Ramadhan

Enam Etika saat Berpuasa

Sab, 11 Mei 2019 | 05:00 WIB

Melanjutkan tujuh faedah puasa pada tulisan sebelumnya, di bab berikutnya dari kitab Maqâshid al-Shaum, Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami membahas tentang adab atau etika yang harus dijaga bagi orang yang berpuasa. Imam Izzuddin al-Sulami mengelompokkannya dalam enam bagian, yaitu:

(1) Hifdh al-Lisân wa al-Jawârih ‘an al-Mukhâlafah (Menjaga Lisan dan Seluruh Tubuh dari Ketidaktaatan)

Pertimbangan puasa seharusnya tidak sekedar soal sah dan tidak sah, tapi juga harus mempertimbangkan segala aspek etika ibadah dalam melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya dalam meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR. Imam Bukhari)

Imam Izzuddin al-Sulami menjadikan hadis tersebut sebagai landasan logis pentingnya adab dalam menjalankan puasa, bahwa puasa tidak melulu soal lapar dan haus, tapi juga soal menjaga lisan dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan jahat, dusta dan lain sebagainya.

(2) Mengatakan “Saya Berpuasa” ketika Diundang atau Ditawari Makan

Mengucapkan, “anâ shâ’imun—saya berpuasa,” ketika diundang atau ditawari makanan mengandung makna yang dalam, meski terkesan ringan, perkataan tersebut dapat menyelamatkan kedua belah pihak sekaligus; orang yang menawari dan orang yang ditawari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ

“Jika salah satu dari kalian diundang makan padahal tengah berpuasa, hendaklah katakan “saya berpuasa.” (HR. Imam Muslim)

Imam Izzuddin memandang perkataan “anâ shâ’imun” sebagai bentuk “i’tidzâr”, yaitu permohonan maaf dengan mengemukakan alasan tertentu. Tujuannya untuk menjaga perasaan orang yang mengundang (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20). Jika orang yang diundang diam saja (tidak mengiyakan dan menolak), atau tidak hadir tanpa memberi alasan, atau langsung menolak tanpa mengemukakan alasannya, bagaimana perasaan orang yang mengundangnya itu. Dalam hal ini, Rasulullah SAW seakan-akan hendak mengajarkan, “jangan jadikan ibadahmu menjadi sebab sakitnya perasaan saudaramu.” 

Selain itu, Imam Izzuddin al-Sulami juga membolehkan solusi lain jika takut terjadi riya, “fain khâfar riyâ’ warra bi ‘udzrin âkhar—jika takut terjadi riya, maka sembunyikan dengan mencari alasan lainnya.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20). Tentunya dengan cara tidak berbohong.

(3) Berdoa ketika Berbuka

Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memberikan tiga alternatif doa Rasulullah bagi orang yang hendak berbuka puasa (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20). Berikut tiga doa pilihan beliau:

ذَهَبَ الظّـَمَأُ وَابْتَلّـَتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Telah hilang dahaga, basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan jika Allah menghendaki.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam al-Nasai)

اللهمَّ لكَ صُمْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ

“Untukmulah aku berpuasa, dan atas rizkimu aku berbuka.” (HR. Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Ibnu Abi Syaibah, Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi)

الحَمْدُ للهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ

“Segala puji milik Allah yang menolongku maka aku dapat berpuasa dan memberiku rizki maka aku bisa berbuka.” (HR. Imam Sunni dan Imam al-Baihaqi)

Berdoa itu sangat penting, karena bisa menyegarkan kembali kesadaran kita sebagai makhluk yang tidak berdaya apa-apa. Doa adalah bukti dari kemakhlukan kita. Dengan meminta, kita sedang mengikrarkan ketidakberdayaan kita kepadaNya. Doa juga berfungsi untuk memastikan pahala puasa kita, karena selama berpuasa kita pasti pernah berbuat salah, paling tidak menggerutu atau tidak senang terhadap sesuatu. Dengan berdoa (doa pertama), kita memohon agar Allah menerima amal kita dan membalasnya dengan pahala.

