Syariah

Membagikan Daging Kurban dalam Bentuk Masak atau Kemasan Kornet (I)

Sab, 27 Juli 2019 | 14:30 WIB

Sebelum adanya konsensus ulama, kurban disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah:

 

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

 

“Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar, ayat 2).

 

Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar” ditafsiri dengan menyembelih binatang-binatang kurban.

 

Dan sabda Nabi:

 

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إرَاقَةِ الدَّمِ، إنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

 

“Tidaklah anak cucu Adam beramal di hari Nahar yang lebih disukai Allah dari pada mengalirkan darah (kurban). Sesungguhnya binatang kurban datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduk dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darahnya jatuh pada suatu tempat tinggi atas ridloNya sebelum jatuh di tanah. Maka ikhlaskanlah hati kalian dalam berkurban,” (HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim).

 

Karena kurban merupakan ibadah, tentu ia memiliki ketentuan yang harus dipenuhi dalam sudut pandang syariat, di antaranya berkaitan dengan cara menyedekahkan dagingnya. Umumnya masyarakat membagikan daging kurban dalam kondisi mentah, tapi tidak jarang pula yang memberikannya dalam kondisi masak, di antaranya didistribusikan dalam bentuk kemasan kornet, yaitu daging sapi yang diawetkan dalam air garam dan kemudian dimasak dengan cara direbus. Bagaimana hukumnya?.

 

Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu plastik daging. Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/ miskin, meski hanya satu orang. Selebihnya dari standar minimal ini, mudlahhi (orang yang berkurban) diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi.

 

Namun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap yang dimakan mudlahhi untuk tujuan tabarruk (mengambil keberkahan). Kebolehan memakan ini berlaku untuk kurban sunnah, sementara kurban wajib (semisal disebabkan nadzar) harus disedekahkan semuanya, mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakannya sedikitpun.

 

Berkaitan dengan distribusi daging kurban dalam keadaan masak, ulama memerincinya sebagai berikut. Untuk kadar yang wajib diberikan kepada fakir miskin (sekiranya disebut pemberian daging secara layak menurut keumumannya), tidak diperbolehkan diberikan dalam kondisi masak, sebab haknya fakir miskin adalah memiliki daging tersebut secara penuh, bukan hanya mengkonsumsi. Dengan memberinya daging mentah, fakir miskin dapat leluasa memanfaatkan daging tersebut.

 

Sedangkan untuk kadar daging yang melebihi batas minimal tersebut, mudlahhi diberi kebebasan dalam mendistribukannya, bisa dalam keadaan mentah atau masak, baik diberikan kepada orang kaya atau miskin. Dalam titik ini, diperbolehkan pula pendistribusian dalam bentuk kemasan kornet atau dendeng.

 

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan:

 

وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا

 

“Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).

 

Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:

 

(وَالْأَصَحُّ وُجُوبُ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهَا) وَلَوْ جُزْءًا يَسِيرًا مِنْ لَحْمِهَا بِحَيْثُ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ عَلَى الْفُقَرَاءِ،

 

“Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), wajib menyedekahkan sebagian kurban, meski bagian yang sedikit dari dagingnya, sekiranya bisa disebut pemberian daging (yang pantas), kepada orang fakir, meski satu orang.

 

وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا

 

“Disyaratkan di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/ miskin yang mengambilnya leluasa mentasarufkan dengan menjual dan sesamanya, seperti ketentuan dalam bab kafarat (denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka daging masak.

 

(وَالْأَفْضَلُ) التَّصَدُّقُ (بِكُلِّهَا)؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى التَّقْوَى وَأَبْعَدُ عَنْ حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا) لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ أَوْ (لُقَمًا يَتَبَرَّكُ بِأَكْلِهَا) عَمَلًا بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَلِلِاتِّبَاعِ كَمَا مَرَّ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْأَكْلَ

 

“Lebih utama menyedekahkan semuanya, karena lebih mendekatkan kepada ketakwaan dan menjauhkan dari kepentingan nafsu, kecuali satu, dua atau beberapa suap yang dimakan untuk mengambil keberkahan, karena mengamalkan bunyi eksplisit Al-Quran dan mengikuti Nabi seperti keterangan yang lalu, dan karena keluar dari ikhtilaf ulama yang mewajibkan memakan,” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

 

Simpulannya, hukum mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang fakir/miskin dalam bentuk mentah. Wallahu a'lam.

 

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.