Ramadhan

Kesaksian Rukyatul Hilal Perlu Diverifikasi, Mengapa?

Sab, 26 Mei 2018 | 14:45 WIB

Kesaksian Rukyatul Hilal Perlu Diverifikasi, Mengapa?

Ilustrasi (Getty Images)

Rukyatul Hilal sebagai sebuah metode penentuan awal bulan Hijriyah terkadang mengalami kendala. Mata manusia sebagai sarana satu-satunya alat untuk membuktikan penampakan hilal terkadang salah dalam melakukan pengamatan.

Sebagai contoh di Arab Saudi. Negara ini menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal dengan rukyatul hilal sehingga memunculkan para praktisi rukyatul hilal. Salah satunya adalah Abdullah bin Muhammad Al-Khudlairi. Mahkamah Agung Saudi telah menerima laporannya selama 30 tahun terakhir. Kesaksian Abdullah Al-Khudlairi telah diterima oleh pemerintah Saudi selama 10 tahun. Padahal, tim resmi Komite Hilal pemerintah Saudi yang juga melakukan observasi di waktu dan daerah yang sama tidak dapat melihat hilal. Akhirnya pada saat penentuan awal bulan Ramadhan 1435 H, seorang anggota Komite Hilal menemani Al-Khudhairi dalam melakukan pengamatan hilai di petang hari Jum’at, 27 Juni 2014. Matahari tidak tampak saat itu karena cuaca penuh debu dan pada saat itu al-Khudlairi menyatakan tidak melihat hilal. (blog.al-habib.info)
Pada 2015 lembaga astronomi di kota Jeddah menyatakan bahwa yang dilihat para saksi adalah planet saturnus (kawkab zuhal) dan bukan hilal bulan Syawwal 1436 H. Sehingga penetapan hari raya yang dilakukan oleh pemerintah Saudi terlalu dini. Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah Saudi mengeluarkan dana sebesar satu miliar enam juta riyal untuk membayar kaffarat warga Saudi yang tidak berpuasa pada hari itu. (ar.yabiladi.com) 

Verifikasi kesaksian hilal biasanya dilakukan dengan dua hal. Pertama, saksi harus seorang Muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَلَ - قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ : يَعْنِى : رَمَضَانَ - فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ ، قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : (يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَداً 

“Datang seorang Badui kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah Saw. bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah berkata, “wahai Bilal, umumkan pada orang-orang untuk puasa besok. (HR Abu Dawud)

Kedua, pembuktian bahwa penampakan hilal bukan penampakan semu. Karena bagaimanapun penglihatan manusia memiliki keterbatasan. Dalam kitab Wafiyyatul A‘yan wa Abna’ Abna’ al-Zaman, sejarawan Ibnu Khalikan menceritakan sebuah kisah menarik tentang Iyas bin Mu’awiyah

وتراءى هلال شهر رمضان جماعة فيهم أنس بن مالك رضي الله عنه وقد قارب المائة، فقال أنس: قد رأيته، هو ذاك. وجعل يشير إليه فلا يرونه، ونظر إياس إلى أنس وإذا شعرة من حاجبه قد انثنت، فمسحها إياس، وسواها بحاجبه، ثم قال له: يا أبا حمزة، أرنا موضع الهلال. فجعل ينظر، ويقول: ما أراه

“Sekelompok orang mengamati hilal bulan Ramadhan, di antara mereka ada Anas bin Malik radliyallahu ‘anh, yang berusia hampir seratus tahun. Anas berkata, ‘aku melihatnya, itu dia’ sambil menunjuk ke arahnya, tetapi orang-orang tidak melihatnya. Iyas melihat Anas dan melihat sehelai rambut pada alisnya. Kemudian Iyas mengusap rambut itu dan merapikan alis Anas. Kemudian Iyas berkata, ‘wahai Abu Hamzah tunjukkan posisi hilal. Maka Anas mengamati lagi dan berkata, ‘aku tidak melihatnya.”
Selain itu terkadang seseorang melihat hilal bukan pada waktu yang tepat. Sebagaimana terjadi pada masa sahabat.

 عن سالم بن عبد الله بن عُمَرَ: أَنَّ نَاسًا رَأَوْا هِلَالَ الْفِطْرِ نَهَارًا ، فَأَتَمَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا صِيَامَهُ إلَى اللَّيْلِ ، وَقَالَ: لاَ ، حَتَّى يُرَى مِنْ حَيْثُ يُرَى بِاللَّيْلِ

Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, “bahwa orang-orang melihat hilal idul Fitri di siang hari. Maka Abdullah bin Umar radliyahhu ‘anh tetap menyempurnakan puasanya sampai malam, dan berkata,‘tidak, sampai hilal terlihat malam hari’.” (HR Baihaqi)

Dalam atsar tersebut Ibnu Umar menolak kesaksian hilal tidak pada waktunya. 

Pada saat ini, seiring perkembangan ilmu astronomi, waktu munculnya hilal, tinggi bulan (irtifa’ hilal), posisi bulan (azimuth hilal) dan lamanya bulan di atas ufuk (muksul hilal) dapat dihitung secara matematis. Dengan demikian ilmu falak dapat menjadi alat bantu untuk melakukan verifikasi kesaksian rukyatul hilal. Sehingga tidak ada lagi kesaksian hilal berdasarkan penampakan semu. 


Ahmad Musonnif, Pengurus Lembaga Falakiyah PCNU Tulungagung