Ramadhan

Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf

Sel, 28 Mei 2019 | 09:00 WIB

Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf

Ilustrasi (via picbon.com)

Sepuluh akhir bulan Ramadhan adalah waktu yang paling diharapkan turunnya lailatul qadar. Nabi melalui teladan perilakunya menekankan begitu pentingnya mengisi sepertiga akhir bulan suci ini dengan beribadah, di antaranya dengan beri’tikaf. Berbicara i’tikaf, penting untuk diketahui hal-hal yang membatlkannya, agar bisa dihindari dan i’tikaf menjadi sah sesuai aturan syariat. Ada tuju hal yang dapat membatalkan i’tikaf. Berikut ini penjelasannya:

Salah satu yang terpenting dalam keabsahan ibadah adalah akal yang sehat. Sebab dengan akal yang sehat, seseorang dapat menjalankan ibadah dengan baik dan niat ibadahnya dinyatakan sah. Gangguan jiwa parah yang dialami orang gila menjadikannya tidak dapat mengendalikan diri, sehingga dalam kondisi tersebut ia tidak memenuhi kualifikasi orang yang dinyatakan sah i’tikafnya. 

Namun kondisi gila yang dapat membatalkan i’tikaf adalah ketika disebabkan keteledoran pelakunya, misalnya sengaja mengonsumsi obat yang menjadikannya gila. Bila tidak ada unsur keteledoran, maka tidak membatalkan i’tikaf yang telah dilakukan asalkan ia tidak dikeluarkan dari masjid, sehingga ketika dalam waktu dekat, ia sembuh kembali, tidak perlu mengulangi niat i’tikaf, cukup melanjutkan niat i’tikaf sebelumnya.

Kedua, ighma (pingsan)

Al-ighma’ didefinisikan dengan:

آفَةٌ فِي الْقَلْبِ أَوِ الدِّمَاغِ تُعَطِّل الْقُوَى الْمُدْرِكَةَ وَالْحَرَكَةَ عَنْ أَفْعَالِهَا مَعَ بَقَاءِ الْعَقْل مَغْلُوبًا

“Penyakit di hati atau otak yang dapat menghilangkan kesadaran dan membuat tidak dapat bergerak (tidak berdaya) serta masih tersisanya akal secara minim.” (Jamaah Ulama Kuwait, al-Masu’ah al-Fiqhiyyah, juz 7, hal. 163).

Melihat definisi ini, kata ighma lebih tepat diterjemahkan dengan pingsan (jawa: semaput), daripada diartikan epilepsi, sebab ighma tidak ada hubungannya sama sekali dengan gangguan saraf, sementara epilepsi berkaitan erat dengan penyakit saraf. Tarafnya ighma masih di bawah gila, sebab gila dapat menghilangkan akal secara total, sedangkan ighma masih menyisakan kesadaran akal meski dalam taraf yang minim. 

Sebagaimana gila, pingsan dapat membatalkan i’tikaf bila disebabkan oleh keteloderan, semisal akibat secara sengaja meminum obat yang menyebabkan pingsan. Jika tidak demikian, i’tikafnya yang sudah dijalani tetap sah dengan catatan ia tetap berada di masjid. Ketika ia kembali siuman saat masih berada di masjid, tidak perlu mengulangi niat i’tikaf. Perbedaannya dengan persoalan gila adalah saat kondisi gila, tidak terhitung pahala i’tikafnya, sebab pelakunya tidak sah menjalani i’tikaf, berbeda dalam kondisi pingsan, tetap dihitung pahala i’tikafnya, sebab i’tikaf tetap sah dilakukan dalam kondisi pingsan.

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

(وَلَوْ طَرَأَ جُنُونٌ أَوْ إغْمَاءٌ) عَلَى الْمُعْتَكِفِ (لَمْ يَبْطُلْ مَا مَضَى) مِنْ اعْتِكَافِهِ الْمُتَتَابِعِ (إنْ لَمْ يُخْرَجْ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ مِنْ الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ مَعْذُورٌ بِمَا عَرَضَ لَهُ ...إلى أن قال.....أَمَّا لَوْ طَرَأَ ذَلِكَ بِسَبَبٍ لَا يُعْذَرُ فِيهِ كَالسُّكْرِ فَإِنَّهُ يَنْقَطِعُ اعْتِكَافُهُ كَمَا نَقَلَهُ فِي الْكِفَايَةِ عَنْ الْبَنْدَنِيجِيِّ فِي الْجُنُونِ، وَبَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ فِي الْإِغْمَاءِ

“Bila baru datang gila atau pingsan atas orang yang beri’tikaf, maka tidak batal i’tikaf yang telah lewat yang dilakukan secara berkelanjutan, bila ia tidak dikeluarkan dari masjid, karena dimaklumi atas kondisi baru datang yang dialami. Adapun jika hal tersebut terjadi dengan sebab yang tidak dimaklumi, seperti mabuk, maka terputus i’tikafnya seperti yang dikutip Imam Ibnu Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dari al-Bandaniji dalam persoalan gila, dan dibahas oleh Imam al-Adzra’i dalam kasus pingsan.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 196).

Syekh Muhammad al-Ramli menjelaskan:

ـ (وَيُحْسَبُ زَمَنُ الْإِغْمَاءِ مِنْ الِاعْتِكَافِ) الْمُتَتَابِعِ كَمَا فِي الصَّائِمِ إذَا أُغْمِيَ عَلَيْهِ بَعْضَ النَّهَارِ (دُونَ) زَمَنِ (الْجُنُونِ) فَلَا يُحْسَبُ مِنْهُ لِأَنَّ الْعِبَادَةَ الْبَدَنِيَّةَ لَا تَصِحُّ مِنْهُ

“Dan dihitung masa pingsan dari i’tikaf yang berkelanjutan seperti orang puasa yang pingsan di sebagian siang, bukan masa gila, maka tidak terhitung darinya, sebab ibadah badan tidak sah dilakukan darinya.” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 225).

Ketiga, mabuk.

Orang mabuk bukan tergolong orang yang sah menjalani ibadah i’tikaf, sebagaimana ibadah-ibadah lain yang membutuhkan niat. Ketika di pertengahan i’tikaf kondisi mabuk melanda, i’tikafnya batal, sehingga bila pelakunya kembali sadar, wajib memulai niat i’tikaf kembali, meski ia masih berada di dalam masjid. Seperti gila dan pingsan, ketentuan ini berlaku dalam konteks mabuk yang disengaja (teledor). Bila tidak disengaja, semisal tanpa sadar mengonsumsi makanan atau minuman yang memabukan, maka tidak membatalkan i’tikaf yang telah dilakukan.

Keempat, keluar dari Islam (riddah).

Keluar dari agama Islam dalam istilah fiqh disebut dengan riddah, pelakunya dinamakan dengan murtad. Orang bisa keluar dari Islam bila ia melakukan hal-hal yang dapat melecehkan, menentang dan mengingkari hal-hal yang menjadi pokok ajaran Islam, seperti meyakini Nabi setelah Rasulullah Muhammad, meyakini Tuhan berwujud tiga (trinitas) dan lain sebagainya.

I’tikaf adalah ibadah yang membutuhkan niat, maka tidak sah dilakukan oleh orang murtad, sebab di antara syarat sah ibadah adalah Islam. I’tikaf yang telah dilakukan juga menjadi batal bila di tengah-tengah i’tikaf, seseorang tiba-tiba murtad.

Ketentuan hukum bagi orang mabuk dan murtad berdasarkan referensi berikut ini:

 ـ (وَلَوْ ارْتَدَّ الْمُعْتَكِفُ أَوْ سَكِرَ) مُعْتَدِيًا (بَطَلَ) اعْتِكَافُهُ زَمَنَ رِدَّتِهِ وَسُكْرِهِ لِعَدَمِ أَهْلِيَّتِهِ، أَمَّا غَيْرُ الْمُتَعَدِّي فَيُشْبِهُ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ أَنَّهُ كَالْمُغْمَى عَلَيْهِ 

“Bila ia murtad atau mabuk secara teledor, maka batal i’tikafnya saat murtad dan mabuknya, sebab ia tidak ahli (ibadah). Adapun mabuk yang tidak teledor, maka cenderung sama seperti orang pingsan seperti dikatakan Imam al-Adzra’i.” 

ـ (وَالْمَذْهَبُ بُطْلَانُ مَا مَضَى مِنْ اعْتِكَافِهِمَا الْمُتَتَابِعِ) وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ لِأَنَّ ذَلِكَ أَشَدُّ مِنْ خُرُوجِهِ بِلَا عُذْرٍ وَهُوَ يَقْطَعُ التَّتَابُعَ فَلَا بُدَّ مِنْ اسْتِئْنَافِهِ

“Menurut pendapat al-Madzhab, i’tikaf yang telah dilakukan keduanya yang berkelanjutan, dinyatakan batal, meski ia tidak keluar (dari masjid), sebab kondisi demikian lebih parah dibandingkan keluar (dari masjid), padahal dapat memutus kelanjutan i’tikaf, maka harus memulai dari awal.” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 224).

