Pesantren

Demi Menghidupi Santri, Pengasuh Jual Sawah

NU Online  ·  Kamis, 18 Juli 2013 | 03:11 WIB

Probolinggo, NU Online
Pesantren Bani Rancang di Desa Lemah Kembar Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo ini awalnya merupakan pesantren salafiyah. Namun kondisi zaman terus berkembang, pesantren yang bernama Bani Rancang berbenah diri, terutama pendidikan yang ada di lembaganya. Semua ini dilakukan agar lulusan lembaga tersebut mampu bersaing di tengah arus globalisasi.

Untuk mendapatkan informasi seputar Pesantren Bani Rancang tersebut, Kontributor NU Online Probolinggo mencoba untuk bersabar, sambil memperhatikan aktifitas santri yang jarang dilihatnya. Rasa dahaga dan perut keroncongan karena menjalankan ibadah puasa terobati, setelah sang kiai mempersilahkan masuk.

Dengan ramahnya Pengasuh Pesantren Bani Rancang KH. Ahmad  Siddiq mengaku pesantren yang dikelolanya merupakan hasil perjuangan ayahnya Kiai Subri. Kiai Siddiq hanyalah meneruskan perjuangan ayahnya yang dulunya masih pesantren salafiyah. Ia merupakan putra dari Kiai Subri yang sering dipanggil Sumber oleh masyarakat sekitar. Kiai Ahmad Siddiq merupakan keturunan ketiga dari Kiai Mbah Rancang.

Menurut Kiai Siddiq, santri yang menetap dipondoknya mayoritas dari kalangan putra putri petani. Saat ini, jumlah santri yang tercatat di pesantrennya kurang lebih 325 santriwan-santriwati. Sementara santri yang tidak menetap atau menginap di pondok sekitar 230 santri.

“Mereka kebanyakan berasal dari Kabupaten Probolinggo. Dari daerah lain juga ada seperti Lumajang dan Jember. Tetapi mereka hanya sebagian kecil saja,” tutur Kiai Siddiq kepada NU Online, Senin (15/7).

Biaya keseharian santri mulai dari makan hingga biaya sekolah, kata Ahmad Siddik, 90 persen ditanggung oleh pihak pesantren. Para santri hanya dibebani biaya sebesar Rp30 ribu rupiah setiap bulan. ”Setiap hari santri mendapatkan jatah makan sebanyak 2 kali,” ungkapnya.

Dikatakan Kiai Siddiq, total biaya pengeluaran pesantren sekitar Rp15 juta per bulan. Untuk menutupi biaya itu, dirinya mengaku memperolehnya dari iuran santri sebesar Rp9 juta rupiah dan Rp6 juta kekurangannya berasal dari saku pribadinya. “Kalau hanya dari iuran santri tidak cukup untuk biayai hidup santri disini,” terang pria alumni Pesantren Zainul Hasan Genggong ini.

Untuk mencukupi kekurangan Rp6 juta itu, Kiai Siddiq merelakan sawah seluas 2 hektar miliknya dijual tahunan ke petani sukses yang ada di daerahnya. Dalam satu tahunnya, tanah tersebut laku terjual sebesar Rp20 juta. Selain itu, kiai yang memiliki satu anak dan dua cucu ini, mengaku pemberian masyarakat dari mengisi pengajian juga disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan makan santri. 

“Terkadang undangan pengajian acara walimah atau haflatul imtihan lembaga pesantren,” pungkasnya.


Redaktur     : Mukafi Niam
Kontributor : Syamsul Akbar

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua