Syariah

Rahasia di Balik Terkendalinya Hawa Nafsu saat Berpuasa

Sel, 13 April 2021 | 11:45 WIB

Rahasia di Balik Terkendalinya Hawa Nafsu saat Berpuasa

Ilustrasi puasa ramadhan. (Foto: NU Online)

Ketika seseorang berpuasa, maka ia akan menahan diri dari makan dan minum. Dengan tidak makan dan minum, maka hawa nafsu (syahwat) akan terkendali. Jika nafsu terkendali, maka sulit bagi setan untuk menggoda manusia, karena pintu utama bagi setan adalah hawa nafsu itu sendiri. Dengan terbebas dari godaan syaitan, ibadah pun lebih maksimal.


Dalam satu hadis, Rasulullah saw bersabda,


عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


"Abdullah Ibnu Mas'ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaih)


Mencermati hadits di atas, seorang pemuda yang sudah cukup umur untuk menikah pasti memiliki syahwat biologis yang bergejolak dalam dirinya. Jika dirinya belum mampu untuk menikah, khawatir akan terjerumus dalam perzinaan. Maka, Rasulullah saw menganjurkannya untuk berpuasa agar gejolak sahwat dalam dirinya bisa terkendali.


Imam Al-Ghazali, dalam Ihya 'Ulumiddin (juz 3, hal. 85) menjelaskan beberapa faedah atau manfaat saat perut dalam kondisi lapar. Di antara faedah terbesarnya adalah bisa menaklukkan hawa nafsu yang berpotensi untuk menjerumuskan dalam perbuatan maksiat.


Menurut Al-Ghazali, sumber utama perbuatan maksiat adalah hawa nafsu dalam diri manusia. Sementara ‘bahan bakar’ hawa nafsu itu sendiri adalah makanan. Dengan mengurangi mengonsumsi makanan, maka hawa nafsu akan meredup dan seseorang mampu mengendalikan dirinya. Jika seseorang mampu mengendalikan diri, maka ia mampu arahkan tubuhnya untuk melakukan kebaikan dan menghindari perbuatan maksiat.


Kalau kita analogikan, orang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu itu ibarat seorang sopir yang mengendarai truk dalam keadaan mabuk. Ia tidak bisa mengendalikan arah ke mana truknya melaju, bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi. Tapi sebaliknya, jika tidak mabuk, maka ia sadar dan bisa mengendalikan ke mana truknya harus melaju.


Berkaitan dengan terkendalinya hawa nafsu saat berpuasa, salah satu faedah berpuasa adalah bisa mengangkat derajat manusia ke level yang lebih tinggi, setara dengan level malaikat; makhluk yang sepanjang hidupnya didedikasikan hanya untuk beribadah kepada Allah swt. Mengapa demikian? Berikut penjelasannya.


Allah swt telah menciptakan malaikat, manusia dan hewan. Ketiganya sama-sama makhluk Allah swt, tetapi memiliki perbedaan. Malaikat diciptakan dan dianugerahi akal, tapi tidak diberikan nafsu. Oleh karena itu malaikat makhluk paling taat, mereka tidak memiliki kepentingan pribadi untuk memenuhi hawa nafsunya.


Kemudian hewan. Allah menciptakan hewan dan dianugerahi nafsu, tanpa akal. Oleh karena itu hewan tidak diperintahkan untuk beribadah (terkena taklif) karena tidak bisa memahami ajaran Islam.


Sementara manusia, Allah ciptakan dan Allah anugerahkan kedua-duanya, akal dan nafsu. Oleh karena itu, manusia lebih mulia dari hewan karena memiliki akal, dan tidak bisa lebih mulia daripada malaikat karena ada nafsu dalam dirinya.


Suatu saat manusia bisa bertindak jauh melenceng dari nilai-nilai ajaran Islam, seolah ia tidak menggunakan akal yang telah Allah anugerahkan untuknya. Sehingga derajatnya turun selevel dengan hewan, bahkan lebih rendah lagi. Hewan bertindak bodoh wajar karena tidak punya akal, tapi jika manusia bertindak ceroboh itu ‘kurang ajar’, sudah diberi akal, tapi tidak mau menggunakan. Allah swt berfirman,


لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ 


Artinya: “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf [7]: 179)


Di sini lah peran ibadah puasa. Dengan berpuasa, seorang hamba mampu mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Sehingga semua tindakannya selalu dituntun oleh akal yang jernih, bukan dikendalikan oleh nafsu.


Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumiddin menjelaskan tujuan dari berpuasa,


أن المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز وجل وهو الصمدية، والاقتداء بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات. والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم، وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة.


Artinya:

Tujuan berpuasa adalah supaya bisa berakhlak sebagaimana sifat as-Shamad bagi Allah, juga agar manusia bisa mengikuti sifat-sifat malaikat, yaitu mengekang syahwat sebisa mungkin. Malaikat adalah makhluk yang terbebas dari syahwat. Level manusia sendiri berada di atas hewan karena dengan cahaya akal yang dimilikinya mampu menaklukkan syahwat. Akan tetapi di bawah level malaikat karena memiliki syahwat dan diuji untuk menaklukannya. Jika ia terbuai oleh syahwatnya, levelnya akan turun setara dengan hewan. Sebaliknya, jika mampu menghancurkan syahwatnya, makan levelnya akan naik setinggi-tingginya bersama golongan para malaikat. (Ihya ‘Ulumiddin, juz , hal. 236)


Melalui penjelasan Al-Ghazali tersebut, kita bisa memahami bahwa puasa memiliki peran penting dalam mengendalikan nafsu (syahwat) dalam diri manusia. Nafsu memang sudah fitrah manusia, tetapi kita masih diberikan kemampuan untuk mengendalikannya, yang di antaranya dengan berpuasa. Dengan begitu, kita bisa lebih dekat dengan Allah sebagaimana para malaikat yang hidupnya didedikasikan hanya untuk beribadah.


Muhammad Abror, mahasantri Sa’idusshiddiqiyah Jakarta, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon