Ramadhan

Punya Utang Shalat Fardhu, Bolehkah Shalat Tarawih?

Ahad, 12 Mei 2019 | 09:00 WIB

Punya Utang Shalat Fardhu, Bolehkah Shalat Tarawih?

Ilustrasi (viata-libera.co)

Datangnya bulan Ramadhan memberikan efek yang sangat positif. Beberapa perbuatan maksiat setidaknya bisa diminimalisir atau minimal tidak dipertontonkan di bulan penuh berkah ini. Antusias masyarakat begitu tampak dalam mengikuti berbagai kegiatan positif di bulan yang mulia ini. Di antara yang tampak adalah kesemangatan mereka mengikuti jamaah shalat tarawih.

Jamaah yang menghadiri shalat tarawih bermacam-macam latar belakangnya, mulai dari orang tua, pemuda dan anak kecil, bahkan yang memiliki tanggungan mengqadha shalat fardhu, juga turut serta aktif meramaikan syi’ar tarawih.

Ada yang berpendapat bahwa mereka yang masih memiliki tanggungan mengaqadha shalat fardhu, haram mengikuti shalat tarawih. Benarkah demikian? Bagaimana sebenarnya hukumnya menurut fiqih?

Orang mukallaf yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau tidak, berkewajiban menggantinya di waktu yang lain. Di dalam fiqih dikenal dengan istilah qadha.  Orang yang berkewajiban mengqadha shalat terbagi menjadi dua klasifikasi. Pertama, kelompok yang meninggalkan shalat karena uzur (alasan yang ditoleransi). Kedua, kelompok yang meninggalkannya tanpa uzur. 

Kelompok pertama contohnya seperti mereka yang melewatkan shalat karena tidur sebelum masuk waktu shalat atau sebab lupa. Bagi kelompok pertama ini, disunahkan segera mengqadha shalat yang ia tinggalkan. Artinya kewajiban mengqadha bagi mereka adalah kewajiban yang boleh ditunda (wajib ‘alat tarakhi). Bagi mereka, sebelum utang shalat itu terpenuhi, diperbolehkan melaksanakan aktivitas lain di luar qadha shalat, termasuk di antaranya shalat sunah tarawih. Dalam perincian yang pertama ini, ulama Syafi’iyyah tidak berbeda pendapat.

Syekh Zainuddin al-Malibari berkata:

ويبادر به ندبا إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك

“Dan bersegaralah secara sunah mengqadha shalat apabila shalat terlewat dengan uzur seperti tidur yang tidak teledor, demikian pula lupa,” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 32).

Adapun jenis kelompok kedua, seperti orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, lalai karena urusan duniawi, tidur setelah masuk waktu shalat dan lain sebagainya, mengenai status kewajiban mengqadha shalat bagi mereka, ulama berbeda pendapat.

Menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah, wajib mengqadha segera, tidak boleh ditunda. Berpijak dari pendapat ini, wajib bagi orang jenis kelompok kedua ini menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha shalat selain urusan-urusan yang dibutuhkan seperti makan, minum, tidur, bekerja menafkahi keluarga dan lain sebagainya. Haram bagi mereka melaksanakan shalat sunah, termasuk shalat tarawih, sebelum utang shalatnya terpenuhi. Meski haram, tapi shalat tarawih yang dilakukan tetap sah, berbeda dengan pendapat Imam al-Zarkasyi yang menyatakan tidak sah.

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

ويبادر من مر بفائت وجوبا إن فات بلا عذر فيلزمه القضاء فورا.

“Bersegeralah orang yang telah disebutkan itu, mengqadha shalat secara wajib apabila shalat terlewat tanpa uzur, maka wajib baginya mengqadha secepatnya.”

 قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه وأنه يحرم عليه التطوع. انتهى. 

“Berkata guru kami, Syekh Ahmad bin Hajar, semoga Allah merahmatinya. Pendapat yang jelas, wajib baginya (orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur), mengerahkan seluruh waktunya untuk mengqadha selain waktu yang ia butuhkan di dalam urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Dan haram baginya shalat sunah,”  (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 31-32).

Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha mengomentari referensi di atas sebagai berikut:

ـ (قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي

“Ucapan Syekh Zainuddin ‘dan haram baginya shalat sunah’; maksudnya besertaan dengan keabsahannya, berbeda dengan Imam al-Zarkasyi,” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal.  32).

Sedangkan menurut Syekh Habib Abdullah al-Haddad, kewajiban qadha bagi kelompok kedua ini boleh ditunda sesuai dengan batas kemampuan asalkan tidak sampai pada taraf menyepelekan. Berpijak dari ini, seseorang bisa melaksanakan aktivitas secara wajar, termasuk shalat tarawih, meski ia masih memiliki tanggungan shalat. Ulama yang menyandang gelar “Quthbud Dakwah wal Irsyad, sang poros dakwah dan petunjuk” tersebut berargumen dengan hadits Nabi “aku di utus membawa agama yang dicondongi dan murah”, “Permudahlah, jangan mempersulit.” 

Pendapat ini oleh Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dinilai sebagai solusi yang tepat, dibandingkan dengan pendapat fuqaha lain yang mewajibkan segenap waktunya untuk mengqadha. Habib Abdurrahman menganggap pendapat fuqaha tersebut sangat berat sekali diterapkan di kalangan masyarakat.

Di dalam karyanya yang fenomenal, Bughyah al-Mustarsyidin, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur berkata:

ومن كلام الحبيب القطب عبد الله الحداد ويلزم التائب أن يقضي ما فرَّط فيه من الواجبات كالصلاة والصوم والزكاة لا بد له منه ، ويكون على التراخي والاستطاعة من غير تضييق ولا تساهل فإن الدين متين 

“Di antara statemen Habib al-Quthb Abdullah al-Haddad adalah, wajib bagi orang yang bertaubat, mengqadha kewajiban-kewajiban yang ia teledor di dalamnya seperti shalat, puasa dan zakat yang diwajibkan baginya. Kewajiban ini atas jalan ditunda dan sesuai kemampuan tanpa memberatkan dan menyepelekan, sesungguhnya agama (Islam) adalah kuat.”

وقد قال : "بعثت بالحنيفية السمحاء". وقال : "يسروا ولا تعسروا" اهـ ، وهذا كما ترى أولى مما قاله الفقهاء من وجوب صرف جميع وقته للقضاء ، ما عدا ما يحتاجه له ولممونه لما في ذلك من الحرج الشديد

Nabi bersabda; “aku diutus dengan membawa agama yang dicondongi, yang murah” “permudahlah, jangan mempersulit,” Pendapat Habib Abdullah al-Haddad ini, seperti yang kamu lihat, lebih utama dari pada apa yang dikatakan fuqaha berupa kewajiban mengerahkan seluruh waktu untuk mengqadha selain waktu yang dibutuhkan untuk dirinya dan keluarga yang wajib ia tanggung, sebab pendapat tersebut terdapat keberatan yang sangat,” (Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 71).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur dan ia belum mengqadhanya, hukum shalat tarawih baginya terdapat ikhtilaf. Menurut mayoritas Syafi’iyyah haram, menurut Habib Abdullah al-Haddad boleh. Berbeda halnya dengan orang yang memiliki tanggungan shalat yang ditinggalkan karena uzur, maka ulama sepakat membolehkan shalat tarawih.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini hendaknya disikapi dengan bijaksana. Seperti yang disampaikan Imam Abdul Wahhab al-Syarani di dalam kitab al-Mizan al-Kubra, bahwa pendapat yang berat diperuntukan untuk orang yang kuat imannya, sedangkan pendapat ringan diberikan untuk masyarakat yang lemah imannya. Yang perlu disampaikan juga adalah, bahwa dengan shalat tarawih tidak kemudian kewajiban mengqadha shalat menjadi gugur. Di samping ajakan tarawih, perlu juga penekanan mengenai kewajiban mengqadha shalat. Jangan sampai fatwa di tengah umat menyebabkan hal yang tidak diinginkan, seperti masyarakat justru enggan melaksanakan tarawih. Perlu pendekatan yang baik agar mereka berangsur menjadi manusia yang bertaqwa dengan sempurna. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.


Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.