Pesantren

Di Pesantren, Empat Kali Lebaran Tak Pulang

NU Online  ·  Rabu, 14 Agustus 2013 | 02:10 WIB

Probolinggo, NU Online
Pada umumnya, berkumpulnya keluarga saat lebaran merupakan suatu kebahagiaan yang terbesar. Namun tidak bagi Achmad Satria yang merayakan lebaran empat kali tidak bersama dengan keluarganya. Bagaimana ceritanya?<>

Suasana sepi sangat terasa saat Kontributor NU Online tiba di Pesantren Nurul Jadid Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, Selasa (13/8) malam. Kondisi itu bukan karena para santri tengah tidur. Tetapi karena sebagian santri sudah pulang untuk liburan lebaran.

Meski begitu, ada empat santri yang kala itu tampak asyik mengobrol. Suara tawa yang terdengar seolah memecah keheningan dan kesepian di pesantren tersebut. Diantara keempat santri itu, adalah Achmad Satria santri asal Riau Sumatera Barat yang memang tidak pulang pada lebaran kali ini. Bagi santria, ini lebaran keempat dirinya tidak pulang ke kampung halamannya.

Bagi santri kelahiran Rokan Hilir, Riau, 9 April 1990 ini, keputusannya untuk tidak pulang kampung pada saat lebaran seperti sekarang ini bukan tanpa alasan. Dikatakannya, sejak berangkat nyantri di Pesantren Nurul Jadid empat tahun silam, ia sudah mengatakan kepada dirinya untuk tidak pulang sebelum sukses.

Kesuksesan itu sendiri dikatakan Satria adalah saat berhasil menuntaskan studi S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton. Saat ini, dirinya sudah mencapai semester VIII. “Mau gimana lagi, saya sudah nazar untuk tidak pulang sebelum sukses atau lulus kuliah. Apapun alasannya, termasuk saat hari raya lebaran,” ujarnya.

Satria menceritakan sudah empat tahun ini ia berlebaran jauh dari keluarga. Untuk mengusir kerinduan dengan keluarga, ia biasanya ikut pulang ke rumah temannya. “Biasanya begitu. Biar tidak ingat rumah, saya biasanya ikut teman ke rumahnya yang ada di Probolinggo,” jelasnya.

Meski begitu, lebaran tahun ini dirasakannya berbeda dibandingkan sebelumnya. Saat ini ia berlebaran bersama dengan KH. Malthuf Siroj, rektor IAINJ. Sebab sejak 8 bulan lalu, dirinya mendapatkan amanah menjadi sopir KH. Malthuf Siroj, yang tidak lain salah satu keluarga besar pengasuh Pesantren Nurul Jadid.

“Lebaran tahun ini, saya bersama KH. Malthuf Siroj. Karena saya menjadi sopir beliau. Tahun ini, akan lebaran di keluarga beliau di pulau Madura,” terangnya kepada NU Online dengan penuh kebahagiaan.

Putra ketujuh dari sembilan bersaudara ini mengatakan yang paling susah ketika berlebaran jauh dari keluarga adalah saat malam takbiran. Bahkan air matanya kerap kali menetes ketika mendengar gema suara takbir. Sebab pada saat itulah ingatannya tertuju ke keluarganya di rumah.

Namun perasaan itu ia tekan rapat-rapat demi tujuan yang lebih baik, menyelesaikan kuliah S-1. Karena itu, sebagai pelampiasan, ia biasanya menyempatkan diri untuk menghubungi keluarganya di Riau. “Tetap, saya pasti selalu menghubungi keluarga di Riau setelah shalat Idul Fitri,” akunya.

Namun begitu, Satria yakin pada saatnya kegembiraan merayakan lebaran bersama keluarga besarnya akan bisa ia rasakan. Yakni, ketika semua asa untuk menempuh pendidikan di Pesantren Nurul Jadid selesai.

“Sukanya akan dirasakan saat sudah lulus kuliah. Dengan begitu saya dapat dikatakan sukses dan pulang ke rumah dengan kebanggaan,” tuturnya. Meski begitu, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya karena harus berjauhan dari rumah saat lebaran. Terlebih lagi, diantara keluarga besarnya, hanya dirinya yang tidak bisa berkumpul bersama keluarga. (Syamsul Akbar/Red:Anam)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua