Ramadhan

Shalat Tarawih Bermakmum kepada Imam Shalat Witir

Sel, 21 Mei 2019 | 05:30 WIB

Shalat Tarawih Bermakmum kepada Imam Shalat Witir

Ilustrasi (Reuters)

Idealnya shalatnya imam dan makmum merupakan jenis shalat yang sama. Isya’ dengan Isya’, Subuh dengan subuh, tarawih dengan tarawih dan lain sebagainya. Namun karena satu dan beberapa hal terkadang menuntut shalatnya imam dan makmum menjadi berbeda, misalnya dalam kasus shalat tarawih dan witir. 

Sebagian makmum yang tertinggal satu atau beberapa salam tarawih melanjutkan rakaat tarawihnya saat imam shalat witir dengan tetap niat berjamaah. Hal itu dianggap lebih tepat dari pada menyempurnakan tarawih setelah jamaah shalat witir, karena witir merupakan penutup shalat di malam hari. Menurut kacamata fiqih, bagaimana hukum makmum melaksanakan shalat tarawih dengan imam shalat witir? Sahkah shalatnya?

Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat jamaah adalah cocoknya rangkaian shalat imam dan makmum. Yang dimaksud kecocokan di sini adalah keserasian shalat imam dan makmum dalam gerakan-gerakan yang tampak seperti ruku, sujud, berdiri, duduk di antara dua sujud dan lain-lain. Tidak disyaratkan sama dalam jumlah rakaatnya, bacaan shalatnya, status fardhu dan sunahnya, serta ada’ (shalat yang dilakukan di dalam waktunya) dan qadlanya (shalat yang dilakukan di luar waktunya). Maka menjadi sah melakukan shalat qadla zhuhur dengan imam shalat Ashar, shalat fardu Isya dengan imam shalat tarawih, shalat tarawih dengan imam shalat witir, shalat qadla subuh dengan imam shalat Idul Fitri dan lain-lain.

Hukumnya menjadi berbeda bila rangkain gerakan shalatnya berbeda, seperti melakukan shalat fardhu maghrib dengan imam shalat gerhana bulan atau makmum shalat zhuhur dengan imam shalat gerhana matahari atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan gerakan yang tajam antara shalatnya imam dan makmum. Seperti diketahui shalat gerhana bulan dan matahari memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat lainnya dengan dua kali berdiri, dua kali berdiri, dua kali membaca al-Fatihah, dua kali ruku’ dan dua kali I’tidal di setiap rakaatnnya.

Dengan demikian hukumnya sah shalat tarawih dilakukan dengan cara bermakmum di belakang imam shalat witir, sebab tidak ada perbedaan yang mecolok di dalam rangkaian gerakan-gerakan kedua shalat tersebut. Perbedaan niat shalat antara imam dan makmum tidak menjadi soal, sebab tergolong minim dan tidak tajam.

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan:

وتاسعها أن يتوافق نظم صلاتهما أي نهجها الواضح في الأفعال الظاهرة وإن اختلفا عددا فلا يصح الاقتداء مع اختلافه كمكتوبة خلف كسوف وبالعكس لتعذر المتابعة

“Syarat ke Sembilan, cocoknya rangkaian shalat imam dan makmum, maksudnya rangkaian shalat yang jelas dalam gerakan-gerakan yang tampak, meski berbeda jumlah rakaatnya. Maka tidak sah berjamaah ketika berbeda rangkaian gerakan shalatnya seperti shalat maktubah di belakang shalat gerhana matahari dan sebaliknya, sebab sulitnya mengikuti”.

ولا يضر اختلاف نية الإمام والمأموم لعدم فحش المخالفة فيهما فيصح اقتداء المفترض بالمتنفل والمؤدي بالقاضي وفي طويلة بقصيرة كظهر بصبح وبالعكوس 

“Dan tidak bermasalah perbedaan niatnya imam dan makmum, sebab ketiadaan perbedaan yang parah di dalamnya, maka sah bermakmumnya orang yang shalat fardlu dengan imam shalat sunah, shalat ada’ bermakum dengan imam shalat qadla’, shalat yang lebih panjang rakaatnya dengan imam yang lebih pendek rakaatnya seperti zhuhur dengan Subuh dan sebaliknya”. (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifah al-Saja, hal. 182).

Meski shalatnya sah, namun hukumnya makruh. Namun demikian, keutamaan jamaah (pahala 27 kali lipat melebihi shalat sendiri) tetap bisa didapat. Al-Imam al-Suwaifi sebagaimana dikutip Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan bahwa kemakruhan dalam hal ini tidak menghilangkan keutamaan dan pahala jamaah, karena kemakruhan dan fadlilah jamaah sudah berbeda sudut pandangnya, seperti shalat di tempat ghasaban, hukumnya sah, namun haram. Sah dari sudut pandang shalatnya, haram dari sisi menggunakan tempat orang lain tanpa seizinnya. Demikian pula dalam persoalan ini, makruh dari sisi perbedaan jenis shalat imam dan makmum, mendapat keutamaan dari sisi jamaahnya.

Dalam lanjutan referensi di atas, sang maha guru para ulama nusantara tersebut berkata:

لكنه مكروه ومع ذلك تحصل فضيلة الجماعة. قال السويفي: والكراهة لا تنفي الفضيلة والثواب لاختلاف الجهة بل الحرمة لا تنفي الفضيلة كالصلاة في أرض مغصوبة

“Namun hal tersebut (berbedanya niat shalat imam dan makmum) makruh. Meski demikian, keutamaan jamaah tetap bisa dihasilkan. Al-Imam al-Suwaifi berkata, kemakruhan tidak menafikan keutamaan dan pahala jamaah, sebab berbedanya sudut pandang, bahkan keharaman tidak menafikan keutamaan, seperti shalat di tanah ghasaban”. (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifah al-Saja, hal.182).

Demikian penjelasan mengenai hukum melaksanakan shalat tarawih bermakmum dengan imam shalat witir. Sebisa mungkin jamaah shalat tarawih yang dilakukan diminimalisir kecacatannya, semisal mengupayakan hadir tepat waktu agar tidak tertinggal  dari imam. Semoga bermanfaat.


Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.