Risalah Redaksi

Belajar dari Kasus Covid-19 di Pesantren Darussalam Blokagung

Ahad, 6 September 2020 | 09:30 WIB

Belajar dari Kasus Covid-19 di Pesantren Darussalam Blokagung

Santri Blokagung dijemput petugas Puskesmas Tegalsari dari RSUD Genteng Banyuwangi. (Foto ilustrasi: Dok. PP Blokagung)

Kasus Covid-19 yang menimpa ratusan santri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam mengelola lembaga pendidikan berasrama. Apalagi di tengah peningkatan jumlah kasus harian di Indonesia yang telah menembus angka 3 ribuan. Risiko pesantren menjadi sebuah klaster meningkat mengingat banyak orang berkumpul di satu tempat dengan interaksi yang sangat tinggi. 


Kita memahami kegundahan para kiai yang tidak dapat menjalankan proses pendidikan selama masa pandemi ini. Perasaan yang sama juga dialami oleh para santri dan orang tuanya yang menginginkan aktivitas menimba ilmu dapat terus berlangsung dengan lancar. Namun, pesantren juga harus mampu mengukur seberapa jauh kapasitas yang dimiliki untuk mengurangi risiko penularan dengan memenuhi protokol kesehatan.


Jika akhirnya memberanikan diri membuka pesantren tanpa persiapan memadai dan kemudian benar-benar terjadi kasus, maka semua pihak akan kerepotan. Pesantren tempat bernaung para santri menjadi pihak yang paling bertanggung jawab memastikan keselamatan para santri dan melakukan proses isolasi supaya tidak terjadi penyebaran ke orang lain. Pekerjaan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik tidaklah murah.


Sebagai contoh, untuk melakukan tes usap (swab), biaya sekali tes mencakup Rp1 jutaan. Tes ini mesti dilakukan dua kali. Pertama, untuk memastikan seorang santri positif Covid-19 atau tidak. Yang kedua adalah untuk menguji ulang setelah proses pemulihan. Belum lagi biaya pengobatan, nutrisi tambahan untuk menjaga kebugaran tubuh, dan biaya-biaya lainnya. 


Kemungkinan, tes swab atau sejumlah komponen lain akan dilakukan oleh pemerintah, namun tetap saja ada ongkos yang harus dikeluarkan. Seandainya semua masyarakat disiplin, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengujian menjadi lebih kecil. Anggaran negara dapat dialokasikan kepada hal-hal lain yang memberi manfaat lebih besar ketika kasus Covid-19 jumlahnya kecil. 


Ketika ada santri yang terkena Covid-19 orang tua santri menjadi pihak yang paling khawatir akan keselamatan anak-anaknya. Secara psikologis, hal tersebut jelas menganggu aktivitas harian yang mereka lakukan karena selalu memikirkan perkembangan anaknya di ruang isolasi. Bukan hanya itu, orang tua santri dari berbagai pesantren lainnya memiliki kekhawatiran yang sama akan keselamatan anaknya.


Hari-hari ini, gedung PBNU juga ditutup karena terdapat satu karyawan yang hasil swab-nya positif. Kebijakan yang diambil ini merupakan sikap kehati-hatian. Kebijakan ini juga memberi pesan kepada seluruh warga NU untuk semakin berhati-hati dalam menghadapi musuh yang tak kasat mata namun nyata ini.


Sudah lebih dari 100 dokter meninggal karena Covid-19.  Bersama dengan tenaga kesehatan lainnya, mereka menjadi garda paling depan dalam penanganan wabah ini. Mereka orang yang paling berisiko tertular. Rumah sakit juga mulai kewalahan menangani kasus-kasus baru yang jumlahnya melonjak drastis. Kita tak tahu sampai titik mana peningkatan terjadinya peningkatan ini. Sikap masyarakat turut menentukan perkembangan penyebaran pandemi ini.


Upaya untuk mencegah penyebaran penyakit ini sebenarnya cukup sederhana namun cukup ampuh, yaitu dengan berdisiplin menggunakan masker, menjaga jarak sosial, dan rajin mencuci tangan. Jika sebagian besar orang mampu melaksanakan tiga anjuran tersebut, maka sudah cukup untuk mengurangi risiko penularan. Namun, untuk mendisiplinkan diri pada hal-hal tersebut, banyak orang tidak siap.  


Di tengah peningkatan risiko ini, lingkungan pesantren sebaiknya meningkatkan kehati-hatiannya dengan belajar dari kasus-kasus yang sudah ada. Sikap meremehkan akan menjadi bumerang di belakang hari dengan sejumlah pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Kasus Covid-19 telah berjadi di sejumlah pesantren dan itu mungkin bukan yang terakhir jika pemangku kepentingan pesantren tidak meningkatkan upaya pencegahan secara lebih maksimal. 

 
Pesantren memang lebih independen dalam mengelola lembaga pendidikannya dibandingkan dengan sekolah atau madrasah yang harus mengikuti berbagai regulasi di Kemdikbud atau Kemenag. Namun demikian, kebebasan yang dimiliki juga harus mempertimbangkan risiko karena ketika terjadi bencana, pesantren pada akhirnya juga harus meminta bantuan pihak lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.


Terkait dengan proses pendidikan yang tidak bisa belajar dengan maksimal, maka hal ini juga harus dicarikan solusi. Jika pemerintah memberikan paket kuota internet kepada pelajar, maka hal yang sama juga harus diberikan kepada para santri dan para ustadz pesantren mengingat selama ini mereka juga memerlukan hal itu untuk belajar secara daring.


Pandemi ini seharusnya menjadi sarana untuk melakukan inovasi pengajaran pendidikan Islam. Sebagai contoh, pembelajaran bahasa Arab dapat dimaksimalkan dengan menciptakan aplikasi memudahkan pembelajaran. Materi pembelajaran bahasa Inggris dalam bentuk aplikasi sangat banyak. Hal yang sama seharusnya dapat diterapkan juga dalam pembelajaran bahasa Arab. 
 

Hal yang sama juga dapat dilakukan dalam pembelajaran zakat dengan membuat aplikasi kalkulator zakat. Pembagian warisan yang juga dapat menerapkan penghitungan kuantitatif juga bisa dibuat model yang sederhana dalam bentuk aplikasi digital. Materi-materi lainnya dapat dilakukan proses digitalisasi. Peningkatan teknologi pembelajaran yang memudahkan para santri menyerap materi sudah selayaknya juga dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pembelajaran. (Achmad Mukafi Niam)