Pesantren PESANTREN BLOK AGUNG

Dulu Mushola dari Ilalang, Kini Asrama dengan Ribuan Santri

NU Online  ·  Sabtu, 7 April 2012 | 06:03 WIB

Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Tegalsari, Banyuwangi awalnya hanya sebatas bangunan mushola kecil. Mushola yang cukup menampung 20 jamaah itu terletak di hutan belantara. Mushola itu di kanan kirinya ditumbuhi tanaman ilalang. Bahkan, pepohonan dan rerumputan di sekitarnya nyaris menutupi atap mushola yang juga terbuat dari ilalang itu. Bangunan kecil yang sangat sederhana terbuat dari gedek bambu itu mempunyai ukuran 7 x 5 meter persegi dan mulai dibangun pada tanggal 15 Januari 1951. ’’Kalau dilihat dari titik ordinatnya mushola itu tepatnya di daerah Banyuwangi selatan sekitar 13 kilometer dari kota Tegalsari dan kurang lebih 45 kilometer dari Kota Banyuwangi,’’ kata KH Hisyam Syafa’aat kepada Warta-NU (27/4).   <>

Tak dinyana, mushola yang mulanya didirikan oleh KH Syafa’at Abdul Ghafur, ayahanda Kiai Hisyam itu kini menjadi tempat menimba ilmu ribuan santri dari seluruh Indonesia. Tanahnya yang subur dan udaranya yang sejuk menambah betah para santri yang mondok di sana. Kawasan yang dulunya hutan itu, kini berdiri megah sebuah bangunan bernama Pesantren Darussalam. Kawasan ini pun kini telah berubah bak kota metropolitan. Rumah-rumah penduduk dengan berbagai arsitektur berjajar di sekitar pesantren. Tidak ketinggalan pertokoan dengan aneka ragam jualannya menambah indah kawasan pesantren terbesar di Banyuwangi itu.  Itu pula yang menambah daya tarik para santri mondok di Blok Agung.

”Di Banyuwangi di antara salah satu pondok terbesar jumlah santrinya adalah pondok kami. Bahkan tahun ini santri putra dan Putri berjumlah 2.200 orang,” urai Kiai Hisyam.

Ada cerita sakral dibalik berdirinya Pesantren Darrussalam. Cerita itu dimulai nyantrinya Kiai Syafa’at (alm) ke Mbah Ibrahim (alm) di dusun Jalen, desa Setail, kecamatan Genteng.  Di Jalen, Kiai Syafa’at selama 23 tahun mengabdi pada Mbah Ibrahim. Perjuangannya di Jalen tidak main-main. Kiai khos itu begitu tekun dalam menuntut ilmu. Walaupun banyak rintangan Kiai Syafaat tidak menyerah. Bahkan, walau sempat dibenci oleh Kiai Dimyati (putra Mbah Ibrahim) Kiai Syafaat tetap sabar.

”Tapi memang Kiai Dimyati itu orangnya jadzab (punya kelebihan, Red) makanya bapak tidak pernah sakit hati,” tutur Kiai Hisyam menelisik kisah perjuangan ayahandanya. Suatu ketika, saat sedang mengajar, Kiai Syafa’at tiba-tiba dihardik oleh Kiai Dimyati. Bersama kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling, Kiai Syafa’at diusir keluar pondok. Memang ketiganya adalah santri yang dibenci oleh Kiai Dimyati. Karena terus-menerus dihardik, akhirnya Kiai Syafa’at meninggalkan pesantren di Jalen. Kemudian Kiai Syafaat yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan bergegas ke kediaman kakak perempuannya, Uminatun di Blokagung.

Dari situ selangkah demi selangkah Kiai Syafaat kemudian mendirikan mushola. Awalnya santri yang diajar tidak lebih dari sepuluh orang. Kemudian berkembang menjadi puluhan, ratusan hingga ribuan. Karena dari waktu ke waktu orang yang nyantri semakin banyak, maka  dirasa perlu mendirikan pondok dengan ukuran yang lebih besar. Itu diharapkan agar masyarakat di sekitarnya kala itu  tidak buta terhadap nilai-nilai agama. ”Menghadapi keadaan yang demikian beliau sabar dan penuh kasih sayang tetap mencurahkan kemampuannya untuk membangun pesantren yang bergaris ahlussunah waljamaah,” tegasnya.

Tidak berhenti di situ. Bahkan, saat akan mendirikan pesantren tersebut Kiai Syafa’at sempat memiliki doa khusus. Doa itu hingga kini masih terpatri di hati Kiai Hisyam. Kurang lebihnya doa tersebut demikian;  “Ya Allah Ya tuhan kami, berikanlah petunjuk kaum ini, karena sesungguhnya mereka itu belum tahu,” ucap Kiai Hisyam menirukan doa orang tuanya.

Akhirnya, doa itu terkabulkan. Sesuai dengan harapan Kiai Syafa’at, kini Pesantren Darussalam sebagai tempat untuk mendidik para sahabat dan masyarakat sekitarnya yang belum mengenal agama sama sekali ternyata terwujud. ”Harapan beliau pesantren ini harus menjadi tempat pendidikan masyarakat sampai akhir zaman,” ujar Kiai Hisyam. Ditambahkan, ayah tercintanya mengerjakan bangunan pondok ini sendiri dan dibantu oleh santrinya. Selama pembanguna berjalan, selalu memberikan bimbingan dalam praktek pertukangan dan dorongan bahwa setiap pembangunan apa saja supaya dikerjakan sendiri semampunya. Apabila sudah tidak mampu barulah mengundang dan meminta bantuan kepada arang lain yang ahli tujuannya agar kita dapat belajar dari padanya untuk bekal nanti terjun di masyarakat.

“Sosok almarhum yang mashur dan alim sehingga perlu merawat dan melestarikan pendidikan yang mengandung nilai-nilai Islam Ahlussunnah Walajamaah,” ujar Kiai yang juga menjadi rais syuriah PCNU Banyuwangi itu.  

Hal yang sama disampaikan oleh Abdul Kholiq Syafa’at, adik Kiai Hisyam. Gus Kholiq, panggilan akrabnya, menyampaikan saat itu ayahandanya tidak sendirian dalam mendirikan dan mendidik santri. Abahnya dibantu almarhum Kiai M Muhyiddin dan almarhum Mua’alim Syarqowi yang sama-sama memiliki keteguhan dan kesabaran dalam berdakwah.

Gus Kholiq menambahkan, seiring dengan kemajuan dan tuntutan zaman pesantren ini menfasilitasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama ada juga ilmu-ilmu umum sesuai jenjangnya. Saat ini Pesantren Darussalam memiliki jenjang pendidikan diniyah seperti shifir sampai ulya dan sekolah formalnya mulai dari Taman kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT).

“Santri dan pelajar merasakan kepuasan nyantri di pondok ini,” tegar Rektor STAIDA Blok Agung itu. (Muhammad Nasih)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua