang anti-Islam hanya karena berseberangan pilihan politik. 


Namun, sejarah berulang kali telah membuktikan banyaknya politisi yang mencederai janjinya sendiri, sekalipun sebelumnya dibela mati-matian oleh para pendukungnya. Para simpatisan menjadi kehilangan arah sementara kebencian yang terlanjur ditanamkan kepada  pihak lain tidak serta merta hilang. Persaudaraan yang telah renggang tak mudah dipulihkan.


Pilpres 2019 seharusnya menjadi pelajaran penting untuk bersikap sewajarnya dalam memberikan dukungan. Tidak ada kawan abadi atau musuh abadi dalam politik. Yang ada adalah kepentingan kekuasaan. Selama ada kepentingan bersama, maka kerja sama dapat dilakukan, tetapi jika beda kepentingan, koalisi pun dengan gampang bisa bubar. Dengan demikian, penggunaan isu-isu agama sangat berbahaya mengingat rawan terjadinya manipulasi karena adanya ambisi kekuasaan yang dibungkus dengan kepentingan agama.


Agama di tangan orang yang baik dapat menjadi sarana untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan; untuk membangun kehidupan yang lebih beradab. Namun, jika jatuh ke tangan orang yang salah, maka dapat menjadi sarana membangun permusuhan, kebencian, atau konflik. 


Kini, dalam pilkada yang akhirnya tetap dilaksanakan di tengah pandemi para kandidat sedang memikirkan berbagai strategi untuk memenangkan kontestasi. Segala cara akan digunakan, termasuk menggunakan isu-isu yang sensitif di masyarakat  seperti isu SARA. Di satu daerah mungkin persoalan suku atau etnis lebih manjur namun daerah lainnya bisa saja isu agama lebih dominan.  Jangan sampai kita mengulang kembali peristiwa pilpres 2019 yang telah memecah belah antar anak bangsa atau merenggangkan persaudaraan. 


Politik adalah mempertemukan berbagai kepentingan. Di tangan politisi yang baik, kekuasaan dapat menjadi sarana untuk membangun dan memberdayakan masyarakat, namun di tangan politisi yang jahat, kekuasaan sekedar menjadi sarana untuk memenuhi ambisi berkuasa atau mengumpulkan harta. Kita telah melihat sejumlah gubernur, bupati, atau walikota yang dicintai rakyatnya karena dedikasi dan pengabdian yang dilakukannya. Tapi banyak pula di antara pemimpin daerah tersebut yang nasibnya harus berakhir di penjara. 


Cara-cara yang digunakan oleh para politisi dalam meraih kekuasaan  menunjukkan motif yang dimilikinya. Orang-orang yang baik, tak akan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Jangan sampai kita tertipu oleh para politisi culas yang memanipulasi rakyat dalam kampanye dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan orang banyak, padahal sejatinya hanya memikirkan diri sendiri. 


Rakyat merindukan para politisi negarawan yang mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan bangsa ini, tidak sekadar memenuhi hasrat kekuasaan dan kekayaan pribadi.  Namun tidak mudah untuk menemukan sosok seperti itu karena sistem seleksi kepemimpinan lebih didasarkan pada siapa yang memiliki modal dibandingkan dengan integritas. Karena itu, bersikap hati-hati dan kritis atas pernyataan dan janji-janji diucapkan para politisi dapat mencegah kita memilih pemimpin yang buruk. (Achmad Mukafi Niam)

​​​​​​