Syariah

Sejarah Puasa Asyura dan Dakwah Adaptif Rasulullah Saw

Ahad, 15 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Sejarah Puasa Asyura dan Dakwah Adaptif Rasulullah Saw

Dakwah adaptif Rasulullah saw mendekati Yahudi.

Puasa Asyura merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Tepatnya, puasa ini dilaksanakan pada 10 Muharram. Dalam sejarahnya, puasa Asyura memiliki kaitan menarik dengan perjalanan dakwah Rasulullah saw. Terutama dalam menyampaikan dakwah Islam kepada Ahlul Kitab, kaum beragama yang telah mapan secara religius.


Perlu kiranya penulis singgung, Muharram yang di dalamnya terdapat hari Asyura merupakan salah satu bulan yang Allah muliakan. Dalam diskursus Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Muharram tergolong sebagai Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan). Allah swt berfirman:


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ  (التوبة: 36)


Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (Surat at-Taubah: 36).


Maksud asyhurul hurum pada ayat tersebut ialah Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, alasan dinamakan al-hurum adalah karena berbuat maksiat pada bulan-bulan tersebut akan dibalas dengan lebih berat. Begitupun orang berbuat ketaatan, akan mendapat pahala berlipat. (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, [Kairo, al-Mathba’ah al-Bahiyyah al-Mishriyyah: 1934], juz VIII, halaman 52).


Alasan Muharram dimuliakan adalah, karena di dalamnya terdapat hari Asyura. Dalam catatan sejarah, pada hari itu banyak terjadi peristiwa luar biasa, termasuk selamatnya Nabi Musa as dari kejaran pasukan Fir’aun. Sebagai bentuk syukur, Nabi Musa as berpuasa pada hari tersebut. Berikutnya, umat Yahudi mengikuti apa yang dilakukan nabinya itu, berpuasa setiap 10 Muharram.


Dikatakan oleh Imam Fakruddin ar-Razi, puasa 10 Muharram bagi umat Yahudi merupakan satu-satunya puasa yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Jika umat Islam punya puasa Ramadhan, maka umat Yahudi punya puasa Asyura. (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz V, halaman 75).


Dalil puasa Asyura banyak disinggung dalam hadits-hadits Nabi. Dalam Shahîh Muslim sendiri terhimpun sejumlah 30 hadits yang menyinggung puasa ‘Asyura. Salah satunya adalah hadits berikut:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى، وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)


Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata: ‘Rasulullah saw hadir di kota Madinah, kemudian beliau menjumpai orang Yahudi berpuasa Asyura. Mereka ditanya tentang puasanya tersebut, lalu menjawab: ‘Hari ini adalah hari dimana Allah swt memberikan kemenangan kepada Nabi Musa as dan Bani Israil atas Fir’aun. Maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa’. Kemudian Nabi saw bersabda: ‘Kami (umat Islam) lebih utama memuasai Nabi Musa dibanding dengan kalian’. Lalu Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk berpuasa di hari Asyura." (HR Muslim)


Syekh Musa Lasyin (wafat 2009 M) dalam kitabnya, Fathul Mun’im Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan, puasa Asyura sudah dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyyah Kota Makkah. Artinya, sebelum Rasulullah saw bertemu orang Yahudi di Madinah yang kebetulan saat itu mereka berpuasa ‘Asyura, terlebih dahulu puasa ini dilakukan oleh penduduk Makkah sebelum Islam. (Musa Hasyin Lasyin, Fathul Mun’im Syarhu Shahîh Muslim, [Oman, Dârus Syurûq], juz IV, halaman 588).


