Nama Pesantren ini Terinspirasi Pejuang Fatahillah
NU Online · Sabtu, 6 Desember 2014 | 20:03 WIB
Probolinggo, NU Online
Pesantren Fatahillah didirikan oleh almarhum KH. Nizar Jakfar pada awal 1960 silam. Kiai Nizar yang berasal dari Kabupaten Gresik tersebut mendirikan pesantren ini di Desa Sebaung Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo. Penamaan pesantren terinsiprasi perjuangan Fatahillah pada zaman penjajahan.
<>
“Abah sangat mengagumi kisah heroik perjuangan Fatahillah ketika melawan Portugis dalam peperangan di Jayakarta (sekarang Jakarta),” tutur Pengasuh Fatahillah KH. Gufron Maksum, Sabtu (6/12).
Cikal bakal pendirian pesantren sudah ditancapkan oleh KH Fathullah, ayah mertua dari KH Nizar Jakfar. Selama bertahun-tahun, Kiai Fathullah berdakwah menyebarluaskan syariat Islam. Kemudian, Kiai Nizar yang masih mempunyai pertalian darah dengan Sunan Giri melanjutkan dengan mendirikan pesantren. Pada masa itu yang diajarkan adalah ilmu agama. “Santrinya sangat banyak sekitar 600-an,” jelasnya.
Alhasil dengan luas pesantren yang tidak seberapa luas, maka pondokan yang tersedia tidak mampu menampungnya. Karena itu sekitar tahun 1988, pesantren tersebut dipindahkan ke Desa Sumberkerang Kecamatan Gending, tepatnya di Dusun Talang diatas tanah seluas 1 hektar.
Non Gufron mengatakan sebelum memindahkan pesantren ke lokasi yang sekarang ini, Kiai Nizar terlebih dahulu meminta petunjuk kepada Gus Miek (KH Hamim Tohari Djazuli), pengasuh Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.
Hal itu dilakukan karena ada beberapa pilihan tempat yang tersedia. Diantaranya dua tempat di Desa Sebaung, Desa Pikatan dan Desa Sumberkerang Kecamatan Gending. Lalu, Desa Pendil Kecamatan Banyuanyar dan Desa Maron Kulon Kecamatan Maron.
“Beliau kemudian mengambil tanah dan membawa ke hadapan Gus Miek untuk meminta petunjuk. Ternyata yang diambil tanah yang berasal dari Desa Sumberkerang, karena harum baunya,” ungkap pria kelahiran 1971 ini.
Saat pertama kali meletakkan batu di lokasi tersebut, warga sekitar bersikap apatis. Corak dan kultur budaya masyarakat Desa Sumberkerang dan sekitarnya dipengaruhi budaya yang keras. Banyak persoalan yang penyelesaiannya dilakukan dengan kekerasan atau hukum rimba. Nyawa dibayar nyawa. Padahal tindakan yang diambil oleh warga itu banyak yang tidak sesuai syariat.
Namun, lambat laun kebiasaan dan sikap tersebut berubah seiring dengan dakwah yang Kiai Nizar lakukan. “Beliau juga mencoba melunakkan watak warga dengan dzikir,” tuturnya.
Seperti pesantren lain, di Pesantren Fatahillah diterapkan sistem pendidikan salafiyah, hingga awal tahun 2000-an. Santri mulai mengikuti kegiatan sejak pukul 03.00 dengan salat Tahajud dengan salat Subuh. Selanjutnya mengaji kitab kuning hingga pukul 06.00. Aktivitas santri dilanjutkan pada pukul 07.00-12.00 untuk pendidikan diniyah. “Pukul 12.30, mereka sekolah formal,” kata alumni Pesantren Lirboyo ini.
Pesantren juga menerapkan metode pendidikan salafiyah yang meliputi Madrasah Diniyah (Madin), pengajian kitab kuning, halaqah diniyah dan Tahfidatul Qur’an. Kegiatan ini dilaksanakan usai salat Maghrib, dilanjutkan dengan pengajian Al Qur’an. Lalu belajar membaca kitab klasik hingga pukul 21.00.
Pesantren ini mengutamakan pendidikan akhlak dalam mendidik para santri. Hal itu tergambar dalam usaha yang selalu menekankan pada keutamaan bertatakrama. Sesuai dengan pelajaran dalam kitab Risalatul Badiah karangan Kiai Nizar.
Cucu KH Fathullah Desa Sebaung Kecamatan Gending ini menuturkan pendirian lembaga formal di pesantren tersebut dikarenakan masukan dari wali santri. Sebab, banyak wali santri yang tidak mau menaruh anaknya di pesantren tersebut karena tidak mempunyai lembaga formal.
“Antara periode tahun 1970-an hingga 1990-an, jumlah santri mencapai lebih dari 500 orang. Namun, diawal tahun 2000-an hanya berkisar 200 santri. Jumlahnya menurun drastis, terlebih dengan isu kalau ijazah salaf tidak diakui,” terang ayah satu anak ini.
KH Nizar Jakfar wafat pada 7 Mei 2009. Selanjutnya kepengasuhan pesantren ada di tangan menantunya KH Gufron Maksum. Meski Kiai Nizar sendiri mempunyai 4 putra dengan pernikahannya dengan Nyai Hj. Aminah. Namun, sesuai wasiat dari Kiai Nizar sebelum wafat, pucuk pimpinan pesantren diserahkan ke Non Gufron yang nota bene suami dari Nyai Hj. Dewi Wardah, putri bungsu Kiai Nizar.
Dalam perjalanannya, Pesantren Fatahillah berkembang kembali. Santri yang mukim mencapai 400 orang. Mereka berasal dari berbagai kecamatan di Kabupaten Problinggo. Ada juga yang berasal dari luar daerah, sebut saja Madura. “Mereka berasal dari latar belakang kultur sosial masyarakat yang berbeda-beda,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua