Puisi

Puisi-puisi Dedi Febriyanto

Ahad, 20 Desember 2020 | 07:00 WIB

Puisi-puisi Dedi Febriyanto

Ilustrasi: freepik

Ziarah

aku mengitari tiga pusara kekasih
di bumi Ruwa Jurai penuh berkah
berharap diri yang merasa kinasih
kembali rebah mengecup tanah

 

ziarahku
mengitari tiga pusara kekasih
yang hidup juga menghidupi
yang cukup juga mencukupi
yang terang juga menerangi

 

padahal kata orang kebanyakan
itu pusara orang mati
tapi apanya yang mati
bahkan mereka lebih hidup
daripada yang hidup

 

yang tidur dapat mereka bangunkan
yang sakit dapat mereka sembuhkan
bahkan yang mati dapat mereka hidupkan

 

lalu sebagai perbandingan
kucoba mengetuk pintu hati
menziarahi diri sendiri
benar kulihat
aku hidup menebar duri
aku hidup memberi mati
aku hidup nyatanya mati

 

dari ziarah
lekaslah rebah
dirimu itu tanah

 

Bandar Lampung, 2020

 

Ziarah 2

menziarahi pusara suci
lalu menziarahi diri sendiri
seolah menepi di kebun duri
setelah sebelumnya
singgah di taman surgawi

 

menziarahi pusara suci
jadikan segala ke-Aku-an bersimpuh luruh
tuan rumah menyambut ramah
air mata tumpah ruah
angin segar semilir datang

 

lalu aku pun pulang
kemudian duduk bersimpuh di sepetak ruangan
seketika raja durjana terbuka mata
menguasai hati, lagi
menyuguhkan segala fana menipu diri

 

ziarahku
belum bisa kutanam
di kebun hati

 

Bandar Lampung, 2020

 

Realita Zaman

ada yang menebar melati sembunyi diri
ada yang menebar bangkai berbangga hati
ada yang berhati suci dicaci maki
ada yang tak berhati dipuji-puji
ada yang awas dengan noda saudara asli
tapi pura-pura buta dengan noda diri sendiri
kebaikan diri ditinggikan lewati awan
kebaikan orang ditenggelamkan ke lautan dalam
keburukan diri dikubur dalam-dalam
keburukan orang disebar sampai ke seberang
ada yang mengutuk anugerah tanpa lelah
ada yang menyukuri musibah dengan tabah
alam realita melukiskan semuanya
manusia pemeran utamanya
di mana kita ditempatkan?
tokoh apa yang kita perankan?
lihatlah sendiri!
koreksi diri!
lalu tatalah kembali!

 

Palembang, 2019

 

Kata Sang Kiai

kata Sang Kiai,
"Tuhan itu maha semau gue."
mengingat hal itu
raja sufi pingsan di tengah jalan
orang-orang arif menghujani negeri 
dengan air matanya
sedangkan orang kurang akal
berjoget ria di atas panggung kekosongan

 

kata Sang Kiai,
"Tuhan itu maha semau gue."
mengingat hal itu
orang-orang pilihan gemetar jiwanya
orang-orang berakal terguncang hatinya
sedangkan sisanya malah menggoyang muka fana

 

kata Sang Kiai,
"Tuhan itu maha semau gue."
tapi gue malah bertingkah semaunye
gile

 

Bandar Lampung, 2020
 

Penulis adalah santri di Pondok Pesantren Darussa’adah Kiai Haji Asyikin Gunung Terang, Bandar Lampung.