(4) Mengawali Buka dengan Makanan Tertentu

Imam Izzuddin al-Sulami membuat daftar urut makanan yang paling baik untuk berbuka. Beliau menyarankan untuk berbuka dengan memakan “ruthab” (kurma matang basah), atau “tamr” (kurma matang kering), jika tidak ada awalilah buka dengan air (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 21). Daftar urut ini beliau ambil dari kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Dalam satu riwayat dikatakan:

كَانَ يَفْطرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّي علي رُطَبَات, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَتَمرَات, فإِنْ لَمْ يَكُنْ حسا حُسْوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Nabi SAW berbuka dengan berberapa butir kurma basah sebelum shalat, jika tidak ada maka berbuka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi)

Dalam riwayat lain dikatakan:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ عَلي التَّمْرِ فَإِنْ لَمْ يَجْدْ فَعلي الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ

“Jika salah satu dari kalian berpuasa, berbukalah dengan kurma kering, jika tidak menemukannya, berbukalah dengan air, sesungguhnya air itu mensucikan.” (HR. Imam Abu Dawud, Imam al-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah)

Ada beberapa tanaman dan buah-buahan yang tidak bisa tumbuh di semua tempat, termasuk kurma. Tidak semua orang dapat menyediakan kurma di saat berbuka dan sahur. Inilah menariknya, karena Rasulullah menjadikan air sebagai standar akhirnya. Air ada di mana-mana, sekedar volumenya saja yang berbeda-beda. Karena air adalah sumber kehidupan, dan manusia tidak bisa hidup tanpa air.

Di samping itu, Rasulullah memberikan penjelasakan bahwa “air” itu menyucikan (thahûrun) dan menggunakan kata, “fa in lam yakun—jika tidak ada” dan “fa in lam yazid—jika tidak menemukannya.” Ini berarti bahwa berbuka dengan makanan dan minuman apapun selama halal dan suci bisa juga termasuk dalam kategori sunnah. Karena itu tadi, selain tidak semua tempat dapat ditumbuhi kurma, ada juga faktor kemampuan ekonomi dalam menyediakan makanan.

(5) Ta’jîl al-Fithr (Menyegerakan Berbuka)

Dasar dari memasukkan “ta’jîl al-fithr” dalam adab-adab berpuasa adalah hadis qudsi yang mengatakan:

قَالَ الله عزّ وَجلّ: أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا

“Hambaku yang paling kucintai adalah yang paling menyegerakan berbuka.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi)

Menyegerakan berbuka sangat dianjurkan (sunnah) untuk orang yang berpuasa. Setelah setengah hari memenuhi hak ruhani (makanan spiritual) dengan berpuasa, maka menyegerakan berbuka sebagai pemenuhan hak jasmani (tubuh) merupakan ibadah yang disunnahkan. Menunda pemenuhan hak terhadap sesuatu adalah hutang. Orang yang menunda pembayaran hak meskipun dia mampu telah berbuat aniaya terhadap tubuhnya sendiri. 

Imam Izzuddin al-Sulami bercerita bahwa ada ulama zaman dulu yang makan di pasar (berbuka), beberapa orang bertanya kenapa tidak makan di rumah saja. Ulama itu menjawab dengan hadis (HR. Imam Bukhari): “mathl al-ghinâ dhulmun—penundaan pembayaran hutang oleh orang yang kaya/mampu adalah kezaliman.” (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 23). Artinya, menunda-nunda berbuka yang dipandang sebagai utang jasmani ketika dia mampu adalah kezaliman.

(6) Ta’khîr al-Sahûr (Mengakhirkan Sahur)

Salah satu riwayat dari ‘Amr bin Maimun rahimahu Allah mengatakan:

كان أصحب مُحَمَّدٍ صلي الله عليه وسلم أَعجل النَّاس إِفْطارًا وَأَبْطأهم سَحورًا

“Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling menyegerakan buka puasa dan yang paling mengakhirkan sahur.” (HR. Imam Baihaqi dan Imam al-Thabrani)

Imam Izzuddin berpendapat bahwa mengakhirkan sahur dapat memperkuat puasa (innamâ akhkharas sahûr li yutaqawwa bihi ‘alâs shaum) dan waktu sebelum sahur bisa digunakan untuk memperbanyak ibadah (fatuq’idahu ‘an katsîr minat thâ’ât) (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 22). Selain itu, mengakhirkan sahur dapat mengamankan kewajiban lainnya, yaitu shalat shubuh. Tidak sedikit orang yang sahur jauh sebelum waktunya memilih tidur kembali dan melewatkan shalat shubuh. Semoga kita tidak ya. Wallahu a’lam bish shawwab..


Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.