Ramadhan

Kualitas Hadits Pembagian Ramadhan Menjadi 3: Rahmat, Maghfirah, Itqun Minannar

Kam, 16 Mei 2019 | 11:30 WIB

Bulan Ramadhan menjadi bulan tampilnya para dai. Mulai di masjid-masjid hingga di layar kaca televisi. Ajakan dan motivasi untuk berbuat baik di bulan Ramadhan, mulai bersedekah, beribadah dan lain sebagainya juga tersebar di berbagai media dakwah. 

Tak ayal, untuk mendukung dan melegitimasi ajakan dan motivasi tersebut, terkadang para dai belum mampu menyaring hadits-hadits yang digunakan, bahkan masih ada yang menggunakan hadits dhaif untuk memotivasi orang untuk beribadah.

Salah satu hadits yang sering digunakan oleh para dai adalah terkait pembagian keutamaan bulan Ramadhan menjadi tiga, yaitu sepuluh hari pertama rahmat, sepuluh hari kedua adalah ampunan, dan sepuluh hari ketiganya adalah terbebas dari api neraka.

أوله رحمة، وأوسطه مغفرة، وآخره عتق من النار

Artinya, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuʽabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah. Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadʽan yang divonis oleh para ulama sebagai orang yang dhaif. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jâmiʽ al-Aḥâdîts, [Beirut: Dar Fikr, t.t], j. 23, h. 176.)

Lantas, apakah hadits tersebut bisa diamalkan?

Pada prinsipnya, hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan atau dalam konteks pembahasan tulisan ini, boleh digunakan untuk ceramah, walaupun dhaif. 

Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dengan dua syarat berikut: Pertama, tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah subhanahu wata’ala, dsb. Kedua, tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.

Mahmud al-Thahhan menambahkan bahwa ada juga beberapa ulama yang menggunakan hadits dhaif untuk semacam memberikan ceramah atau tausiyah, seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.

تجوز روايتها في مثل المواعظ والترغيب والترهيب والقصص وما أسبه ذالك. وممن روي عنه التساهل في روايتها سفيان الثوري وعبد الرحمن بن المهدي وأحمد بن حنبل.

Artinya, “Boleh meriwayatkan hadits dalam hal ceramah, anjuran, ancaman, kisah, dan semacamnya. Beberapa ulama yang toleran meriwayatkan hadits dhaif (terkait maidhah, anjuran, ancaman, kisah, dsb) adalah Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal). (Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysîr Musṭalaḥ al-Hadîts, [Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2004], h. 80).

Namun, ketika seorang penceramah telah mengetahui bahwa hadits itu dhaif, jangan meriwayatkan atau menyampaikan dengan sighat jazm (sighat yang meyakinkan bahwa itu benar-benar dari Rasulullah), seperti dengan lafaz “Qâla Rasûlullah” dan semacamnya. Tapi hendaknya meriwayatkan dengan sighat tamridh saja, seperti “qîla” atau “ruwiya”. Ini adalah salah satu tindakan untuk berhati-hati, karena telah mengetahui status kedhaifan hadits tersebut.

Alangkah lebih baiknya jika dikuatkan dengan hadits lain yang secara substansi sama tapi lebih sahih sanadnya. Misalnya hadits riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majjah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ قَالَ : إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ.

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketika tiba awal malam bulan Ramadhan, para setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam’.” (Lihat: Ibn Majjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majjah, [Beirut: Dar Fikr, T.t], j. 2, h. 26.)

Dalam hadits di atas disebutkan lebih umum, bahwa semua kebaikan dan keutamaan ada dalam bulan Ramadhan. Namun, jika ingin lebih berhati-hati, usahakan untuk tidak menggunakan hadits dhaif dan memilih hadits yang sahih saja.

Guru besar ilmu hadits Kiai Ali Mustafa Yaqub rahimahullah menyebutkan bahwa hadits yang menjelaskan bahwa cukup menggunakan hadits sahih tentang orang yang puasa Ramadhan akan mendapatkan keutamaan diampuni dosannya yang lalu, sebagaimana riwayat al-Bukhari berikut:

من صام رمضانَ إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم من ذَنْبِهِ

Artinya, “Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

Atau juga bisa dengan redaksi yang lebih umum, yaitu qâma ramadlâna, yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم مِنْ ذَنْبِهِ ، ومن قام ليلةَ القَدْرِ إيمانا واحتسابا غُفِرَ له ما تقدَّم مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, “Siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan (dengan puasa atau ibadah) dengan iman dan mengharap pahala dari Allah Swt. maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan siapa yang menghidupkan (beribadah) malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wata’ala maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kiai Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa hadits ini sudah cukup untuk menjelaskan keutamaan beribadah pada bulan Ramadhan, tanpa harus menggunakan hadits-hadits dhaif bahkan maudhu‘. Ini dilakukan dalam rangka berhati-hati agar kita tidak terjerumus untuk berbohong atas nama Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah