Yogyakarta, NU Online
Dengan tetap mempertahankan sistem pembelajaran secara tradisional, pesantren ini berdiri dengan percaya diri di tengah kepungan modernisasi.
<>
Terkadang, di balik terjadinya sebuah bencana, menyimpan hikmah besar di dalamnya. Berdirinya Pesantren Nurul Hadi pasca bencana gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta tahun 2006 silam menjadi salah satu bukti pernyataan tersebut. Pesantren ini berdiri tepat setelah gempa bumi mengguncang Yogyakarta, pada tanggal 26 Desember 2006. Pesantren ini terletak di desa Karang sari, Banguntapan, Bantul Yogyakarta. Dengan tetap mempertahankan sistem pembelajaran tradisional, pesantren ini bertekad mencetak generasi-generasi muda yang siap melanjutkan visi dan misi ahlusunnah wal jamaah ke depannya.
Pendiri Pesantren Nurul Hadi adalah seorang santri tulen kelahiran Yogyakarta bernama KH Imam Suhrowardi atau biasa dipanggil Gus Mawardi. Setelah lulus SD, Gus Mawardi langsung pergi nyantri ke Banten, di tempatnya Syekh Dimyati Padeglang. Puas ngangsu kaweruh di tempatnya Syekh Dimyati, beliau kemudian melanjutkan petualangan intelektualnya di tempatnya Syekh Mas’ud Cilacap. Setelah beberapa lama berkelana di bumi barat, Gus Mawardi lalu melanjutkan pencarian ilmunya di bumi timur Pulau Jawa, tepatnya di kota Kediri. Gus Mawardi nyantri di Kediri mulai tahun 1991 hingga tahun 2006. Setelah itu beliau kembali ke kampung halamannya di daerah Lempuyangan Yogyakarta.
Ada kisah unik terkait proses berdirinya Pesantren Nurul Hadi. Diceritakan setelah pulang nyantri dari Kediri, Gus Mawardi kemudian dinikahkan oleh orang tuanya. Proses perjodohan tersebut sudah berlangsung sejak ia masih nyantri di Kediri. Beliau sama sekali belum pernah bertemu dengan calon istri. Hanya foto sang calon istri yang dikirimkan orang tuanya ke Kediri. Meski begitu, Ia yakin akan pilihan orang tua.
“Meski saya tidak pernah melihat calon istri saya, tapi saya yakin pada pilihan orang tua. Sebab tak akan ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya.” Ujar Gus Mawardi saat ditemui Bangkit.
Prasangka baik Gus Mawardi tersebut akhirnya berujung kenyataan, karena beliau merasa sreg dengan sang istri setelah melihatnya. Akad nikah pun dilaksanakan dengan penuh kebahagiaan. Dua hari setelah akad nikah tersebut, bencana gempa bumi mengguncang Yogyakarta. Hal itu menjadi kenangan yang tak akan dilupakan olehnya. Setelah tinggal di kediaman sang istri yang bernama, Siti Muharoroh, ia kemudian mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Nurul Hadi. Ditanya mengenai tujuannya mendirikan pesantren tersebut, Gus Mawardi mengatakan bahwa ia ingin mencetak generasi yang berakhlaqul karimah.
“Tujuan saya mendirikan pesantren ini ya ingin mencetak generasi yang memiliki akhlaqul karimah, karena saat ini mencari generasi seperti itu seperti mencari emas,” tegasnya sambil tersenyum getir.
Pertahankan Sistem Tradisional
Pesantren Nurul Hadi termasuk salah satu dari sekian banyak pesantren yang masih mempertahankan sistem pembelajaran tradisional sebagai napas perjuangannya. Di tengah kepungan modernisasi yang kian menjalar di segala lini, pesantren ini tetap percaya diri berdiri dengan tetap berpegang pada sistem tradisional. Sistem pembelajaran utama di pesantren ini adalah sistem bandongan.
Pesantren ini juga termasuk pesantren yang sangat ketat terhadap pergaulan antara santri putra dan santri putri. Sebisa mungkin intensitas pertemuan antara santri putra dan putri diminimalisir. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sekat tembok tinggi yang memisahkan antara pondok putra dan putri. Kegiatan di pesantren Nurul Hadi ini lumayan padat. Kegiatan dimulai sejak sehabis shalat subuh hingga malam menjelang.
Pesan Orang Tua
Pesantren ini, kini memiliki sekitar 30-an santri, baik putra maupun putri. Santri-santri tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia, di antaranya ialah Jogja, Purwodadi, Jember, Sumatera, Magelang dan masih banyak lagi yang lainnya. Jika dilihat dari sejak tahun berdirinya yakni tahun 2006, pesantren ini telah berumur 7-8 tahunan. Dalam perjalanan panjang tersebut, santri yang nyantri di pesantren ini mengalami pasang surut. Seperti penuturan Gus Mawardi, banyak santri sini yang keluar hanya karena tidak mendapat dukungan dari orang tuanya. Kalau tidak bekerja, pada akhirnya menikah setelah keluar dari pesantren Nurul Hadi ini. Tetapi meski begitu, Gus Mawardi selalu menyemangati para santri untuk selalu bersemangat dalam mencari ilmu.
Gus Mawardi selaku pendiri sekaligus Pesantren Nurul Hadi ini, selalu ingat akan pesan orang tuanya ketika akan mendirikan pesantren ini. Orang tua Gus Mawardi memberikan dua pesan penting yang hingga kini masih dipegang teguh olehnya.
“Orang tua saya pernah berpesan bahwa jika nanti kamu punya santri jangan kamu merasa diikuti santri tapi punya perasaan lah kamu yang mengikuti santri. Sebab, tanpa adanya santri, seorang kiai tak akan pernah berarti. Yang kedua, orang tua saya berpesan untuk jangan pernah membebani santri,” jelas Gus Mawardi.
Dua pesan tersebut hingga kini masih dipegang teguh oleh Gus Mawardi hal tersebut terbukti dengan menyediakan segala kebutuhan makan santri-santri yang ada di pesantren ini. Sebab, Gus Mawardi tahu bahwa sebagian santri yang nyantri di pesantren ini termasuk dalam golongan menengah ke bawah. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Pondok, Pak Suroso, yang ditemui Bangkit beberapa waktu lalu.
“Kalau makan, para santri masak sendiri, tetapi beras dan sebagainya dari Gus Mawardi. Sedangkan kalau masalah sabun dan peralatan mandi, para santri usaha sendiri,” jelas Suroso.
Ketika ditanya tentang harapan terhadap pesantren ini ke depannya, Gus Mawardi hanya berharap pesantren ini berkah untuk semuanya
“Harapannya ya, agar pesantren ini berkah dan mberkahi untuk semuanya”. tutur Gus Mawardi.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Rokhim, Sholihin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
4
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
Terkini
Lihat Semua