Syariah

Tafsir Ayat-ayat tentang Puasa Ramadhan

Sen, 29 Mei 2017 | 01:08 WIB

Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para Sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Qur’an selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Qur’an yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya Al-Baqarah ayat 185:

“Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.”

Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, salah seorang Mufassir Indonesia M. Quraish Shihab (2000) mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mewajibkannya tanpa penahapan.

Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Qur’an, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.

Perhatikan surat Al-Baqarah: 185. Ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika  demikian, maka wajar pula jika umat Islam  melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah: 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu  bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barang siapa sakit atau dalam  perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.

"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya.
 
Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Qur’an tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri.

Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa, "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik  dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.

(Fathoni Ahmad)

Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua