Syariah

Puasa Setelah Nisfu Sya’ban

Rab, 3 Juni 2015 | 15:01 WIB

Puasa merupakan ibadah yang cukup efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk itu, puasa sangat dianjurkan sebanyak mungkin sesuai kemampuan masing-masing orang. Namun, demikian perlu memerhatikan hari-hari tertentu yang dilarang agama untuk menjalankan ibadah puasa seperti hari tasyriq, hari Idul Fithri, maupun Idul Adha.
<>
Lalu bagaimana puasa di bulan Sya’ban. Sya’ban merupakan salah satu bulan terhormat di sisi Allah SWT. Akan baik sekali mendekatkan diri melalui puasa di bulan ini. Bagaimana dengan puasa setelah pertengahan Sya’ban berlalu? Di sini ulama berbeda pandangan.

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, menyebutkan sebagai berikut:

وأما صيام النصف الآخر من شعبان فإن قوما كرهوه وقوما أجازوه. فمن كرهوه فلما روي من أنه عليه الصلاة والسلام قال: لا صوم بعد النصف من شعبان حتى رمضان. ومن أجازه فلما روي عن أم سلمة قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صام شهرين متتبعين إلا شعبان ورمضان، ولما روي عن ابن عمر قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرن شعبان برمضان. وهذه الآثار خرجها الطهاوي

Adapun mengenai puasa di paruh kedua bulan Sya’ban, para ulama berbeda pendapat. Sekelompok menyatakan, makruh. Sementara sebagian lainnya, boleh. Mereka yang menyatakan ‘makruh’ mendasarkan pernyataannya pada hadits Rasulullah SAW, “Tidak ada puasa setelah pertengahan Sya’ban hingga masuk Ramadhan.”

Sementara ulama yang membolehkan berdasar pada hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah RA dan Ibnu Umar RA. Menurut Salamah, “Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali puasa Sya’ban dan Ramadhan.” Ibnu Umar RA menyatakan, Rasulullah SAW menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan. Hadits ini ditakhrij oleh A-Thohawi.

Melihat dua pandangan ini, baiknya kita saling menghormati pendapat dan amalan puasa satu sama lain. Dengan saling menghormati, upaya mendekatkan diri kepada Allah bisa diwujudkan. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua