Ramadhan

Ketentuan Shalat Tarawih Cepat dalam Kajian Fiqih

Rab, 6 Mei 2020 | 23:00 WIB

Ketentuan Shalat Tarawih Cepat dalam Kajian Fiqih

Shalat tarawih mestinya dilakukan dengan tenang. Namun pada praktiknya, ia sering kali ditunaikan dengan terburu-buru.

Tarawih merupakan salah satu shalat sunat yang khusus ditunaikan pada malam bulan Ramadhan. Sebagaimana namanya yang berasal dari kata raha (Arab) dan berarti ‘rehat’, ‘tenang’, ‘nyaman’, atau ‘lepas dari kesibukan,’ shalat tarawih mestinya menjadi shalat yang  tenang, jadi sarana meraih ketenangan, dan melepas kesibukan.

Namun dalam praktiknya, shalat ini sering kali ditunaikan dengan cepat dan terburu-buru karena mengejar jumlah rakaat tertentu. Sebagaimana diketahui, salah satu rukun shalat adalah membaca Surah Al-Fatihah dengan sedikitnya 10 persyaratan seperti yang disebutkan Syekh Zainuddin Al-Malaibari.

Berikut ini 10 syarat membaca Surat Al-Fatihah, yaitu (1) membaca semua ayatnya; (2) dibaca sewaktu berdiri; (3) membaca al-Fatihah dengan niat membacanya; (4) membaca Al-Fatihah setidaknya terdengar diri sendiri; (5) membacanya dalam bahasa Arab, tidak boleh diganti bahasa lain; (6) menjaga semua tasydidnya; (7) menjaga huruf-hurufnya; (8) tidak ada cacat bacaan yang merusak makna; (9) muwalah atau tak terlalu lama menghentikan bacaan; (10) tertib sesuai urutan ayat dalam mushaf. (Lihat Fathul Mu‘in, halaman 99).

Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembacaan surat atau ayat Al-Qur’an yang lain. Sebagaimana berlaku umum, pembacaan Al-Qur’an harus tartil, baik di dalam maupun di luar shalat, berdasarkan ayat, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan,” (Surat Al-Muzammil ayat 4).

Dalam kaitannya dengan tartil, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu menjelaskan, yang dimaksud tartil adalah tajwidul huruf wa ma‘rifatul wuquf. Artinya, membaguskan huruf dan mengetahui tempat-tempat berhentinya bacaan (waqaf). Kemudian, kriteria membaguskan huruf sekurang-kurangnya terpenuhi dengan mengeluarkan huruf dari makhraj-nya (seperti al-jauf, tharful lisan, dan halq), dan memenuhi sifat-sifatnya, baik sifat lazimah (seperti jahr, hams, ithbaq, istifal, dan isti‘la) maupun sifat ‘aridhah (seperti idgham, izhar, ikhfa, imalah). (Lihat An-Nasyr fil Qira’atil-‘Asyr, halaman 209).

Jika melihat tartil sesuai dengan definisi Sayyidina ‘Ali di atas, sudah barang tentu bacaan Al-Qur’an tidak bisa dilakukan dengan cepat-cepat. Ini pula yang disyaratkan oleh Imam As-Syafi‘i yang mempersyaratkan sekurang-kurangnya bacaan tartil dengan tarkul ‘ajalah fil qur’an atau “tidak terburu-buru dalam bacaan supaya jelas.” Tak heran bila ulama lain sampai mensyaratkan bacaan tartil dengan bacaan huruf demi huruf. (Lihat Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jilid II, halaman 76).

Dalam Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi menegaskan, para ulama sepakat memakruhkan membaca Al-Qur’an dengan cepat. Dijelaskan para ulama, status makruh ini tentu bacaannya masih benar, tidak keluar dari ketentuan tajwid, dan tidak merusak makna, hanya saja dilakukan agak cepat. Adapun bacaan cepat yang sudah keluar dari ketentuan tajwid, banyak bacaan yang cacat dan sampai merusak makna, boleh jadi bukan makruh lagi, melainkan sudah berdosa sebagai pernyataan para ulama tajwid:

مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمُ 

Artinya, “Siapa saja yang tidak men-tajwid Al-Quran, maka ia berdosa.”

Mengapa para ulama memakruhkan bacaan yang cepat? Kecepatan bacaan dapat mengabaikan aspek tadabbur atau perenungan terhadap kandungan ayat. Padahal, tadabbur lebih mampu mendekatkan pembaca pada ketenangan dan pengagungan kepada Zat pemilik kalam, serta lebih menyentuh hati. Tak heran, Ibnu ‘Abbas menyebutkan, pembacaan Al-Qur’an satu surat dengan tartil lebih kusukai dibanding membaca seluruh Al-Qur’an tanpa tartil (dengan cepat).

Selanjutnya, kaitan dengan thuma’ninah, jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali sepakat mewajibkannya, terutama dalam rukuk dan sujud. Hukum thuma’ninah sendiri adalah fardhu seperti kewajiban rukuk dan sujud. Sebagian ulama Syafi‘i menjadikan thuma’nihah sebagai rukun shalat tersendiri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, kecuali Syekh Abu Yusuf, hukum thuma’ninah adalah sunnah. Ini artinya, dalam pandangan mazhab Hanafi, shalat tetap sah walau tanpa thuma’ninah. (Lihat Ikhtilafu A’immatil ‘Ulama, jilid I, halaman 114).

Thuma’ninah sendiri berarti tenang dan diam seluruh anggota tubuh sekurang-kurangnya selama satu kali bacaan tasbih. Adapun yang menjadil dalil wajibnya thuma’ninah menurut mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Al-Bukhari (nomor 6251) dari Abu Hurairah RA:
 
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Artinya, “Jika engkau menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat dan mengucap takbir. Lalu bacalah ayat Al-Qur’an yang menurutmu mudah (Al-Fatihah dan surat). Lalu rukuklah hingga rukuk dengan thuma’ninah. Lantas angkatlah kepala hingga berdiri dengan tegak. Lalu sujudlah hingga sujud dengan thuma’ninah.  Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Lalu sujud kembali hingga sujud dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Kemudian, lakukanlah semua itu dalam seluruh shalatmu,” (HR Bukhari).

Ditambah, pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lain kepada Bilal ibn Rabah, “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!” (HR. Ahmad).  

Adapun alasan ulama Hanafi menghukumi thuma’ninah sebagai sunnah, termasuk tuhma’ninah dalam sujud dan rukuk sebagaimana dalam Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah sebagai berikut ini:

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الطُّمَأْنِينَةَ فِي الرُّكُوعِ لَيْسَتْ فَرْضًا، وَأَنَّ الصَّلاَةَ تَصِحُّ بِدُونِهَا؛ لأِنَّ الْمَفْرُوضَ مِنَ الرُّكُوعِ أَصْل الاِنْحِنَاءِ وَالْمَيْل، فَإِذَا أَتَى بِأَصْل الاِنْحِنَاءِ فَقَدِ امْتَثَل، لإِتْيَانِهِ بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ الْوَارِدُ فِي قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ}. الآْيَةَ. أَمَّا الطُّمَأْنِينَةُ فَدَوَامٌ عَلَى أَصْل الْفِعْل، وَالأْمْرُ بِالْفِعْل لاَ يَقْتَضِي الدَّوَامَ. 

Artinya, “Para ulama Hanafi berpendapat bahwa thuma’ninah dalam rukuk bukan fardhu. Sehingga shalat tanpa thuma’ninah adalah sah. Sebab, yang diwajibkan dari rukuk adalah membungkuk dan condong. Bila seseorang sudah membungkuk, sejatinya sudah menunaikan rukuk sesuai dengan istilah rukuk yang disebutkan dalam firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu,’ (Surat Al-Hajj ayat 77). Thuma’ninah itu langgeng pada asal perbuatan. Sedangkan perintah melakukan sesuatu tidak menuntut untuk langgeng. (Lihat Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah, jilid XXIII, halaman 128).

Bila memperhatikan uraian singkat tentang maksud serta kedudukan tartil bacaan dan thuma’ninah di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa tarawih yang dilakukan dengan cepat pada dasarnya tidak masalah selama memperhatikan hal-hal berikut. 

Pertama,  bacaan Al-Quran, terutama yang rukun, meski dilakukan imam agak cepat—jika berjamaah—tetap harus memperhatikan ketentuan atau kaidah tajwid. Sebab, dalam kondisi tertentu, imam bertanggung jawab atas bacaan makmum yang kurang.  

Kedua, ketika makmum khawatir tidak sempat menyelesaikan bacaan Surah Al-Fatihah setelah imam membacanya, maka makmum bisa mengawali bacaan Al-Fatihah sesaat setelah imam memulai. Di samping itu, cara ini bisa membuatnya lebih leluasa dan lebih mampu menjaga bacaan sesuai tajwid.  Di pengujung bacaan Al-Fatihah imam, makmum menyelinginya dengan bacaan ‘āmīn’, lalu melanjutkan sisa bacaannya.

Ketiga, supaya keluar dari perdebatan, upayakan menyempatkan diri untuk thuma’ninah dalam setiap rukun qashir (singkat), terutama rukuk dan sujud, sekurang-kurangnya selama membaca satu tasbih (subhanallah) dan semua anggota tubuh dalam keadaan diam. Kendati tidak bisa thuma’ninah, maka ber-taqlid-lah kepada Imam Hanafi yang memandangnya sebagai sunnah.

Keempat, jika masih memungkinkan untuk mengambil jumlah rakaat tarawih yang banyak, seperti yang 20 rakaat, dengan tetap memelihara bacaan dan thuma’ninah, maka lakukanlah. Jika tidak, maka ambillah jumlah rakaat yang lebih sedikit, seperti yang 8 rakaat, agar lebih mampu menjaga bacaan, thuma’ninah, ketenangan, dan kekhusyuan shalat.
 
Pendapat Imam An-Nawawi bisa jadi pertimbangan, “Membaca Al-Qur’an satu juz dengan tartil adalah lebih utama ketimbang dua juz tanpa tartil.” Demikian pula pendapat Ibnu ‘Abbas, “Membaca satu surat Al-Qur’an dengan tartil, lebih kusukai daripada membaca seluruh Al-Qur’an tanpa tartil.” Prinsipnya, walau kuantitas amalnya sedikit, tetapi kualitasnya tetap terjaga. 

Kelima, sebagaimana namanya, shalat tarawih artinya shalat yang tenang. Maka raihlah ketenangan dalam shalat, sebagaimana pesan Nabi SAW pada Bilal bin Rabah. Yang tak kalah penting, intisari dari shalat adalah kekhusyukan dan taqarrub kepada Allah. Namun, kekhusyuan shalat sepertinya akan sulit diraih bilamana dilakukan terburu-buru.

Al-Ghazali pernah berkata, orang yang shalat tanpa khusyuk dan kehadiran hati, bagaikan mempersembahkan hewan besar kepada sang raja namun hewan itu sudah jadi bangkai. Wallahu ‘alam.
 

Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.