Kelima, bersetubuh.

Ulama sepakat bahwa bersetubuh di dalam masjid adalah hal yang diharamkan, berdasarkan firman Allah:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عاكِفُونَ فِي الْمَساجِدِ 

“Janganlah menyetubuhi para wanita sementara kalian sedang menetap di masjid.” (QS. Al-Baqarah, 187).

I’tikaf yang memiliki keterkaitan erat dengan masjid juga menjadi batal disebabkan persetubuhan yang dilakukan di dalam masjid. Meskipun, tentu peristiwa semacam ini sangat sukar dijumpai di sekitar kita.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli mengatakan:

ـ  (وَيَبْطُلُ بِالْجِمَاعِ) إذَا كَانَ ذَاكِرًا لَهُ عَالِمًا بِتَحْرِيمِ الْجِمَاعِ فِيهِ سَوَاءٌ جَامَعَ فِي الْمَسْجِدِ أَمْ عِنْدَ الْخُرُوجِ مِنْهُ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ لِانْسِحَابِ حُكْمِ الِاعْتِكَافِ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ.

“I’tikaf batal dengan bersetubuh bila pelakunya ingat dan mengetahui keharaman bersetubuh di dalam masjid, baik ia bersetubuh di masjid atau saat hendak keluar darinya untuk memenuhi kebutuhan, sebab berlangsungnya hukum i’tikaf dalam kondisi demikian.” (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin, juz 2, hal. 98).

Keenam, bersentuhan kulit dengan syahwat.

Menurut pendapat yang kuat, bersentuhan kulit dengan syahwat dapat membatalkan i’tikaf bila disertai dengan keluarnya sperma. Ketentuan hukum ini berdasarkan analogi (qiyas) kepada persoalan puasa.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli mengatakan:

ـ (وَأَظْهَرُ الْأَقْوَالِ أَنَّ الْمُبَاشَرَةَ بِشَهْوَةٍ) فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ (كَلَمْسٍ وَقُبْلَةٍ تُبْطِلُهُ إنْ أَنْزَلَ وَإِلَّا فَلَا) كَالصَّوْمِ وَالثَّانِي تُبْطِلُهُ مُطْلَقًا لِحُرْمَتِهَا وَالثَّالِثُ لَا تُبْطِلُهُ مُطْلَقًا

“Di antara pendapat-pendapat, yang paling jelas (kuat) adalah bahwa bersentuhan kulit dengan syahwat di bagian selain vagina, seperti memegang dan mencium, dapat membatalkan i’tikaf bila keluar sperma, jika tidak demikian, maka tidak membatalkan, seperti persoalan puasa. Menurut pendapat kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Menurut pendapat ketiga, tidak membatalkan secara mutlak.” (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin, juz 2, hal. 98).

Ketujuh, keluar dari masjid tanpa udzur.

Keluar dari masjid termasuk membatalkan i’tikaf bila dilakukan tanpa ada udzur yang mendesak. Bila ada kebutuhan, semisal berwudlu, buang hajat, makan atau minum yang tidak mungkin dilakukan di masjid dan lain-lain, maka tidak dapat membatalkan i’tikaf.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri menjelaskan:

وَالْخُرُوْجُ مِنَ الْمَسْجِدِ بِلَا عُذْرٍ وَكَذَا لِإِقَامَةِ حَدٍّ ثَبَتَ بِإِقْرَارِهِ أَمَّا الْخُرُوْجُ لِعُذْرٍ كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ الَّذِيْ لَا يُمْكِنُ فِي الْمَسْجِدِ وَقَضَاءِ الْحَاجَةِ وَالْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَلَا يَضُرُّ

“Dan (di antara yang membatalkan i’tikaf) adalah keluar dari masjid tanpa udzur, demikian pula karena menegakan hukuman yang ditetapkan berdasarkan pengakuannya. Adapun keluar karena udzur, seperti makan dan minum yang tidak mungkin dilakukan di masjid, memenuhi hajat dan (menghilangkan) hadats besar, maka tidak bermasalah.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 313). 

Demikianlah penjelasan mengenai hal-hal yang membatalkan i’tikaf. Semoga kita diberi kelancaran untuk menjalani ibadah di sepuluh akhir bulan Ramadhan ini.


Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.