Ada dua kemungkinan alasan orang Jahiliyyah berpuasa Asyura. Mengikuti syari’at Nabi Ibrahim as dengan tujuan memuliakan hari Asyura yang juga dibarengi dengan pemasangan kiswah untuk bangunan Ka’bah; atau sebagai penebus dosa-dosa yang telah dilakukan di masa Jahiliyyah. Mereka merasa sangat bersalah dan meyakini puasa ‘Asyura mampu meleburnya. (Lasyin, Fathul Mun’im, juz IV, halaman 558)


Menarik juga kita simak penjelasan Syekh Muhammad bin ‘Abdul Baqi az-Zurqani (wafat 1710 M) dalam kitabnya Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah dengan mengutip Imam al-Qurtubi:


لعل قريشا كانوا يستندون في صومه إليه شرع من مضى كإبراهيم، وصوم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يحتمل أن يكون بحكم الموافقة لهم، كما في الحج، أو أذن الله له في صيامه على أنه فعل خير، فلما هاجر ووجد اليهود يصومونه وسألهم وصامه أمر بصيامه احتمل أن يكون ذلك استئلافا للهيود كما استألفهم باستقبال قبلتهم، ويحتمل غير ذلك


Artinya: “Boleh jadi, masyarakat Jahiliyyah berpuasa Asyura karena mengikuti syari’at nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim as. Rasulullah saw yang juga ikut berpuasa saat itu, mungkin karena alasan adaptif saja, sebagaimana ibadah haji. Atau juga Allah mengizinkan Nabi saw berpuasa ‘Asyura (saat di Makkah) karena hal itu dinilai baik. Lalu, Nabi saw berjumpa orang Yahudi (saat hijrah di Madinah) yang kebetulan sedang berpuasa Asyura. Melihat apa yang dilakukan Yahudi, Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk juga berpuasa. Bisa jadi, Nabi saw ingin membuat orang Yahudi luluh (dengan sama-sama berpuasa Asyura), sebagaimana yang dilakukan Nabi saw saat berkiblat ke arah kiblat mereka. Bisa jadi juga alasan lain. (Az-Zurqani, Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2012], juz XI, halaman 275).


Penjelasan az-Zurqani di atas menarik digarisbawahi, Nabi saw berpuasa Asyura untuk meluluhkan hati orang Yahudi. Ini merupakan salah satu metode dakwah Nabi saw dalam mengajak Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk masuk Islam. Dengan Nabi saw berpuasa Asyura, orang Yahudi akan berpikir, ternyata, syari’at Nabi Muhammad saw tidak jauh berbeda dengan syari’at nabi mereka, Musa as.


Dengan persepsi demikian, Yahudi tadi akan berkesimpulan, baik agama yang dibawa Nabi Musa as maupun Nabi Muhammad saw, keduanya memiliki ajaran, sumber, dan Tuhan yang sama (Allah swt). Mereka luluh dan berikutnya lebih mudah diajak masuk Islam. Meskipun pada akhirnya, Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), agar tidak sama dengan Yahudi. Tapi ini soal lain.


Hal ini tidak Nabi saw lakukan dalam momen puasa Asyura saja. Sebelum kiblat Islam pindah ke Kakbah, kiblat umat Islam pernah menghadap ke kiblat Yahudi di Baitul Maqdis. Tujuannya sama, untuk meluluhkan hati mereka. Sikap Nabi saw seperti ini dipertegas oleh potongan hadits berikut:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ (رواه البخاري)


Artinya: "Nabi saw suka menyamai Ahli Kitab di sebagian perkara yang tidak diperintahkan ...” (HR al-Bukhari)


Bahkan, al-Hâfidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri menjelaskan, saat masa awal-awal Nabi saw hijrah di Madinah, beliau menggunakan kitab Taurat (kitab orang Yahudi) dalam bersyariat. Sampai datang wahyu yang mengadopsi atau merevisi syariat terdahulu (nâsikh). Seperti pernah beliau memutuskan hukuman rajam bagi orang Yahudi yang melakukan Zina. (Ibnu Hajar, Fathul Bâri, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2017], juz XIII, halaman 144).


Demikianlah metode adaptif yang Nabi saw lakukan dalam berdakwah. Dengan metode yang cerdas dan tepat ini, terbukti Islam berhasil mencapai puncak keemasannya. Pada momen Haji Wada’ (haji terakhir Rasulullah saw), sejumlah kurang lebih 114.000 Muslim dari seluruh penjuru bangsa Arab turut hadir. Mereka adalah orang-orang yang sekitar 23 tahun lalu menentang risalah Nabi Muhammad saw.

 


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab dan Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon.